[DUA PULUH SATU]

16.4K 1K 103
                                    

Samudra datang dengan buah-buahan di tangannya. Luna juga ikut untuk menjenguk Adina. Gadis cantik itu duduk di atas ranjang Adina dan mengajak Adina mengobrol. Sedangkan Samudra, duduk di sofa bersama Papa Adina, sesekali ia memperhatikan interaksi Adina dengan Luna.

"Jadi gimana Pa? Udah ketemu siapa pelakunya?" tanya Samudra kepada Papa Adina. Samudra memanggil beliau papa atas permintaan beliau sendiri.

Papa Adina menggeleng. "Tapi saya udah ngurusin semuanya di kantor polisi. Polisi coba mencari siapa pelakunya. Memangnya Adina punya musuh ya, Sam?"

Samudra menggeleng. "Setahu saya nggak, Pa. Adina bukan tipe perempuan yang suka mencari masalah. Dia gadis yang baik. Saya rasa Adina nggak punya musuh."

Samudra memperhatikan Adina yang tertawa karena Luna menghiburnya. Samudra tersenyum melihat kondisi Adina yang nampaknya sudah membaik. Sudah tidak ada selang infus lagi yang terpasang. Papa Adina sempat bercerita soal kondisi Adina sebelumnya. Samudra belum mendengar langsung dari Adina. Ia belum berinteraksi secara langsung dengan Adina karena Luna langsung mengambil alih Adina untuk dirinya.

"Eh! Ada Luna! Ada Mas Samudra juga." Juna datang dengan ransel. Pemuda itu baru saja selesai bermain futsal dengan teman-temannya.

"Om Juna!" Luna melambaikan tangan ke arah Juna. Mereka cukup dekat karena Samudra sering membawa Luna datang ke rumah Adina.

Juna langsung membawa tubuh gempal Luna ke dalam gendongannya. "Om laper nih! Temenin Om cari makan di bawah yuk!"

"Ayuk!" Luna menjawab dengan semangat.

Adina berpura-pura kesal sambil mengerucutkan bibirnya ke arah Luna. "Jadi, Luna ninggalin Mama demi Om Juna yang jelek dan bau ini?"

"Ih nggak gitu, Ma. Om Juna kasihan. Dia kelaperan. Luna juga pernah kasih makan kucing yang kelaperan yang lewat depan rumah Luna," ujar Luna dengan jawaban polosnya membuat seisi ruangan tertawa.

"Kamu samain Om kayak kucing yang kelaperan? Ah! Om marah deh sama kamu!" Giliran Juna yang berpura-pura marah dan Luna langsung panik dibuatnya.

Luna memeluk leher Juna sambil berbisik, "Om ganteng kok. Om nggak mirip kayak kucing kelaperan."

Samudra tertawa. Luna begitu polos dan lucu diusianya. Samudra bersyukur karena banyak yang mencintai Luna. Termasuk keluarga Adina yang menyambut baik putri tunggalnya itu.Tidak ada satu pun keluarga Adina yang memberikan pembatas untuk orang asing. Mereka begitu terbuka dan begitu hangat. Samudra sangat menyukai keluarga ini.

Samudra mengangguk saat Juna meminta izin membawa Luna ke lantai bawah untuk mencari makanan. Papa Adina pun beranjak dari duduknya. Beliau ingin menjemput istrinya yang tengah belanja camilan-camilan di supermarket karena Adina yang selalu mengeluh dengan makanan di rumah sakit. Papa Adina tahu kalau putrinya butuh waktu untuk berbicara dengan Samudra.

Papa Adina mencium kening Adina lalu keluar dari ruang rawat. Hanya tersisa Adina dan Samudra yang masih hening belum membuka obrolan. Entah mengapa keduanya merasa canggung. Mungkin karena pertemuan terakhir mereka yang tidak terlalu baik dan tidak ada pertemuan selanjutnya setelah pertemuan terakhir itu.

Samudra dengan ragu mendekat dan duduk di kursi yang disediakan di sebelah sisi kanan Adina. Adina menatap langit-langit ruang rawatnya. Ia memutuskan untuk tidak melakukan kontak mata dengan Samudra. Biar Samudra yang memulai pembicaraan dan Adina akan mendengarkannya. Termasuk mendengarkan penjelasan soal mantan istri yang kembali bangkit dari kubur.

"Gimana kondisi kamu?" Samudra memilih menanyakan keadaan Adina sebagai pembukaan topik pembicaraan mereka.

"Kamu udah tahu kan kondisi aku dari Papa." Adina masih menatap langit-langit ruangan ini.

BOYFRIENDWhere stories live. Discover now