"Eh Vin, Vin!" Deri lalu menepuk-nepuk meja yang berada di sebelahnya. "Sini duduk sama gua aje!"

"Lah? Terus itu orang gimana?" Vino menunjuk Kikok yang duduk di sebelah Deri.

"Kok, lo duduk ditempat Vino, gih. Biar gue duduk sama Vino." Deri mengibaskan tangannya ke hadapan Kikok. "Sono! Sono! Hush-hush!"

"Wah sialan ini kutu satu," Kikok lalu menjitak kepala Deri dengan kekuatan Badak. "Giliran ada temen baru aja, gue dibuang!" Gerutunya. Namun tak urung, ia menurut juga dan segera beranjak dari sana.

"Enak aja lo kalo ngemeng," Deri menoyor kepala Kikok. "Vino temen lama gue kali. Makanya jangan sok tau, Badak!"

Kikok akhirnya pasrah dan duduk di barisan sebelah. Vino pun berjalan menuju barisan pojok dekat jendela yang persis di bawah ac, dan duduk di sebelah Deri.

"Apa kabar, bro!" Vino menepuk bahu Deri, Rino dan Zaro. Ia juga memeluk mereka sekilas dengan gaya laki.

"Baik, man. Kok lo ga bilang mau ke Jakarta sih?"

"Udah anjir. Gue udah sms Zaro." Ucap Vino sambil menatap Zaro.

"Kok Zaro doang yang lo kasih tau?!" Rino menatap Vino tak terima. Ia lalu beralih menatap Zaro. "Lo juga, kok gak ngasih tau kita sih, woy?"

"Lupa, weh."

"Dasar pikun."

"Udeh sih ganape. Lagian kalo gue sms lo Rin, Der, gue mana tau nomor kalian. Nomor lo pada udah gak aktif sih pas gue mau hubungin."

"Ohiye. Gue udah ganti hp sih." Deri menggaruk rambutnya.

"Lah, nomor gue juga ganti. Gara-gara udah basi!" Sahut Rino dengan wajah bodohnya.

"Makanye isi pulsa dong! Medit sih lo." Ejek Vino. Ia lalu menatap Zaro yang sedari tadi diam. "Ngape lo Ro? Diem aja."

"Lo gak tau aja Vin, si Zaro kan sekarang jadi diem-diem kambing gitu. Dingin pula. Udah beda sama Zaro yang dulu. Dia aja sekarang dipanggil cowok es sama anak sini."

"Lah? Kenapa?"

"Gapapa." Sahut Zaro kalem.

"Apalagi kalau bukan karena Lauren?" Sambar Rino cepat.

Seketika, suasana sekitar Zaro, Rino, Deri dan Vino menjadi hening dan canggung. Zaro tidak suka dengan suasana yang seperti ini. Begitupun dengan ketiga lelaki yang lainnya.

"Ekhem."

Akhirnya, Deri mencoba memecah keheningan itu dengan sedikit berdehem. Namun tetap saja, suasana mencekam itu tidak juga berubah.

"Ayo semua, kerjakan tugas dari buku paket halaman 78, ya. Nomor 1 sampai 10. Di buku latihan dan dikumpulkan setelah bel berbunyi."

Zaro bersyukur karena suara cempreng Bu Juli dapat memecah kecanggungan itu. Mereka berempat lalu kembali sibuk dengan aktifitas masing-masing.

"Lo bisa gak si kalo ngomong tuh dipikir dulu?" Bisik Zaro sambil menatap Rino dengan tajam. "Kan gue ga enak sama dia. Gak usah bahas Lauren lagi deh. Apalagi di depan Vino. Gue udah berusaha ngelerain dia loh. Susah tau, buat ngelupain seseorang yang sempat mengisi hati selama bertahun-tahun. Melupakan itu ga mudah, No. Apalagi menghilangkan rasa. Dan satu lagi, jangan buat gue jadi ngerasa bersalah lagi, please."

"Iya-iya maap, Pak haji!" Rino menepuk mulutnya pelan. "Emang nih gue heran dah, mulut gue susah banget buat dikendaliin. Bingung gue."

"Makanya, benerin dulu otak lo sono!" Zaro menoyor kepala Rino. "Otak lo kan miring."

MemoriesWhere stories live. Discover now