10. Personal Space

8.8K 1.1K 9
                                    

Anna berjalan anggun seperti biasa, tapi setelah melihat bayangan mobilnya yang dikendarai Arkan berjalan meninggalkan lobby, wanita itu berhenti lalu berbalik. Dia berhenti diam beberapa saat sambil merasakan tekstur di ujung jemarinya yang berkerut karena terlalu lama terkena air. Dan tersenyum. Tersenyum!

Anna hampir saja menawarkan coklat panas, tapi ketika Arkan menanyakannya tadi, dengan nada bicara itu dan senyum yang sering dia tebar kepada wanita, Anna membatalkan niatnya. Anna merasa itu hanyalah cara Arkan mengejeknya.

Namun, atas kebahagian kecil yang pria itu bagi dengan membuka jendela, Anna ingin berterima kasih padanya. Mungkin besok pagi dia bisa memberikannya.

##

"Kau masih saja siap sebelum waktu yang ditentukan," ujar Arkan ketika Anna masuk ke dalam mobil. "Jika aku tak mengenalmu, mungkin aku akan berpikir bahwa kau seperti wanita yang terlalu menanti teman kencannya sehingga dia bersiap-siap terlalu cepat."

Saat ini masih pukul enam lewat dua puluh menit, dan Arkan mengatakan itu hanya untuk mengaburkan kenyataan bahwa pria itu sendirilah yang terlalu menanti pertemuan ini. Sekarang dia merasa seperti anak SMA yang terlalu bersemangat, padahal ini sama sekali bukan kencan, atau dia berharap demikian.

"Jika wanita itu bersiap-siap terlalu cepat, dan menjadi pihak yang menunggu, maka wanita itu sama sekali tak tahu tentang art of dating," balas Anna malas.

"Sepertinya kau berpengalaman sekali. Berapa pria yang sudah berhasil kau taklukkan? Sementara kau masih juga menganggap bercumbu menjijikkan?" ejek pria itu dan Arkan bisa melihat raut muka Anna menegang beberapa detik sebelum menoleh keluar jendela.

"Bukan urusanmu." Dada Anna sesak, suara Anna terdengar sedikit bergetar, nyaris membuat Arkan menyesali ucapannya jika Anna tak melanjutkan, "Aku bukan orang yang bisa bertukar ludah dengan siapa saja." Nada sinis Anna begitu kental.

"Ah, pertukaran ludah!" Arkan tertawa ironis, "Berarti aku termasuk istimewa? Karena seingatku dulu kita sering minum dari sedotan yang sama." Sekarang Arkan membayangkan bagaimana rasanya mencicipi langsung tanpa perantara.

"Man and his hormone." Ada nada jijik dari Anna membuat tawa Arkan makin keras. Mungkin Arkan akan sulit membuat wanita itu tersenyum, tapi rasanya menyenangkan juga saling bertukar nada sinis seperti ini. Apa Anna juga melakukannya pada semua orang, atau hanya antara mereka berdua saja. Jika senyum adalah hal yang jamak Anna berikan pada semua orang, maka kalimat sinis adalah keistimewaan baginya.

Anna meremas tas kain berisi kotak makanan di pangkuannya, menyesal telah mengistimewakan isi di dalamnya.

##

Satpam yang membukakan pintu mobil Anna terkejut dan ternganga ketika melihat Arkan lah yang keluar, dan melotot ketika melihat Anna dari sisi pintu yang lain. Sudah menjadi rahasia umum jika dua pewaris Mulyana-Wardhana tak pernah bisa berada dalam ruangan yang sama tanpa saling membagi tatapan menghunus. Sehingga pegawai lainpun mematung melihat kedua orang itu jalan bersisian dari mobil hingga masuk ke dalam lift prioritas. Kecuali satu orang yang tersenyum lega dari tempatnya berdiri, Kepala Securiti yang telah mengabdi di perusahaan lebih dari dua puluh tahun.

"Sepertinya mereka terkejut melihat kita berjalan bersama," Arkan memasukkan tangannya ke dalam saku celana ketika pintu lift tertutup.

"So do I," ujar Anna sambil menggeser tubuhnya, menjauh dari Arkan, berharap dia bisa segera sampai di lantai mereka. Sebelum Arkan membalas perkataannya, Anna bertanya, "Hari ini atau besok kau ada jadwal keluar?"

"Nope! Kau ingin mengajakku kemana?" tanya Arkan balik, sedangkan Anna berusaha menahan diri dari mendengus. Dia lebih memilih berhadapan dengan Arkan yang selalu menjawabnya dengan sinis. That kind of Arkan is easier to handle, dibanding playfull Arkan. Anna menatap Arkan tajam, mencari tahu mengapa lelaki di sampingnya bertingkah sok akrab.

"Ada kemungkinan Pak Abdul datang hari ini atau besok. Tadi pagi dia sudah menanyakan progres penyidikan kami."

"Kau terlihat lebih baik dengan rambut tergerai," ujar Arkan sama sekali tak ada hubungannya dengan pembicaraan Anna, membuat Anna menganga selama beberapa detik sebelum membuang muka ketika merasakan panas merambat dari rahangnya. Berusaha mengatur napas sebelum pembuluh darah di wajahnya makin lebar dan memompa darah berlebihan di arena itu, membuatnya bersemu. Arkan menikmati pemandangan itu, menikmati ketika Anna terdiam dan tak membalas ucapannya.

"Sepertinya aku mendorongmu terlalu keras kemarin," guman Anna tak terdengar jelas.

"Apa kau bilang?" Arkan mendekati Anna, membuat wanita itu harus sedikit mundur sebelum tubuh mereka bersentuhan.

"Kau yakin kepalamu tidak terbentur?" tanya Anna lantang, menanyakan kewarasan lawan bicaranya. "Ada apa denganmu? Bukankah kau pernah bilang agar kita tak perlu mencampuri urusan masing-masing?"

Mata Arkan menatap Anna tajam, "Kau sepertinya pendendam sekali," ujar pria itu menelengkan kepalanya. "Bukankah itu sudah dua belas tahun lalu? Apa kau tidak bosan terus-terusan begini? We were a great team, back then."

"Apapun rencanamu, jangan libatkan aku." Anna mundur selangkah. "Dulu kau yang menyuruh aku untuk keluar dari kehidupanmu. Aku hanya mengabulkan keinginanmu." Arkan kembali menutup jarak mereka, dan dada Anna mulai sesak.

Arkan tak mengatakan apapun, sejak satu tahun lalu dia mulai lebih sering memikirkan Anna, mulai merindukan kedekatan kanak-kanak mereka. Mulai merasa jam-jam yang dia habiskan di pub terasa hampa, mulai melihat bayangan Anna di tubuh wanita lain yang mendekatinya.

"Kau mengganggu personal space-ku," ujar Anna tapi Arkan tak merespon, pikirannya tak ada di tempatnya saat ini. "Minggir!" bentak Anna, jantungnya mulai kehilangan ritmenya.

"Arkan," panggilan singkat itu benar-benar melempar Arkan pada masa lalu, sementara lift telah berhenti, dan dengan buru-buru Anna keluar dari sana, sebelum dia kehilangan kendali atas tubuhnya.

Arkan masih berdiri membeku di sana.

**

Arkan memainkan sebatang rokok yang belum tersulut di antara jemarinya. Dia sedang bersembunyi di salah satu sudut sekolah yang jarang di lewati. Jika dia menemukan api,mungkin ini adalah batang rokok yang pernah dia nikmati selama 16 tahun hidupnya. Pelajaran sudah dimulai sepuluh menit lagi, tapi remaja itu sama sekali tak ingin masuk kelas.

"Apa gunanya punya rokok kalau ga punya korek?" Arkan mengangkat kepalanya, memandang salah satu teman sekelasnya, Arum, yang mulai dekat dengannya setelah ibunya meninggal dua bulan lalu. "Aku punya korek, kalau lo mau bagi rokok, gue bisa bagi api." gadis itu mengeluarkan lighter dari saku roknya.

Dengan sebuah gerakan mudah, karena sudah terbiasa, Arum menyulut rokok, menghisapnya hingga bara itu yakin membakar gulungan tembakau, lalu menghembuskan asap pekat di udara. Semua dia lakukan dengan rokok yang masih ada di jemari Arkan. Tak melepaskan tatapan pada temannya Arkan pun menghisap rokoknya, kali ini asap melaju mudah di saluran pernapasannya, tak seperti ketika pertama kali menghisap.

Mereka berdua tidak mengatakan apapun, hanya menghisap rokok secara bergantian, hingga Arkan menangkap sosok gadis yang sudah lama tak dia lihat.

"Arkan merokok?" tanya Anna, gadis yang selalu mengikat rambutnya ekor kuda ketika sekolah itu menatap kaget. "Sejak kapan?" Arkan mengerang frustasi, sementara Arum memilih menyingkir.

"Bukan urusanmu! Bukannya selama ini kau juga tak pernah peduli!"

Anna mengerjap kaget, Arkan tak pernah menggunakan kata 'kau' untuk menyebut Anna. Mereka selalu memanggil satu sama lain dengan nama, seperti yang selalu mereka lakukan sejak pertama kali mereka mulai bisa memanggil satu sama lain.

"Maaf, aku tak sempat tengok Arkan setelah Mama Arkan meninggal. Aku...."

"Kupikir kau sahabatku! Ternyata kau tak pernah peduli. Kau tak perlu pura-pura merasa bersalah."

"Arkan," ujar Anna lirih.

"Sekarang kau tak perlu mencampuri apapun urusanku. Dan berhentilah memanggilku seperti itu!" Arkan berjalan melewati tubuh Anna dengan menabrakkan pundaknya, Anna terhuyun hingga terjatuh, tapi Arkan tetap berlalu.


Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang