Epilog

18.5K 1.1K 78
                                    

Sore ini, hujan kembali datang dengan deras. Dengan heels-nya yang tinggi, Adina berlari menuju teras toko yang tutup untuk berteduh. Ia tidak membawa payung karena terkecoh oleh cuaca cerah pagi tadi. Bajunya kebasahan begitupun juga dengan rambutnya karena ia berlari cukup jauh untuk mencari tempat berteduh. Beruntung barang bawaannya tertutup dengan rapih. Walaupun tas sandangnya sedikit basah. Setidaknya data-data pekerjaannya tidak ikut basah kuyup.

Adina baru saja pulang dari kantor. Sudah 3 tahun sejak ia lulus S1, ia bekerja di sebuah perusahaan dan bekerja sebagai HRD. Sepulang kantor ia menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku menggunakan taksi online. Sampai saat ini, Adina belum juga memiliki kendaraan pribadi. Kadang ia ke kantor bersama Juna yang entah mengapa bisa mendapatkan mobil dari sang papa saat ia sudah semester 2. Padahal mereka berdua suka adu mulut. Adina yang menjadi anak yang manis dan penurut sampai saat ini masih juga belum mendapatkan kendaraan pribadi. Untuk itu Adina menabung dari hasil gajinya agar ia bisa membeli kendaraan. Motor pun tidak masalah.

Hujan masih deras. Langit begitu kelabu. Terlihat sedikit kilatan dan guntur kecil. Sepertinya hujan akan turun dengan lama. Adina mencoba untuk menghubungi Juna. Berharap pemuda itu bisa menjemputnya.

Panggilan pertama tidak dijawab. Adina berdecak kesal dan mencoba menghubungi kembali Juna. Adina curiga kalau Juna mungkin saja sedang tertidur. Apa lagi dengan cuaca lembab seperti ini. Juna akan sulit untuk dibangunkan. Ponselnya pun tidak pernah diaktifkan suaranya. Hanya mode getar yang tidak akan membantu untuk membangunkan Juna dari tidurnya.

Adina menghembuskan napas. Selanjutnya ia menghubungi Meyvi yang masih fokus dengan kuliah S2-nya. Kampus Meyvi dekat sini. Mungkin Meyvi bisa menjemputnya.

"Yo?" Nada pertama langsung diangkat.

"Jemput gue, Mey. Gue lagi kejebak hujan. Hujannya deres banget, pasti nggak akan reda," ujar Adina.

"Sorry banget, Din. Gue lagi ribet banget nih di kampus. Lo order taksi online aja. Atau mau gue hubungin Niko buat jemput lo? Eh laki lo emang dimana?"

Adina mendengus saat Meyvi menyebut Angkasa. Pria itu sedang ke luar kota selama sebulan dan jarang-jarang menghubunginya. Adina sempat curiga kalau Angkasa sudah mendapatkan kekasih baru di sana. Tidak mungkin mengharapkan Angkasa datang dan kemudian menjemputnya di tengah hujan yang deras.

"Yauda deh, biar gue order taksi online aja. Semangat ya Bu sama tugas-tugasnya." Adina pun memutuskan panggilan dan kemudian memesan taksi online.

Mungkin Adina yang sial atau apa, pesanannya selalu ditolak. Tidak ada driver yang mau mengantarnya pulang. Adina nyaris berteriak frustasi. Hujan semakin deras dan hari semakin gelap. Ia tidak mau menginap di depan teras toko seperti ini. Orang-orang yang meneduh bersamanya pun mulai berkurang karena mereka nekad menembus derasnya hujan.

Adina mengusap-usap telapak tangannya karena ia kedinginan. Belum lagi dengan setelan kerjanya yang hanya rok sebatas lutut. Bisa-bisa Adina berubah menjadi es jika berlama-lama di sini. Adina mengumpat kesal karena lagi-lagi pesanannya ditolak.

"Gue sial banget deh hari ini." Adina mendengus kesal dan menyerah untuk memesan. Ia mendongakan kepalanya. Langit gelap dan tidak ada harapan kalau hujan akan segera reda.

"Copeeeet!!!" Suara teriakan ibu-ibu samar-samar terdengar dari kejauhan.

Adina langsung menoleh ke arah suara. Di tengah derasnya hujan, ia melihat ibu-ibu yang berdiri di halte di seberang toko tempat Adina berteduh. Ibu-ibu itu nampak panik saat seseorang menyambar tas sandangnya yang bewarna merah. Orang-orang disekitar nampak tidak membantu untuk mengejar sang pencopet. Hingga akhirnya, seorang pria tinggi mengenakan kemeja biru langit dan celana bahan bewarna hitam, berlari mengejar sang pencopet yang langsung menyebrang ke arah toko tempat Adina berteduh.

BOYFRIENDWhere stories live. Discover now