17. Hangover Juice

8.4K 1.1K 5
                                    

Anna membuka pintu kamar perlahan, sudah jam setengah lima pagi, dan Arkan masih lelap di sofa ruang tamu. Setelah ke kamar mandi dan menuntaskan rutinitas paginya, Anna kembali ke ruang tamu menatap Arkan yang mendengkur perlahan dalam tidurnya.

Menyambar sebuah bantal duduk, Anna menggoyang lengan Arkan dengan bantal itu. "Hai! Kau masih tidur?"

Tak ada jawaban sama sekali, kecuali Arkan memilih berubah posisinya karena merasa tidurnya terganggu. Anna berkacak pinggang melihat CEO tempatnya bekerja tampil berantakan. Perban yang menutup lukanya menampakkan sedikit bercak darah yang kecoklatan, tanda bahwa luka semalam telah tertutup.

"Seharusnya kamu langsung pulang," ujar sisi kepala Anna ketika wanita itu melangkah ke dapur dan langsung membuka pintu kulkas. "Dia tak akan ingat apapun yang terjadi semalam."

Tak memperdulikan pikirannya sendiri, Anna berjongkok di depan lemari pendingin, mengamati isinya yang cukup lengkap dan banyak. Berbagai buah dan sayuran yang telah disiangi tersimpan di plastik-plastik kotak makan. Pasti ini perintah Tante Farida, ibu tiri Arkan, kepada pengurus rumah tangga yang datang tiap siang. Anna sering bertemu dengan wanita ramah itu tiap kali Farida dan Herman memutuskan pulang ke Indonesia. Gambaran ibu tiri jahat sama sekali tak tampak dari wanita di akhir empat puluh tahun tersebut.

Anna mengikat rambutnya menjadi ekor kuda sebelum meraih tiga buah tomat dan sebuah jahe dari kulkas lalu menutup pintu kulkas dengan kakinya. Membuka beberapa pintu di kitchen set sampai dia menemukan gelas besar blender. Anna memasukkan tomat, seiris jahe, beberapa sendok makan madu, dan sedikit air ke dalam gelas tersebut, lalu melumatnya.

**

Suara bising mesin blender mengganggu tidur Arkan. Pria itu berusaha membuka mata, tapi yang tampak adalah motif geometri karpet ruang tamunya. Dia tidur dengan kepala menjuntai di ujung sofa. Tenggorokannya tercekat, perih, kekurangan cairan. Dan jangan tanya bagaimana rasa kepalanya. Sakit luar biasa, seperti ada yang mengikat dahinya dengan tali dan menariknya kencang. Dia terlalu banyak minum sepertinya semalam.

Dia berpikir akan menemukan Bu Sumi sedang menyiapkan sarapan di dapur, hanya wanita paruh baya itu pernah menyentuh dapurnya. Tapi ketika kepala telah terangkat bersamaan dengan usahanya untuk duduk dan dapat melihat ke arah dapur, rasa mencekat di tenggorokannya bertambah.

Seorang wanita muda berdiri memunggunginya, rambutnya terkuncir ekor kuda, tapi tanpa melihat wajahnya Arkan tahu siapa wanita itu. Blus warna khaki mudanya masih sama dengan yang dikenakan kemarin meskipun sekarang tampak kusut di bagian punggung dan tanpa blazer. Arkan seperti terhipnotis, berdiri, lupa sakit kepala yang tadi menyerangnya ketika baru membuka mata, berjalan tanpa suara dan hanya berdiri mematung sekitar tujuh langkah dari wanita yang masih sibuk dengan gelas dan saringan.

**

Anna telah selesai menyaring jus yang dia buat, ketika berbalik bayangan seseorang yang tak jauh darinya membuatnya terkinjat. Membuat sebagian jus tercecer keluar gelas, membasahi tangan, dan sedikit mengenai blusnya.

"Oh dear God!" geram Anna kesal mendapati bahwa makhluk yang membuatnya kaget adalah Arkan, yang hanya berdiri sambil menatapnya intens. "Can you announce your arrival?" sindir Anna meneruskan langkahnya ke meja makan. Meletakkan segelas cairan merah semu jingga di sana sebelum meraih tisu untuk menyeka tangannya.

"Reaksimu ketika kaget masih sama," ucap Arkan tanpa mengalihkan pandangannya ke Anna, sementara Anna sama sekali tak membalas tatapannya.

"Kau sudah bangun, kalau begitu aku pulang." Anna hampir mengambil tasnya yang dia letakkan di salah satu kursi sebelum pertanyaan Arkan menghentikan gerakannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Tangan Anna jatuh di samping tubuhnya, seperti dugaannya, Arkan tak akan mengingat kejadian yang dia alami selama mabuk.

"Semalam, ketika mabuk kau meneleponku," ujar Anna sambil berusaha menyusun kalimat seringkas mungkin untuk menggambarkan kejadian semalam. "Aku menjemputmu bersama salah satu satpam kantor, Anton. Ketika sampai di sana, ternyata kau sedang berkelahi dengan beberapa bocah ingusan. Ketika sampai kemari, Anton mendapat kabar bahwa istrinya akan melahirkan, sehingga kupinjami mobilku. Dan kau mengancamku untuk tinggal di sini tadi malam atau kau akan membunuhku."

"Membunuhmu?" tanya Arkan tak percaya.

"Kau memberi pilihan untuk tetap tinggal di sini atau kau antar dengan motor dalam keadaan mabuk. Pilihan kedua sama saja ancaman untuk membunuhku, kau tahu?" jelas Anna malas.

"Benarkah?" Arkan kembali bertanya, linglung, membuat Anna menggeram sebal sambil berkacak pinggang. Yang baru disadari Arkan, bahwa dia suka ketika Anna melakukan itu. Menggeram kesal dan berkacak pinggang.

"Kutebak, kau juga tak ingat dari mana sayatan di lenganmu," ucap Anna sambil menunjuk perban Arkan dengan isyarat dagunya. Arkan melihat lengannya, seketika matanya membulat.

"Siapa yang memotong bajuku?" tanya Arkan tanpa diduga Anna.

"Aku. Aku harus membersihkan lukamu, dan semalam kau tak bisa diajak bekerja sama untuk menggulung bajumu, jadi kupotong."

"Kau? Apa kau tahu ini Armani?" Lanjut pria itu, kembali membuat Anna kesal dan harus memijat pangkal alisnya. "Tante Farida yang membelikannya, kau tahu?"

"Akan kubelikan yang baru ketika ke Inggris, oke?" Anna langsung menyambar tasnya. "Aku pamit. Minum jus itu." Anna berusaha meredam sikap berlebihan Arkan tentang pakaian mahalnya.

"Apa itu?"

"Jus tomat dan jahe. Bagus untuk hangover-mu." Anna mulai melangkah.

"Bagaimana kau tahu jika itu bagus untukku?" Arkan mencekal lengan Anna, membuat jantung wanita itu berlompatan tak terkendali.

"Kau lupa? Dulu Papa ...," ucap Anna menggantung, suaranya pecah di ujung. Anna mengalihkan pandangannya, tak ingin melihat lawan bicara ketika dia membicarakan salah satu kelemahannya. Entah mengapa, matanya mulai menghangat sebelum rahangnya menegang, mencegah apapun yang ingin tertumpah dari kelopak mata.

Arkan menatap bingung, sebelum teringat pada detail 'kecil' di masa lalu Anna.

"Jadi Mamamu selalu menyiapkan jus itu tiap kali Om Hendra mabuk?" Arkan tahu, tak seharusnya dia membicarakan keburukan seseorang yang telah meninggal, tapi dia juga bosan melihat wajah sok kuat Anna.

"Kau ingat hal-hal remeh tentangku, tapi sepertinya lupa hal-hal penting lain." Anna menatap Arkan tajam, pandangannya dingin. "Mama tak peduli ketika Papa mabuk, jadi aku yang harus mengurusnya." Suara Anna kembali bergetar. Dia tak suka jika itu terjadi.

"Aku pamit." Anna mengulang perkataanya sambil berusaha melepas cengkeraman tangan Arkan, tapi jari-jari itu semakin kuat menggenggam. Arkan menatap Anna dengan pandangan mencari. "Lepaskan." Anna merasakan dadanya makin sakit, napasnya sebentar lagi tak akan beraturan jika tangan Arkan tak terlepas.

"Aku lapar, aku ingin makan masakanmu. Setelah itu kuantar kau pulang." Jemari Arkan masih kokoh meskipun sekarang Anna berusaha menarik lepas dari lengannya. Anna ingin mendorong tubuh Arkan menjauh, tapi sekarang energi dan pikirannya sedang terfokus untuk mengatasi panik yang mulai mengemuka. Dia harus menjauh sekarang.

"Oke, tapi lepaskan aku." Tangan Arkan tak langsung terlepas, dia tak ingin Anna langsung pergi. Ketika merasa yakin bahwa wanita itu memegang kata-katanya, genggamannya melemah dan Anna langsung menjauhkan diri seraya mengatur napas.

"Tak pernah ada yang hal yang remeh tentangmu, An," kata Arkan lembut, membuat dada Anna makin sesak. Bayangan masa lalunya mendekat.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang