[DUA PULUH EMPAT]

17.7K 1.1K 153
                                    

Paris terkenal dengan museum-museum seninya yang selalu menarik perhatian para pengunjung untuk wajib mengunjungi salah satu museum yang tersebar di kota tersebut setiap datang ke Paris. Tour yang Adina ikuti ini pun tidak melewatkan kunjungan ke museum tersebut. Sekarang mereka sedang berada di museum Louvre. Museum terbesar yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan.

Museum ini bertempat di istana Louvre. Museum ini memiliki koleksi berjumlah lebih dari 380.000 buah. Begitu banyak dan begitu klasik. Lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci ada di museum ini. Jujur saja, Adina tidak terlalu tertarik saat mengunjungi museum seni seperti ini. Karna dirinya tidak terlalu menyukai seni dan tidak terlalu mengerti dengan seni. Ia hanya orang awam yang tidak mengerti bagaimana caranya menilai suatu karya seni. Sehingga Adina memilih menyerah untuk duduk di bangku-bangku yang disediakan di museum ini dan berpisah dari rombongan yang rata-rata menyukai seni dan tertarik untuk mendengar penjelasan dari guide.

"Bosen?" Nevan muncul dan duduk di sebelah Adina. Sejak tadi pemuda itu tidak berhenti memotret lukisan-lukisan yang dipajang. Bahkan ia tidak memberikan lelucon untuk menghibur Adina yang merasa hampir mati kebosanan di dalam sini. Nevan penikmat seni dan mengerti apa itu seni. Tentu ia tidak ingin melewatkannya.

Adina menghela napas lalu mengangguk. "Gue nggak ngerti seni."

"Seni bukan untuk dimengerti."

"Terserah deh," ujar Adina dan menyenderkan punggungnya ke senderan kursi. Ia merasa waktu liburannya akan terbuang sia-sia jika ia terjebak di museum seni yang sama sekali bukan jiwanya.

"Gue suka banget sama seni. Mulai dari seni zaman dulu sampai yang modern. Makanya gue nggak mau melewatkannya sama sekali. Walaupun gue udah sering ke sini, tapi setiap gue ke sini gue nggak sempet motret banyak lukisan. Jadinya sorry gue nggak bisa menghibur lo yang ngerasa jenuh banget kelihatannya," ujar Nevan.

"Iya deh anak seni," cibir Adina.

Nevan terkekeh. "Denger-denger abis ini kita ke Pont des Arts. Mungkin lo bakalan suka di sana. Lo udah siapin gemboknya?"

"Abis ke Pont des Arts terus ke Institute de France. Sama aja, ujung-ujungnya balik ke museum lagi."

"Ya kalau mau, lo bisa nunggu di Pont des Arts. Entar kalau rombongan udah kelar dari Insitute de France, lo bisa gabung lagi deh."

"Males ah kalau sendirian. Mendingan gue gabung sama rombongan."

"Ya sama gue lah!"

Adina mengernyitkan dahinya ke arah Nevan. "Lo kan pecinta seni? Yakin mau melewatkan petualangan ke museum-musem itu?"

"Tahun depan kan gue bisa balik ke sini lagi," ujar Nevan dengan nada sombong lalu terkekeh.

Adina tertawa kecil lalu memukul lengan Nevan pelan. "Sombong banget sih."

"Udah yuk! Gabung ke rombongan lagi!" ajak Nevan.

Kunjungan pun dilanjutkan ke Insitute de France yang perjalanannya melalui jembatan Pont des Arts yang terkenal. Jembatan yang dulunya dikenal sebagai jembatan yang romantis, karena di sini, para pengunjung yang memiliki pasangan bisa menggantungkan gembok cintanya yang sebelumnya sudah ditulis nama atau inisial bersama pasangan, lalu melempar kuncinya ke sungai, kini sudah tidak ada lagi gembok-gembok yang menggantung di pagar jembatan itu.

"Lo bilang gue disuruh siapin gemboknya," ujar Adina yang sedikit kecewa karena jembatan tersebut sudah bersih dari gembok-gembok yang menggantung.

"Emangnya lo mau gantung gembok sama siapa? Langit?" ejek Nevan.

"Angkasa! Bukan Langit!" dengus Adina kesal. "Lo nggak lihat itu pasangan-pasangan yang lainnya kecewa gara-gara nggak bisa gantungin gembok lagi?"

BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang