5. [Pra Beautiful Nerd] - Kami (Tidak) Selalu Akur

14.2K 2K 138
                                    

Semakin sore, hujan justru mengguyur semakin deras. Menyisakan pelangi di langit menjelang petang saat hujan telah berhenti. Rintik-rintik air masih terasa di kepalaku. Akhirnya, latihan futsal ditiadakan. Kami hanya berpasrah pada kehendak Tuhan untuk pertandingan besok. Yang penting kelas kami tak perlu membayar denda karena absen. Teman-temanku langsung pulang dengan kendaraan masing-masing begitu hujan berhenti sementara aku masih menunggu kabar dari Radith.

Aku menarik napas panjang. Radith benar-benar keterlaluan. Dia nggak membalas pesanku sama sekali dan nomornya tidak dapat dihubungi. Sekarang aku bingung bagaimana caranya pulang. Tentu, aku bisa naik kendaraan umum. Hanya saja aku malas menanggapi pertanyaan Mama dan Papa kalau aku dan Radith tidak pulang bersama. Bagus kalau aku tahu alasannya kenapa Radith tidak pulang bersamaku. Sialnya anak itu menghilang tanpa kabar. Kalau nanti ketemu akan kukelitiki habis-habisan dia.

Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku kemeja, lalu mendongak memandang parkiran motor yang sepi. Hanya tertinggal lima motor dan motor Radith tak ada di sana. Mataku menyipit kesal. Artinya Radith memang benar-benar meninggalkanku. Teganya dia. Aku bukan hanya akan mengelitikki dia habis-habisan, tapi juga akan membuang koleksi robot gundam miliknya ke gudang.

Aku mengentak-entakkan kakiku kesal. Ingin rasanya menangis, tapi percuma. Doraemon nggak akan tiba-tiba muncul dan menawarkan pintu ke mana saja kalau aku menangis. Jadi, aku memutuskan kembali melangkah dengan lesu menuju gerbang sekolah. Pak Abdul—satpam sekolah sempat menyapaku yang hanya kubalas dengan anggukan singkat.

"Kok tumben nggak pulang bareng Radith, Neng?"

Bahkan satpam sekolah saja hafal dengan Radith. Aku terkekeh, berusaha menyembunyikan rasa kesalku. "Em... iya, tadi Radith duluan, Pak. Mari, Pak."

Aku mepercepat langkahku menuju gerbang sekolah. Keadaan di luar pagar sekolah terlihat sepi. Kendaraan umum yang biasanya ramai lalu lalang di depan sekolah seperti serangan capung terbang mendadak menghilang. Mungkin para sopirnya sedang sibuk arisan sambil main gaple. Saking kesalnya otakku berpikir ke arah sana.

Tubuhku mengerut kedinginan. Kemudian kudengar suara motor di belakangku sesaat sebelum aku sampai di pintu gerbang.

"Ayo, saya antar pulang."

Aku melompat ke samping saat motor itu berhenti di sebelahku. Mataku menatap naik-turun untuk memastikan siapa pengendara motor sport putih tersebut. Wajahnya tertutup helm full-face, tetapi suaranya terdengar familiar.

Aku berusaha menebak, dari postur tubuhnya dan juga suaranya. Ketika sang pengemudi menarik kaca helm-nya, aku merasa lega tanpa alasan yang jelas. Orang itu Kenio. Capung yang mampir itu Kenio. Tawarannya kedengaran menarik, tetapi aku lebih baik berguling-gulingan di bukit Teletubbies ketimbang satu motor dengannya. Aku tak mau mendadak menjadi orang bisu sepanjang jalan ketika aku terbiasa menyuarakan selorohanku di tengah jalan setiap kali naik motor bersama Radith.

"Aku pulang naik angkutan umum aja," tolakku halus, namun sedetik kemudian, aku buru-buru menambahkan, "E-eh, kamu tahu nggak ke mana Radith pergi? Dia nggak bisa dihubungi."

Detik itu, Kenio melepaskan helmnya dan menaruhnya di bagian depan motornya. Matanya menyorot datar ke arahku.

"Kurang tahu, tapi tadi dia kelihatan buru-buru saat pulang sekolah. Sekarang sudah hampir gelap. Kamu yakin mau pulang naik angkutan umum?"

Aku menatapnya lama, lalu mengangguk ragu-ragu. Kebetulan sekali angkot yang kutunggu datang dan penumpangnya tidak terlalu ramai. Isinya empat orang lelaki dewasa bertampang sangar. Walaupun takut, aku keburu mencegat mobil oranye itu dan melambai-lambaikan tanganku kepada Kenio sebagai tanda pamit.

Beautiful NerdWhere stories live. Discover now