21. Lengah

9.6K 1K 4
                                    

"Jadi Anna takut dengan sentuhan laki-laki?" Mutia menimang Cantik, bayi tiga bulan dalam pelukannya, di ruang tamu apartemen Anna. Bagitu mendapat telepon dari Gina, ibu muda itu langsung menarik paksa suaminya agar mau mengantarkan ke tempat ini. Tempat di mana dulu dia melarikan diri.

Ketika dia sampai di depan apartemen, Mutia tidak sengaja mencuri dengar tentang kondisi Anna yang Gina ceritakan kepada Arkan. Sebelumnya, dia tak tahu sama sekali. Yang Mutia tahu Anna adalah wanita yang anti dengan laki-laki, tak ingin terlalu dekat dengan kaum Adam. tak pernah sekali pun terlintas, bahwa itu adalah caranya untuk menutupi ketakutannya. Dan karena Mutia baru mengenal mereka berdua ketika kuliah, dia sama sekali tak mengetahui banyak hal tentang kehidupan Anna semasa sekolah. Wanita itu terlalu tertutup, bahkan kepada orang-orang terdekatnya.

"Kurang lebih seperti itu." Gina mengambil air dari dalam kulkas, dia perlu menenangkan diri. Dia seorang psikolog, tapi di antara mereka bertiga, dia yang paling butuh pengendalian diri.

"Tapi dia bisa salaman, dan seingatku beberapa kali Anna memukul cowok yang gangguin gue pas semester satu."

"Dia bekerja keras untuk melawan ketakutannya, so far, dia berhasil. Kecuali sekarang." Gina tampak berpikir, menganalisa apa yang terjadi.

"Kenapa sekarang?" Mutia bertanya khawatir, tapi Gina hanya menggeleng pelan, masih berpikir.

""Karena gue lagi nggak pinter," sahut Anna yang sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Sekarang dia sudah memakai piyamanya yang nyaman, rambutnya tergerai, dan tak lagi terlihat pucat, meski masih sedikit mengantuk.

"Ngapain lo bangun? Lo masih harus istirahat!" seru Gina kesal, tak pernah menyenangkan jika harus berhadapan dengan pasien yang seperti Anna, mereka keras kepala.

"Gue dengar suara si Cantik." Anna mengabaikan perhatian Gina yang dia rasa berlebihan, tersenyum manis pada bayi mungil di dekapan Mutia, dan tanpa ijin langsung menggendongnya, sebelum akhirnya duduk di sofa. Cantik hanya memandanginya dengan penuh minat.

"Jangan tersinggung karena gue nggak pernah ngasih tahu lo," lanjut Anna sambil memandang Mutia yang ikut duduk di sebelahnya. "Nggak banyak orang yang tahu tentang itu. Dan orang yang tahu, udah gue sumpah untuk nggak ngomongin masalah ini ke siapapun." Tajam tatapan Anna ke Gina, membuat psikolog itu jengah.

"Lo nggak bisa nyalahin Gina," bela Mutia.

"Yeah, gue tahu. Dia pasti udah melakukan pertimbangan profesional sebelum bahas itu ke kalian berdua. Lo dan Arkan."

"Apa maksud lo, kalau lo lagi nggak pinter?" Gina berjalan mendekat, duduk di coffe table agar tetap bisa berhadapan dengan Anna.

Lusianna tak langsung menjawab, tangannya membelai rambut makhluk kecil yang ada di pelukannya, berharap mendapatkan ketenangan. Dia selalu suka bayi, tapi sepertinya keinginan untuk memilikinya sendiri masih jauh dari kenyataan.

"Gue menurunkan pertahanan. Gue nyoba lebih menoleransi sentuhan Arkan, karena gue pikir, dia adalah orang yang dulu pernah dekat--physically. Tapi ternyata, hasilnya sama aja. Bahkan lebih parah, karena gue terekspos terlalu lama."

**

Arkan melangkah perlahan memasuki bangunan itu, dan ketika dirinya telah benar-benar masuk, suara-suara benda yang salah beradu memenuhi udara. Dentangan benda logam terus terulang dengan ritme yang teratur. Arkan mengedarkan pandangannya, sudah lebih dari dua belas tahun tempat ini menjadi saksi perubahan dirinya. Dari seorang bocah kelebihan berat badan, menjadi seorang pria berbadan tegap dan otot-otot yang keras.

"Arkan?" seseorang menghampirinya, seorang pria dengan rambut pendek dengan rahang yang tertutupi jenggot. Untuk beberapa saat Arkan hanya terdiam, berusaha membuka memori di kepalanya tentang orang itu.

"Andra?" tanya Arkan ragu, dan lelaki tingginya hampir sama dengan Arkan itu langsung membuka tangannya dan merangkul pundak Arkan. Menepuknya beberapa kali hingga Arkan mengikuti.

"Gimana kabar lo? Gue tebak, not good."

"Not as good as you see." Arkan mengangkat bahunya. Dia kemari karena tak tahu lagi tempat yang ingin dituju. Setelah memberitahu kondisi Anna, Gina langsung mengusirnya. Pulang ke rumah hanya akan memperburuk pikirannya. Ke bar atau pub? Tak ada bar atau pub yang buka sepagi ini, lagipula kembali mabuk bukan pilihan yang tepat, apalagi setelah apa yang terjadi semalam hingga pagi ini. No more alkohol in his bloodstream.

"Jika babak belur masih lo bilang baik, lo pasti kacau banget," tebak Andra bertepatan dengan denting bel dari ujung jauh ruangan. "Mau menghilangkan stress dengan cara lama?"

"Cara lama?" Arkan mengikuti arah pandang lawan bicaranya. Ring tinju, itulah yang dia cari.

**

"Apa yang bikin lo ke sini?" Andra sedang membebat tangannya dengan hand wraps untuk melindungi tangannya.

"Anggap aja gue melakukan hal bodoh dan gue pengen hajar diri gue sendiri. Sayangnya gue nggak bisa, jadi gue butuh bantuan orang lain." Arkan melempar sepatunya keluar dari arena, Andra menatap heran untuk beberapa saat, tapi tak memberikan komentar apapun. "Lo sendiri? Sejak kapan turun gunung? Berapa lama bakal di sini?"

"Sejak kemarin. Gue kerja di Jakarta sekarang. So, I'd stay for good." Andra meregangkan badannya, memutar pangkal lengannya. "Kebodohan apa yang lo lakuin?"

Arkan tak menjawab pertanyaan itu hingga mereka berdiri berhadapan dengan kuda-kuda masing-masing. "Semalam gue mabuk, dan gue nyakitin perempuan gue." atas jawaban itu seketika Andra kembali berdiri tegak.

Dulu dia yang memberikan istilah itu ketika pertama kali Arkan meminta bantuannya untuk membentuk tubuhnya. Dan bagi Arkan, menyebut Anna dengan panggilan itu kembali mengantarnya pada niat awalnya memasuki tempat ini. Arkan yang malu-malu tak ingin menyebutkan secara gamblang siapa motivasi terbesarnya untuk mengubah diri, hanya berucap 'perempuan'.

Andra berbalik ke belakang, sambil mengambil napas kasar, sebelum secepat kilat berbalik dan langsung menyarangkan tinju di rahang Arkan. Membuat adik kelasnya itu terhuyun.

"Lo pantes dapat itu."

"Iya, gue tahu." Arkan menyeka darah bercampur liur yang mengalir dari sudut bibirnya.


-----

a/n: hai-hai... ada yang penasaran dengan Andra? Kalau iya, silahkan main ke tulisanku yang judulnya "(un)Shattered Diamond", tapi tulisan itu lagi hiatus sih :-), baru akan dilanjut setelah buku 2 Anna&Arkan (Jalinan Jiwa) selesai.

Setting waktu Jalinan Jiwa dan (un)Shattered Diamond hampir sama, tapi aku putusin upload Jalinan Jiwa dulu karena cerita ini nggak terlalu bongkar jalan cerita (un)Shattered Diamond.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang