8. Icy Cold

8.8K 1.2K 6
                                    

“Kau pesan apa?” tanya Anna ketika melangkah mendekati gerobak penjual. Arkan ingat tempat ini, dulu mereka sering pergi ke tempat ini bersama. Setelah pulang dari les matematika. Itu sudah lebih dari tiga belas tahun lalu. Tempat ini telah sedikit berubah. Jika dulu penjualnya hanya melayani pembeli di emperan teras sebuah ruko yang tutup, kini ruko itu telah menjadi bagian dari warung makannya.
“Apapun,” jawab Arkan sekenanya sambil berjalan ke arah tempat duduk, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengarkan pesanan mereka ke penjual. Ketika berbalik, Arkan seperti melihat seorang gadis dengan rok abu-abu dengan atasan kaos dan cardigan, rambut dikuncir ekor kuda, kacamata tanpa frame.
“Satu mie goreng, pedas sedang, dan satu kwetiau goreng, pedas, ditambah telur dadar. Es teh dua.” Ucapan gadis empat belas tahun itu terngiang di kepala Arkan. Namun, ketika si pemilik suara sudah menyelesaikan pesanannya, gadis berkuncir itu hilang, dan digantikan dengan Anna yang menatapnya dengan heran.
“Kau mau berdiri di sini sampai kapan?” tanya Anna sambil melewatinya, lalu memilih salah satu tempat duduk.
“Kau sering kemari?” Arkan mengambil tempat di samping Anna, sementara wanita itu mulai sibuk dengan ponselnya.
“Hanya sesekali.” Anna meletakkan ponselnya, “Sepertinya lebih baik kita tidak memecat Meli.” Pandangan wanita itu serius.
“Apa yang membuatmu berubah pikiran? Bukti kita cukup kuat.”
“Bagaimana jika kita memanfaatkan dia untuk memberikan informasi yang salah kepada Baron? Kita bisa....”
Arkan tak mendengarkan apapun perkataan Anna ketika fokusnya ada di keningnya, “Tidak, aku tak ingin wanita itu kembali ke kantor kita.” Dia tak ingin bertemu dengan orang yang telah memberikan memar pada wanita di hadapannya, karena dia tak yakin dia bisa menahan diri dari menghancurkan siapa pun telah berani menyentuh Anna. “Demi Tuhan, Arkan! Apa pedulimu?” Sisi lain dirinya berteriak.
“Kau sama sekali tak ada perasaan kasihan pada Meli? Setelah apa yang kalian lakukan?” tanya Anna menantang.
“Bukankah kau bilang kau tak peduli dengan...,” Arkan berusaha mengingat kata yang Anna gunakan untuk menggambarkan kegiatannya dengan Meli. “Pergumulan kami?”
“Menjijikkan,” bisik Anna tak ingin memandang lawan bicaranya.
“Menjijikkan?” tanya Arkan sinis. “Kutebak, selama ini tak pernah ada pria yang berhasil membuatmu mabuk kepayang. Kau tak ingin mencobanya?” ejek Arkan sambil mencondongkan tubunya, mendekati Anna.
“Mencoba mendekat lagi, garpu ini menembus lehermu.” Tanpa Arkan sadari Anna telah menempelkan ujung-ujung garpu di tenggorokannya. Arkan berdecak sebelum mundur dan mengambil garpu dari tangan Anna lalu melemparnya asal di atas meja, Arkan cukup yakin bahwa ancaman Anna hanya ancaman kosong. Mata mereka masih saling beradu.
“Kau benar-benar bisa bela diri?” Arkan memandang wanita di hadapannya dengan tatapan yang berbeda, membawa Anna pada masa remajanya.
“Taekwondo, sabuk hitam.” Anna memutuskan kontak mata.
“Berarti setahun lalu ketika suami Mutia datang, kau benar-benar bisa menghajarnya. Tapi kenapa kau hanya diam?”
“Aku tak ingin membahasnya,” ujar Anna malas, “Besok siang atau lusa, aku akan memberikan laporan kepada Dewan Komisaris terkait temuan tadi dan hasil pemeriksaan meja kerja Meli.” Anna mengalihkan pembicaraan, tapi sepertinya Arkan tidak ingin membicarakan pekerjaan lagi.
“Sejak kapan? Aku tak pernah tahu kau latihan taekwondo?”
“Sebelas tahun lalu.” Anna menekan layar ponselnya, “Aku akan bilang ke bagian HRD tentang pemecatan Meli, jika kau benar-benar tak ingin menahan wanita itu.” Anna tak suka pembicaraan personal yang sedang berusaha dibangun Arkan, apa peduli pria itu sekarang? Di mana tatapan saling membunuh yang dulu sering dia lemparkan?
“Aku bisa mendapatkan wanita lain dengan mudah, jika aku mau.” Arkan berusaha mencari ekspresi tidak suka dari wajah Anna atas kalimatnya tadi, tapi sama sekali tak dia temukan, membuat Arkan makin frustasi.
“Aku akan mengatakan pada HRD, bahwa alasanku memecat Meli karena dia bertindak kasar kepadaku. Kuharap kau juga mengatakan hal yang sama ketika mereka bertanya padamu.” Anna mengetik di ponselnya tepat ketika seorang penyaji warung tenda membawakan pesanan minuman mereka.
“Bukan karena dia bermesraan denganku?” Arkan mengambil gelasnya lalu mengaduk dengan sendok yang tersedia.
Anna tak langsung menjawab pertanyaan Arkan hingga dia menyelesaikan pesannya, “Aku tak mau repot dengan affair yang kau lakukan. Dan aku malas melaporkan perbuatanmu ke Dewan Komisaris. Apa kau tak sadar ada orang-orang yang menunggu kegagalanmu?” Ketika Anna menoleh untuk memandang lawan bicaranya, dia merasakan sesuatu yang dingin menempel di keningnya yang masih nyeri. Awalnya Anna terkejut, tapi kemudian matanya menyipit.
“Berhentilah mengurusiku!” gertak Anna menyingkirkan tangan Arkan yang memegang es terbungkus tissue, pandangannya menghunus. Dia tak pernah suka menerima perhatian orang lain, pria terutama.
“Dan kau, berhentilah peduli padaku,” ujar Arkan datar, tak bisa Anna baca.

Mending The SoulsWhere stories live. Discover now