11. Muffin

8.1K 1.1K 13
                                    

Arkan berjalan masuk melalui pintu yang dibukakan Rudy untuknya, masuk ke ruang rapat Komite Audit, tempat yang sama ketika pertama kali Arkan bertemu Enoch. Tempat yang sama yang kembali mengganggu ketenangan perasaannya pada Anna setahun yang lalu.

  Arkan mencium aroma manis madu ketika memasuki ruangan itu, berpadu rempah, mungkin kayu manis dan pala, juga aroma kacang yang hangat. Menerbitkan liur di mulut Arkan, dan perasaan nyaman di dadanya. Membuainya ke masa lalu, tapi sebelum nyanyian masa lalu memasuki intro, Arkan telah menggelengkan kepalanya, kembali ke masa kini, dan alasannya kemari.  

Di dalam ruangan yang pertama kali dia lihat adalah Pak Abdul, lelaki yang berumur hampir enam puluh tahun itu sedang duduk nyaman di kursi utama. Pria itu adalah Ketua Dewan Komisaris, pemilik 17% saham perusahaan mereka. Di hadapannya, Anna juga duduk dengan tubuh bersandar, santai. Meskipun Abdul adalah sosok lelaki yang ramah, tapi kesan mengintimidasi juga selalu muncul dengan kehadirannya. Hanya sedikit orang yang bisa bersikap santai di depannya, dan salah satunya adalah Anna. Karena kedua orang tersebut mempunyai aura yang sama.

"Selamat siang, Pak Abdul. Bagaimana kabar?" Arkan mengulurkan tangan lalu menjabatnya mantap dan memberikan senyum terbaiknya.

"Luar biasa. Like always." Pria itu juga membalasnya dengan senyuman sebelum kembali duduk, sementara Arkan mengambil duduk di samping Anna. "Sebaiknya aku langsung saja, karena aku buru-buru." Abdul menatap Arkan lama sebelum mengalihkan pandangannya pada Anna.

"Anna sudah menyampaikan laporannya padaku. Kau tahu'kan, aku memintanya menyelidiki ini karena hampir setahun setelah posisimu di CEO, kita kalah berulang kali dengan Baron, yang hanya pendatang baru sekelas laron."

Arkan mendengarkan sambil menautkan jemarinya di atas meja, berusaha diam dan mendengarkan, tidak memberikan argumentasi perlawanan. Dia tahu, cara terbaik menghadapi salah satu sahabat ayahnya itu hanyalah dengan diam. Dia juga tahu, di antara para pemegang saham, dirinya masih dianggap bocah kemarin sore yang baru mendapatkan mainan karena kuasa orang tuanya.

"Hasil pemeriksaan di meja kerja sekretarismu menunjukkan ada beberapa proyek lain yang telah dia bocorkan ke Baron. Pemenang tender-tender itu belum diumumkan, jadi kuharap kau bisa mengambil langkah tepat untuk memenangkannya."

"Bapak bisa tenang soal itu, saya tahu apa yang harus saya lakukan." Arkan memaksakan sebuah senyum kaku.

"Selain itu seharusnya kau lebih berhati-hati memilih orang kepercayaanmu, dan menjaga orang-orang terdekatmu. Aku tak percaya kau masih mempertahankan orang seperti sekretarismu dalam waktu yang lama, tingkah lakunya pada Anna bisa kubawa ke ranah pidana, kau tahu itu?" bentak Abdul.

"Anda berlebihan," ujar Anna tenang.

"Berlebihan?" Pria tua itu melotot, "Dan kau!" ujar Abdul sambil menunjuk hidung Arkan. "Aku curiga kalau kau ada main dengan wanita itu."

Sebelum Arkan menanggapi, Anna menyela lebih dahulu, "Pak Abdul, kita sudah membahasnya tadi." Anna terdengar lembut, dia memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan orang-orang yang lebih tua. Dengan suara yang lembut, tak pernah meninggi, ekspresi yang terjaga ramah, dan tentu saja Arkan tidak menjadi bagian dari golongan tua yang mendapat keistimewaan itu.

"Meli melempar saya adalah sebuah keuntungan, karena kita bisa menggunakan alasan itu untuk memecatnya, tanpa memberitahu apa yang telah kita tahu. Kita juga bisa memberikan misleading information kepada temannya yang masih tinggal, sebelum mendapatkan alasan dan bukti kuat untuk memecatnya."

"Masih ada orang lain yang bekerja untuk Baron?" tanya Arkan terkejut.

"Tim IT sedang melacak komunikasi yang terjadi di komputer Meli," jawab Anna dengan nada yang menyatakan akan-kuberi-tahu-nanti.

"Bereskan masalah ini segera, dan buatlah ayahmu bangga." Abdul berdiri dari kursinya dan langsung mengancingkan jasnya. "Jangan sampai evaluasi satu tahun jabatanmu buruk."

Arkan hanya menjawab dengan anggukan dan ikut berdiri, begitu pula dengan Anna. Mengantar Abdul hingga ke depan lift.

"Terimakasih untuk muffinnya, istriku pasti akan suka," Abdul mengangkat tas yang dibawanya sebelum masuk, "Nanti kirimkan resepnya, oke?"

"Baik, Pak. Salam untuk Ibu." Anna mengangguk sopan.

**

"Muffin?" tanya Arkan ketika pintu telah tertutup sempurna dan lift bergerak turun. "Kau membuatkan pria itu muffin?" Anna hanya mengangkat bahu sebelum berbalik dan berjalan ke ruangannya. "Kau masih sering memasak?" teriak Arkan yang belum beranjak dari tempatnya, membuat Anna berhenti sejenak lalu berbalik.

"Berhentilah membicarakan masa lalu." 

"Muffin apa yang kau buat?" tanya Arkan tak memperdulikan ucapan Anna.

"Muffin selai kacang," jawab Anna melanjutkan langkahnya dan menghilang dibalik pintu. Kali ini masa lalu yang menghampiri Arkan bukan sekedar intro, tapi langsung pada menu utama.

**

"Arkan, hari ini jadi belajar Bahasa Indonesia bareng 'kan?" tanya Anna ketika mereka bertemu di depan pintu kelas gadis itu sepulang sekolah.

"Jadi nggak ya?" Arkan balik bertanya, pipi Arkan sudah tak segemuk sebulan sebelumnya, baju yang dipakainya sekarang pun tampak terlalu longgar, apalagi celananya yang menggantung di pinggangnya hanya karena ikat pinggang. Mama Arkan telah menyarankan untuk mencari seragam sekolah baru, tapi Arkan masih menolak. Targetnya masih jauh, dia baru mau membeli seragam baru jika target berat badannya telah tercapai, yang dia harapkan dalam dua bulan lagi.

"Arkan!" rajuk Anna cemberut. "Nanti kubuatkan muffin selai kacang deh. Ya?" Anna memasang senyum termanisnya.

"Aku 'kan lagi diet. Anna mau menggagalkan dietku?" Mereka berjalan bersisian melewati koridor, menuju gerabang di mana Pak Rus menanti mereka.

"Sesekali nggak apa-apa 'kan?" Anna menatapnya, menarik sudut-sudut bibir dan matanya turun, persis anak anjing yang memohon sesuatu, membuat Arkan gemas tapi menahan diri dari mencubit pipi sahabatnya itu. Dulu Arkan sering mencubit pipi Anna, dan selalu berhasil membuat gadis itu menangis, karena dia selalu melakukannya sepenuh tenaga. Seiring bertambahnya usia, Arkan masih belum juga berhasil mengendalikan tenaganya ketika mencubit, sehingga yang Arkan kendalikan adalah keinginannya untuk mencubit.

"Iya, sesekali. Tapi tiap kali Anna minta sesuatu, pasti barter dengan masakan sebagai bayaran."

"Arkan 'kan udah jarang main bareng aku sekarang! Hampir tiap pulang sekolah sekarang Arkan lebih milih pergi ke gym. Arkan nggak tambah ganteng tahu, kalau kurus gitu." Bibir Anna mengerucut, masih sebal.

"Beneran?"

"Iya! Dan temen-temen cewek di kelas jadi sering ngomongin Arkan. Nyebelin tahu, denger mereka."

"Emang mereka bilang apa?"

"Bukan apa-apa!" Anna makin kesal.

"Ayolah, bilang apa?"

Anna berhenti lalu menghadap ke Arkan, memandang wajah Arkan lamat-lamat, "Mereka bilang Arkan jadi cakep."

Dada Arkan meledak, apalagi oleh tatapan Anna, "Lalu, menurut Anna?"

"Nggak! Aku lebih suka kalo pipi Arkan tembem."

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang