18. Fight

8.7K 1K 9
                                    

Sebuah omelet telur dan sayur meluncur lembut dari penggorengan menuju piring, menemani french toast dengan mentega yang meleleh di permukaannya. Dada Arkan sesak, teringat Mamanya yang dulu sering menyiapkan sarapan dengan menu yang sama. Teringat juga, ketika dulu Anna muda muncul di depan pintu rumahnya sekitar pukul enam pagi, sudah tampil rapi, dan mengatakan dia rindu masakan Martha, ibu Arkan. Semua orang di rumah itu tahu, jika Anna datang ke sana pagi-pagi, itu artinya sehari sebelumnya Hendra pulang dalam keadaan mabuk, dan Widya, ibu Anna, memilih pergi dari rumah.
Sekarang Arkan bertanya-tanya, ke mana Anna pergi jika hal itu terjadi setelah mereka tak lagi bertegur sapa dua belas tahun lalu, setelah kematian Martha.
“Setelah kematian Mama, ke mana kau pergi ketika Papamu mabuk?” Arkan tak mampu menahan rasa ingin tahunya, meski ia tahu, pertanyaannya berisiko. “Gina?” lanjut Arkan teringat salah seorang teman sekelas Anna ketika SMA
Anna terdiam beberapa saat memandangi piring yang baru saja akan dia bawa ke meja makan. Sampai dia duduk di hadapan Arkan setelah meletakkan menu sarapan kesukaan pria itu, Anna sama sekali tak membuka suara. Hingga Arkan memulai menyantap masakan sederhana yang membawanya bernostalgia, tak ada jawaban yang diterima.
“Aku tak pergi ke manapun,” guman Anna setelah menelan suapan ketiganya, membuat Arkan menghentikan gerakan dan langsung menatap wanita yang kali ini membalas tatapannya. “Aku belajar, bahwa aku harus menghadapi masalahku. Sendiri.” Anna mengatakannya dengan penuh penekanan. “Aku tak bisa terus berpura-pura tak ada masalah dan mencari suaka.” Mereka saling menatap untuk beberapa saat, mengikis dua belas tahun yang terlewat dalam ketidakpedulian.
“Kita tak bisa berharap orang lain akan selalu ada untuk kita,” ujar Anna sebelum melanjutkan makannya.
“Kau benar, kita tak biaa berharap orang lain akan selalu ada untuk kita. Bahkan kepada seorang sahabat yang kita pikir kita ….” Arkan memutus kalimatnya sebelum kata itu terlepas, menelan pahitnya sendiri. Cinta? “Bahkan kita tak bisa berharap kepada seseorang yang telah dianggap sebagai anak sendiri.”
Anna mengangkat kepalanya, menatap Arkan tak mengerti.
“Aku tak tahu apa yang bisa kuharapkan darimu dulu. Kau bahkan tak memberikan penghormatan terakhir untuk Mama.” Arkan mengenggam garpunya erat, hingga sedikit melengkung.
Ketika pemahaman mengendap, pukulan telak terasa di ulu hati Anna. Masih masalah itu, masih tentang ketidakhadirannya di pemakaman dan masa-masa Anna sibuk dengan dirinya sendiri, masa-masa ketika Arkan perlahan berubah menjadi lebih urakan dan menikmati kebebasan bersama teman-teman barunya.
“Aku minta maaf.” Tatapan Anna mengikat erat mata Arkan, memintanya melupakan sakit hati yang masih saja menggerogoti. “Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri waktu itu.” Dia menutup mata, tak ingin seseorang melihat lebih dalam dirinya, tapi tak juga ingin membuang muka. Dia tak ingin lari, meskipun tak yakin untuk membuka diri.
Sebuah bayangan kembali hadir di kepala Anna.
**
“Na, aku ke gym ya, hari ini.” Arkan muda berdiri di depan pintu kelas gadis itu, sebelum sahabatnya berdiri tepat di hadapan, bocah itu sudah bicara.
“Lagi?”  Meskipun menahan diri agar tidak cemberut, tapi nada kecewa tetap terlepas dari bibir tipisnya.
“Iya. Bukannya Anna juga ada tutoring persiapan olimpiade?” Arkan memberikan senyumnya, beberapa bulan lalu, jika tersenyum maka pipi bakpao akan menyipitkan matanya, tapi kini tidak lagi. Anna tak tahu mana yang lebih dia sukai, anak gendut-lucu-menggemaskan tapi selalu terengah-engah ketika diajak berjalan-jalan, atau pemuda yang makin lama makin terlihat matang menjalani transformasinya menjadi pria dan terlalu sibuk dengan target berat badan dan massa ototnya. Namun, Anna tahu, jika dia mengajukan protesnya, sama saja dia tak menghargai kerja keras dan keinginan Arkan.
“Besok kita pulang bareng, aku janji.” Degup jantung Arkan tak beraturan mengingat rencananya besok. Besok dia ingin menyatakan perasaannya kepada Anna, jadi dia butuh mematangkan rencananya sore ini.
“Anna ga semangat gitu sih tutoringnya?”  Anna tak menjawab pertanyaan itu, tapi langsung membuang mukanya. Jika saja Arkan mau memperhatikan lebih seksama ada raut enggan dari wajah sahabatnya.
“Nggak apa-apa, tapi aku nggak suka tutornya.” Anna melingkarkan tangannya ke tubuhnya sendiri, memeluk diri sendiri. “Dia ….” Anna tak bisa melanjutkan, tak bisa mengartikulasikan apa yang ingin disampaikan.
“Jangan karena tutornya nyebelin, Anna malah nggak maju,” ujar Arkan sok bijak sambil menepuk ubun-ubun gadis itu. Dia suka melakukannya, jika mereka benar-benar berdekatan hingga ujung-ujung jemari kaki saling bertemu maka ubun-ubun Anna akan berada tepat di ujung hidungnya.
**
Gina baru bersiap mengunci pintu ruang OSIS sore itu ketika mendengar langkah cepat dan berat menghampirinya.
“Gin!” Seseorang memanggilnya pelan dan  terengah-engah, ketika menoleh dia mendapati Anna sedang berlari dengan sedikit terpincang. Rambut berantakan, tangan yang terlihat kotor memegang kerah bajunya. Saat Anna cukup dekat, baru Gina sadari beberapa kancing sudah tak ada dan ada bekas cakaran di sekitar lehernya.
“Lo kenapa?” Rasa panik menyergap Gina, dia tak pernah melihat ekspresi ketakutan dari teman sekelasnya. Anna adalah anak yang selalu tenang. Sekarang gadis itu bahkan tidak bisa mengatakan apapun, mulutnya hanya bergerak tak teratur, napas seperti tak benar-benar masuk  ke dalam paru-paru, serta mata yang nyalang, tapi tak bisa menatap lawan bicaranya.
“Pulang,” berkali-kali Anna menoleh ke belakang. “Gue ikut lo pulang,” ujarnya sedikit memaksa.
“Lo kenapa?” Gina kembali  bertanya, menuntut jawaban. Tapi gadis di hadapannya hanya menoleh ke belakang, dan ketika Gina mengikuti pandangannya, sekilas dia melihat bayangan seorang pria sebelum menghilang di balik tiang.
**
“Aku ingin tahu, apa yang membuatmu begitu sibuk hingga bersikap seperti itu.” Arkan menatap Anna yang masih menutup matanya, berusaha menembus tabir yang dipasang oleh perempuan itu. “Teman baru? Pacar?” Arkan berusaha menanyakan kata terakhir dengan nada meyakinkan, meski dia tak akan percaya alasan itu. Dia cukup tahu Anna sebelum kematian ibunya.
“Jangan menyimpulkan sesuatu jika kau tak tahu duduk perkaranya.” Dada Anna kembali sesak, mengingat tentang kematian Martha selalu mengingatkannya pada kejadian sehari sebelumnya. Ketika dia kepayahan melarikan diri dari ruangan serba putih dengan berbagai botol kaca, ketika dia melemparkan salah satu botol asam sulfat yang sebagian mengenai kakinya dan masih meninggalkan bekas hingga kini.
Anna melingkarkan jemarinya pada gelas berisi air putih di hadapannya, dia ingin meminum isinya, tapi ketika menyadari jarinya mulai bergetar, dia menahan gerakannya. Sebisa mungkin dia tak ingin seorangpun tahu tentang permasalahan dirinya, tak seorang pun, terutama Arkan.
**
Arkan memperhatikan lekat Anna yang sedari tadi sibuk mengatur napas, mengambil udara seperti pekerjaan berat baginya. Anna tidak memiliki asma, itu yang Arkan ingat. Tangannya meremas erat gelas di hadapannya, dan kini baru Arkan sadari, buku-buku jemari putih Anna berwarna merah kebiruan.
Rasa sakit menjalar di tubuh Arkan mengetahui wanita di hadapannya terluka. Dia benci rasa ini. Seharusnya dia membenci wanita di hadapannya, tapi mengapa dia masih merasa dia harus menanggung luka yang diterima Anna.
“Ada apa dengan jarimu?” Arkan makin membenci dirinya sendiri karena menanyakan pertanyaan bodoh itu. Ketika ujung-ujung jemarinya menyentuh hati-hati buku-buku jari Anna, mata wanita itu membuka dengan cepat, menatapnya tajam, sembari menarik tangannya segera, mengakibatkan gelas yang tadi dia genggam berguling dan menumpahkan airnya. Namun, tak ada yg peduli tentang air yang tertumpah di meja itu.
“Bukan urusanmu,” ujar Anna dingin sembari menyilangkan tangannya di dada, dan kini malah menampilkan bahwa lengan bawahnya juga penuh memar.
“Mengapa kau tiba-tiba peduli denganku? Akan lebih mudah bagi kita jika kita saling tak peduli, seperti dua belas tahun terakhir.”
Amarah mulai menggerogoti Arkan, dia tak ingin memperhatikan wanita ini, tapi dia benci jika perhatian yang telah dia berikan ditolak. Arkan berdiri dan melangkah lebar hingga berada di samping Anna, tanpa persetujuan Anna, Arkan menarik tangan perempuan bermata dingin itu. Memperhatikan beberapa memar  yang tercetak di sana, “Bagaimana kau bisa terluka?” tangan Arkan menggenggam Anna, tak terlalu kencang hingga menimbulkan luka baru, tapi tak mudah terlepas.
“Aku ikut berkelahi semalam. Oke?” Anna menghentak tangannya, berharap bebas, tapi tangan Arkan masih menyentuh kulitnya. “Lepaskan aku!” bentak Anna dengan suara yang mulai meninggi tapi juga bergetar. “Berhenti peduli padaku!” wanita itu masih berusaha melepaskan tangannya, jika saja Arkan memegang nadi di pergelangan tangannya, dia pasti bisa merasakan bahwa jantung Anna sudah berdetak terlalu cepat.
“Kau membuatku risih!” Kata terakhir berhasil menyulut bara yang dari tadi Arkan coba kendalikan.
“‘Risih’ katamu!” Arkan membalas bentakan Anna, dan kali ini dia mencengkram kedua tangan perempuan yang mulai kehabisan napas itu, menatapnya tajam, sementara mata Anna telah berdilatasi sempurna. Pria bertubuh tinggi tegap itu mendorong tubuh Anna dan menghimpitnya di tembok. “Katakan lagi, jika kau risih!” Arkan mendesis, mendekatkan wajahnya, hingga dia bisa merasakan napas pendek-pendek Anna di pipinya.
“Lepaskan!” suara Anna masih terdengar galak, meskipun dia hanya mampu berbisik.
“Bagaimana jika aku tak mau?” Arkan berbicara dengan nada mengancam, wajahnya semakin mendekat, ujung-ujung hidung mereka nyaris bertemu.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang