[SEPULUH]

19.9K 1.3K 58
                                    

Angkasa baru saja menerima satu pukulan yang mengenai perutnya. Dengan cepat ia membalas pukulan tersebut dan mengenai rahang sang musuh. Angkasa sempat mendengar suara tulangnya dan Angkasa tersenyum puas saat sang musuh mengerang kesakitan.

Kali ini musuhnya adalah teman satu kampusnya yang memang sejak dulu tidak ia sukai. Satu lawan satu dengan banyak penonton. Angkasa senang saat ia keluar menjad pemenang. Ia meludah tepat di hadapan pemuda yang sudah tersungkur di atas tanah.

"Jangan pernah main-main sama gue!" Lalu ia melangkah pergi bersama Niko yang menyusul Angkasa di belakang.

"Sehari 4 korban? Lo mau jadi pembunuh?" tanya Niko yang kini sudah bisa mensejajarkan langkahnya dengan Angkasa.

Angkasa menyisir rambut gondrongnya ke belakang. "Gue nggak suka kalau hidup gue diusik."

"Ada apa sama lo akhir-akhir ini? Beberapa hari yang lalu, lo seolah-olah nggak ada gairah buat berantem. Sekarang, setan-setan udah pada balik lagi ke tubuh lo. Gue bahkan ngeri lihat lo sekarang. Bisa bisa nggak cuma 4 orang untuk hari ini."

"Ya bener! Hari ini mungkin ada 5 korban." Angkasa menatap dengan tajam pemandangan yang ada di depannya.

Niko melihat arah tatapan Angkasa dan hanya bisa menghela napas berat.

"Siapin gue pisau, Nik!"

"Lo gila ya?!"

"Oh ya! Semua orang kan pasti bakalan mihak sama Samudra. Termasuk lo, adik yang sangat menyayangi Mas-nya. Kalau gitu, biar gue urus sendiri!"

Angkasa sudah melangkah pergi tanpa bisa dicegah. Angkasa melangkah berlawanan arah. Sepertinya ia akan menjalankan beberapa misi untuk melukai Samudra.

Niko menghembuskan napasnya kasar. Ia melihat Samudra bersama Luna menemui Adina di halaman depan kampus. Dan kemudian, Adina ikut masuk ke dalam mobil Samudra sambil memangku Luna. Sepertinya perang dunia ketiga akan dimulai.

***

"Kamu kelihatannya tegang banget?" tanya Samudra sambil melirik Adina yang duduk dengan kaku sambil memangku Luna. "Luna-nya berat ya?"

Luna memalingkan wajahnya, sedikit mendongak untuk menatap Adina. "Luna berat ya, Tante? Kalau gitu, Luna duduk di jok belakang aja."

Adina cepat-cepat tersenyum lalu menggeleng. "Enggak, Sayang. Luna nggak berat kok. Udah Luna duduk aja sama Tante ya."

Samudra tahu ada yang salah dengan ekspresi Adina. Bagaimana perempuan itu nampak tidak konsentrasi sejak tadi. Seperti ada banyak hal yang sedang ia pikirkan.

Samudra dan Luna memang dengan sengaja ke kampus Adina dan kebetulan Adina sedang menunggu taksi. Samudra mengajak Adina untuk makan siang dengan perantara Luna. Terdengar jahat memang. Namun sungguh, Samudra sangat tertarik dengan Adina. Ia bahkan tidak peduli dengan ancaman Angkasa. Ia siap menghadapi bocah ingusan itu.

Mobil Samudra berhenti di depan restoran Jepang. Luna ingin makan sushi. Sedangkan dirinya ingin makan udon.

"Kamu suka makanan Jepang, kan?" tanya Samudra sambil melepas sabuk pengamannya.

Adina mengangguk lalu turun dari mobil bersama Luna.

Mereka nampak seperti keluarga yang bahagia dengan Luna yang berada di tengah-tengah mereka. Tatapan para pengunjung restoran tertuju kepada ketiganya. Samudra dan Luna dengan wajah yang berbinar dan senyuman yang cerah. Namun tidak dengan Adina yang hanya bisa memberikan senyuman tipisnya saja.

BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang