13. Late Night Call

7.8K 925 3
                                    

"Hai, Putri Es!" teriak Arkan begitu Anna meletakkan ponselnya di samping kepala.

"Kau mabuk lagi, Arkan?" Hanya ketika pria itu mabuk, Anna bisa memanggilnya dengan cara ini.

"Mabuk? Enak saja! Aku baru minum, ehm." Ada jeda sejenak, "1, 2, 3, 4, 5, ehm." Anna bisa mendengar Arkan mengulang hitungannya, sementara wanita itu kembali menggosok wajahnya. Apapun yang akan Arkan katakan malam ini, (mantan) sahabatnya itu tak akan mengingatnya sama sekali.

"Sepuluh! Aku baru minum sepuluh gelas!" Arkan telah menyeret kata-kata dalam kalimatnya, membuat Anna cukup yakin bahwa Arkan telah minum lebih dari jumlah yang baru dia sebutkan.

"Sepertinya sudah saatnya kau pulang. Minta temanmu untuk mengantar, oke?"

Biasanya Arkan akan datang bersama teman-temannya, dan salah satu dari mereka akan tetap sadar, tak menyentuh minuman, untuk memastikan keselamatan yang lain. Memastikan tidak ada yang menyetir dalam keadaan mabuk, atau melakukan perbuatan yang akan disesali di pagi hari. Beberapa kali Anna sempat berbicara dengan mereka, ketika Arkan tak sadarkan diri setelah terlalu banyak alkohol dan telepon belum dimatikan. Akan ada seseorang yang mengambil teleponnya, menyapa Anna dengan 'Putri Es'--mungkin itu nama kontak dirinya--dan memberi jaminan pada Anna bahwa Arkan akan sampai ke rumahnya dengan selamat.

"Teman yang mana yang kau bicarakan? Yang pasti bukan kau 'kan? Teman macam apa yang memilih menghilang ketika dibutuhkan?" Arkan kembali meracau, menyirami rasa bersalah Anna agar tetap menggorogoti hatinya. "Dan ketika aku mencoba untuk memperbaiki hubungan kita, kau malah bilang aku membuatmu tak nyaman? Apa maumu?"

Anna mencoba mengatur napasnya, mengatur perasaannya. Seharusnya dia tak tersakiti oleh perkataan orang mabuk, bukankah mereka sudah kehilangan akalnya? Bahkan mereka tak terbebani kewajiban kerena hilangnya akal. Lagipula, seharusnya Anna sudah kebal. Seharusnya.

"Arkan, hentikan oke?" pinta Anna lembut. "Pulang sekarang, dan jangan membuat masalah apapun."

"Membuat masalah? Kau selalu berpikir aku akan membuat masalah!"

"Kau datang dengan siapa? Bisa aku bicara dengannya?" Anna tak mempedulikan sinisme Arkan. Sinisme yang Arkan lontarkan ketika sadar pun berusaha dia tampik, apalagi dalam kondisi seperti ini.

"Aku datang sendiri, mereka semua bilang sedang sibuk. Sepertinya mereka ingin balas dendam kepadaku karena menolak ajakan mereka akhirr-akhir ini," gerutu Arkan yang tak berhenti hingga menyebutkan alasan yang dipakai teman-temannya satu persatu, dan Anna hanya diam mendengarkan.

"Pulang dengan taksi ya?" bujuk Anna ketika mendengar Arkan meneguk minuman lagi. Sejak tadi tidak terdengar bising suara musik, mungkin Arkan meminilih duduk di executive lounge, daripada di bar.

"Aku masih bisa menyetir."

"Arkan, kau bisa membahayakan orang lain, kau tahu itu," ujar Anna geram.

"Cih, yang kau pedulikan hanya orang lain," cemooh Arkan. "Mengapa kau tidak kemari saja? Untuk memastikan aku tak melukai orang lain?"

"Arkan!" Anna memperingatkan, dia sudah lelah.

"Kutunggu." Arkan mematikan panggilan, dan Anna memijat kepalanya setelah meletakkan ponsel. Beberapa orang mengatakan Anna orang yang dingin, tak mempedulikan orang lain, padahal yang sebenarnya, dia hanya tak bisa menunjukkannya.

Anna hendak menggapai pintu ruangannya untuk keluar ketika ponselnya bergetar. Pesan multimedia dari Arkan, berupa tag lokasi pria itu saat ini. Mengerang frustasi, Anna kembali ke mejanya. Jika dia harus menyeret pria itu keluar dari pub, akan lebih baik jika dia menggunakan sneakers dibanding sepatu berhak dua belas sentinya.

•••

This is Anna with her suit and sneakers (foto dr pinterest):

This is Anna with her suit and sneakers (foto dr pinterest):

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang