[DUA PULUH DUA]

16.2K 1K 112
                                    

Angkasa terduduk di atas lapangan basket setelah berkali-kali memasukan bola basket ke dalam ring tanpa henti. Ia bermain seorang diri dengan keringat yang membanjiri kaos yang ia kenakan. Ia pun membuka kaos tersebut menampakan tubuhnya yang sudah terbentuk sejak ia remaja. Tetesan keringat meluncur bagaikan air di atas permukaan kulit Angkasa. Ia meneguk air putih dari botol yang ia bawa hingga tandas agar tidak dehidrasi. Tujuannya kemari bermain basket sendirian bukanlah untuk olahraga. Melainkan untuk menyendiri sambil berpikir apa yang harus ia lakukan dengan masalah yang sedang ia hadapi saat ini.

"Lo bisa ngehubungin gue kalo lagi butuh temen curhat. Bukan malah sendirian kayak gini." Niko datang setelah sejak tadi ia membiarkan Angkasa sendirian. Ia tahu Angkasa masuk ke lapangan ini saat kampus sudah mulai sepi karena liburan akhirnya pun tiba.

Angkasa menoleh dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendapati sepupunya itu yang berjalan mendekat. "Gue jadi curiga lo pasang GPS di tubuh gue! Kenapa sih lo bisa tahu dimana keberadaan gue?"

Niko terkekeh dan duduk di sebelah Angkasa. "Gue sama lo udah sering main dari bocah. Gue udah kenal lo sejak lama. Chemistry kita sama-sama bagus."

"Lo kedengarannya gay banget tahu nggak! Apa lagi dengan status lo yang sampe sekarang masih juga belom punya pacar. Jadi gimana soal Meyvi? Denger denger sih kalian sering jarang bareng akhir-akhir ini."

"Wow! Sejak kapan Angkasa jadi doyan gosip?" Niko tergelak.

Angkasa melemparkan botol kosongnya ke arah Niko. "Sialan lo!"

"Gue sama Meyvi lagi dalam fase, uhmm, bisa dibilang sih, fase jalanin--aja--dulu. Yaa... something like that, lah."

Angkasa tertawa mengejek. "Bilang aja lo nggak berani nembak soalnya lo masih trauma ditolak mentah-mentah waktu jaman SMA dulu."

"Yaelah! Kaga laah! Mana ada gue trauma begituan! Itu cewek masih belum terima kecupuan gue waktu SMA. Gue yakin kalau dia ketemu gue sekarang, dia pasti mohon-mohon bakalan jadi pacar gue!"

"Kayak gue dong! Dari dulu sampe sekarang kagak pernah jelek!" ujar Angkasa dengan sombong sambil mengejek Niko. Niko yang tidak terima pun langsung melemparkan bola basket ke kepala sepupunya itu.

Mereka tergelak bersama dan Angkasa lupa akan masalah yang sedang ia hadapi saat ini. Setelah terlalu lelah mengejek satu sama lain, keduanya pun terdiam. Angkasa kembali dipaksa mengingat apa saja yang menjadi pikirannya setiap hari dan bahkan setiap malam sebelum tidur. Tidak jarang hal tersebut membuat Angkasa jarang tertidur.

"Gue tahu pelaku yang neror Adina itu si Sherin." Niko mengubah topik pembicaraan saat keheningan terlalu lama terjadi.

"Well Mr. Know It All, gue nggak kaget lo tahu kalau pelakunya itu Sherin. Tapi lo nggak kasih tahu Adina, kan?" tanya Angkasa.

Niko menggeleng. "Gue nggak punya hak buat itu. Lo yang punya hak buat ceritain ke Adina apa yang sebenarnya terjadi. Ini saatnya Sa, sebelum terlambat, lo kasih tahu Adina apa yang sebenarnya terjadi. Lo jelasin semua kesalahpaham kalian. Sebelum Adina benar-benar pergi dan nggak akan pernah kembali. Lo nggak mau kan hal kayak gitu terjadi."

"Nggak semudah itu, Nik. Sekarang masalahnya lebih ribet. Sherin lagi merancang sebuah cara buat ngelukain Adina. Gue nggak tahu apa rencananya. Sekarang, gue pengen menghentikan itu. Tapi gue nggak tahu gimana caranya. Gue ngerasa jadi orang yang lemah dan nggak berguna yang nggak bisa menolong Adina dari ancaman maut yang bisa aja sebentar lagi dia alamin. Lo tahu kan Sherin itu gila?"

"Kasih tahu orang tuanya apa yang terjadi dengan jiwa Sherin yang terganggu itu. Biarin orang tuanya aja yang urus. Gue yakin mereka bisa mengkontrolnya. Sherin diurus keluarganya, lo terlepas dari kegilaan Sherin dan lo bisa hidup bahagia sama Adina."

BOYFRIENDWhere stories live. Discover now