[Beautiful Nerd] - Aku, Sebelas Tahun Kemudian...

8.6K 1K 71
                                    




"Mitra Karya Persada, dengan Radistya, sekretaris Bapak Radith. Ada yang bisa saya bantu?"

Aku mengapit telepon di antara pundak dan kepalaku. Pandanganku menghadap ke layar komputer, memperhatikan agenda kerja Radith dalam bentuk kertas kerja pengolah angka yang sudah kususun. Beberapa kolom ku-highlight berwarna merah hati menandakan kalau itu adalah agenda dengan prioritas utama, ada juga warna kuning yang menandakan penting, namun dapat didahulukan agenda lain, ada lagi yang berwarna hijau yang berarti agenda yang sewaktu-waktu dapat dibatalkan atau berubah rencana, terakhir berwarna biru yang berarti waktu libur Radith. Semuanya kususun rapi dan selalu kuperbarui setiap kali meja di teleponku berdering.

"Selamat siang, Bu Adis, saya Dimas, dari ProTax Consulting ingin bicara dengan Bapak Radith mengenai laporan pajak pribadi Pak Radith, bisa?"

"Oh, Pak Dimas, kebetulan Bapak Radith masih meeting. Bisa menghubungi setengah jam lagi?"

Orang yang kupanggil Pak Dimas ini adalah konsultan pajak pribadi Radith. Sesungguhnya, usianya lima tahun lebih tua dari kami, berarti tiga puluh dua tahun, namun—dihitung dari frekuensinya menghubungi Radith melalui kantor—kami lumayan sering berbicara dengan taraf akrab sehingga tak jarang kalau aku juga mengobrol dengan Pak Dimas.

"Oh, oke deh. Bu Adis sudah pesan makan siang? Kalau belum, bisa sekalian titip sama saya, Bu. Nanti kan saya mau datang ambil berkas ke kantor."

Aku tertawa hambar menanggapi tawaran Pak Dimas. "Nggak usah, Pak. Merepotkan dan tidak sopan. Kebetulan saya sudah titip sama office boy," bohongku karena tentu saja aku masih memiliki sedikit tata krama yang diajarkan kedua orang tuaku.

"Oh, begitu. Oke, deh. Nanti setelah makan siang, saya ke kantor ya, Bu."

"Baik, Pak Dimas," kataku ramah seraya menutup jendela perangkat lunak pengolah angka di komputerku.

"Selamat siang."

"Selamat siang," balasku seraya mengakhiri percakapan.

Aku menaruh kembali gagang teleponku ke tempatnya. Aku menarik napas, melepaskan kacamataku untuk membersihkan kacanya yang sedikit berembun. Empat puluh lima menit menuju waktu istirahat, perutku mulai keroncongan.

Aku sedang memikirkan menu makan siang kali ketika sosok Radith keluar dari pintu lift yang berdenting dan melangkah mendekati meja kerjaku seraya bersiul pelan.

"Pagi, sekretarisku yang manis," sapanya seraya menaik-naikkan alis.

Aku memandang Radith malas-malasan. "Pertama, ini udah hampir jam makan siang. Kedua, kalau aja kamu bukan saudara kembarku yang lahir tujuh menit dua puluh detik lebih dulu, aku udah pasti bakalan menuntut kamu atas pelecahan verbal."

Tawa Radith berderai mendengar kata-kataku. "Aku nggak bisa membayangkan kalau kamu jadi sekretaris bos lain ckckck... kata-katamu itu, lho," Radith menggerakan tangannya seolah-olah ia sedang menggengam sebilah pisau dan menancapakan ke dadanya. "Pantas semua teman kencanku kabur setiap kali melihat kamu atau menelepon ke kantor," sungutnya sebal kemudian kembali terkekeh.

"Justru kamu harus berterima kasih karena aku berhasil menyaring perempuan-perempuan yang memang hanya mengincar harta atau tampang kamu," belaku penuh semangat.

Yah, Radith memang belum berubah sejak dulu. Aku juga nggak yakin apakah dia akan merubah sifat kelewat ramahnya kepada perempuan itu--kalian tahu, kan, aku tidak diajarkan untuk berbicara kasar.

Setelah lulus kuliah, jumlah penggemar Radith menyentuh angka yang cukup fantastis. Bisa kukatakan demikian berdasarkan pengalamanku selama bekerja sebagai sekretaris Radith selama dua tahun belakangan. Bisa kulihat setidaknya Radith memiliki nama kontak perempuan hasil kenalannya dari huruf A sampai Z.

Beautiful NerdDonde viven las historias. Descúbrelo ahora