5. Boneka Beruang

11.6K 1.2K 19
                                    

Arkan melihat kembali kertas putih yang terlipat di tangannya. Sebuah undangan aqiqah dari Enoch yang didapatnya ketika mengunjungi Crunch and Hunch. Dia suka kopi yang disajikan di sana, siapa sangka pemiliknya adalah pria yang terlihat bagai mayat ketika keluar dari ruang rapat Komite Audit satu tahun lalu. Ini adalah undangan aqiqah pertama yang dia hadiri, dan sejujurnya dia tak tahu apa yang harus dia berikan ketika menghadiri acara semacam ini.

Ketika mengunjungi sebuah mall semalam, langkah kakinya terhenti di depan sebuah toko boneka dan tanpa sadar pria itu masuk ke sana. Arkan ingat dulu dia pernah mengunjungi toko yang serupa untuk membelikan sebuah boneka untuk sahabatnya, yang sekarang dia yakin boneka itu sudah tak ada lagi.

Begitu membuka pintu mobil sport-nya, angin langsung membelai rambut Arkan yang tak pernah bisa terlihat rapi. Aviator sunglass masih bertengger di atas hidung mancungnya, melindungi dari sinar matahari yang mulai meninggi. Pria dengan kaus hitam yang menempel sempurna di tubuhnya dan mengenakan cardigan krem itu berlari kecil menuju pintu penumpang dan membuka pintu. Tersenyum lebar dia menarik sebuah boneka beruang raksasa yang memiliki tinggi hampir sama dengan dirinya.

Kepayahan yang sesungguhnya dimulai ketika pria itu sudah memeluk boneka raksasa itu tapi dia tak bisa menjangkau pintu mobilnya, dan wajahnya tertutupi oleh kepala boneka. Arkan hendak meletakkan boneka di atas kap mobil, tapi kemudian sadar bahwa dia tak ingin mengotori benda lembut itu dengan debu jalanan yang sudah menutupi bagian depan mobilnya.

Dan sepertinya dia memperoleh jawaban ketika melihat seorang wanita yang dia kenal, rambutnya tergerai panjang kali ini, berbeda penampilannnya ketika jam kerja dengan rambutnya selalu tergelung di pangkal leher. Mengenakan celana baggy warna peach dan blouse putih yang tampak longgar, menjadikannya terlihat santai tapi tetap berkelas.

"Anna!" seru Arkan membuat wanita itu menghentikan langkahnya, wanita itu menoleh perlahan sambil melepaskan kacamata hitam yang membingkai wajahnya. Kembali mengingatkan Arkan, bahwa teman sekantornya itu berlebihan cantiknya. "Bantuin aku! Aku nggak bisa tutup pintu." Arkan setengah berteriak karena jaraknya dengan Anna.

Sementara wanita itu memperhatikan Arkan lekat, memantik sebuah degup kecil yang sempat pria itu lupakan. Pandangannya beralih ke boneka raksasa dalam pelukan Arkan, lalu pintu mobil mahal berwana silver itu, kembali ke boneka, beralih lagi ke Arkan. Lalu dengan gerakan anggun ala aristokrat wanita itu mengangkat dagunya dan kembali meneruskan perjalanan.

"Woi! Anna!" kini Arkan sudah berteriak, tapi wanita itu seperti tak mendengarnya. "Lusianna Wardhana!" kini gigi Arkan bergeletuk, kesal.

###

Anna berjalan masuk ke dalam kamar Mutia, menghampiri dua orang sahabatnya yang sedang mengobrol santai. Mutia dengan bayi yang masih merah di dalam dekapannya duduk nyaman di sebuah kursi goyang, sementara Gina duduk di sebuah bangku di sampingnya.

"Halo, Cantik ...," tangan Anna baru akan membelai kepala bayi, ketika ibunya menatap Anna dengan tatapan tajam. "Apa? Gue udah pake handsanitizer tadi, sebelum turun dari mobil."

Alasan itulah yang membuat Anna membiarkan Arkan dengan boneka beruang raksasanya, dia tak mau jika harus memakai cairan disinfektan lagi, karena cairan itu selalu berhasil membuat kering tangannya. Selain itu, melihat Arkan membawakan Teddy Bear untuk orang lain juga membuatnya sesak.

"Ngapain lo undang Arkan?" tanya Anna lagi sambil membelai helaian rambut halus anak Mutia yang masih berusia empat belas hari.

"Gue nggak undang dia, Mas Enoch mungkin."

"Arkan dateng?" tanya Gina bingung.

"Iya, sambil bawa beruang raksasa, buat Si Cantik," Anna tersenyum ketika bayi yang di hadapannya tersenyum. "Dia suka dipanggil Cantik, Mut! Kayak elo, narsis!"

Belum sempat Mutia membalas ucapan sahabatnya, suaminya sudah muncul dari pintu, "Mah, siap-siap, Ustazdnya udah datang." Hanya mengucapkan itu Enoch segera bergegas menemui pemuka agama yang akan memberikan tausiyah pada acara aqiqah anak pertama mereka. Sudah satu tahun berlalu sejak Enoch bertemu dengan Gina, Anna, juga Arkan--lelaki yang memastikan tidak ada pertumpahan darah sore itu--untuk mencari keberadaan Mutia.

"Cie..., udah ganti 'Mah' nih ya? Kamu panggil dia apa? 'Pah'?" goda Gina.

"Pengen? Makanya, lamaran si Jaksa itu segera lo terima!" balas Mutia, yang langsung membuat Gina membisu.

"Lo dilamar?" tanya Anna kaget.

"Iya, semalam. Gue tolak, lagi," jawab Gina final, tak ingin diganggu lebih jauh, membuat dua sahabatnya hanya saling pandang, dan sepakat tak menanyakan lebih jauh.

"Na, gendongin Cantik dulu dong, gue susah berdirinya." Dengan sigap dan lembut Anna menggendong bayi mungil itu sementara Mutia berdiri dari kursi goyang, bekas jahitan operasinya membuatnya ekstra hati-hati dalam bergerak. Gina menggandeng tangan Mutia hanya sampai di depan pintu kamar ketika Enoch langsung memeluk pinggang istrinya lalu mengecup ubun-ubun wanita kesayangannya itu.

Anna muncul belakangan dengan Cantik di buaiannya, memberikan kecupan kecil ke kening bayi itu, mengadukan ujung hidungnya pada hidung Cantik yang membuat bayi itu kembali tersenyum, dan Anna membalas senyumannya. Pemandangan yang tak Arkan lewatkan, kini bukan hanya degup kecil yang mengganggu di dadanya, karena sekarang jantungnya terpacu.

##

Arkan duduk sendiri di barisan belakang dengan boneka beruang raksasa di samping kirinya. Dia menikmati sate kambing yang disajikan sementara tangan kirinya sibuk mengoperasikan HP, memerikasa email yang masuk untuk urusan pekerjaan. Ketika dia melihat bayangan seseorang duduk di sisi boneka yang lain, pria 28 tahun itu mengangkat kepala.

"Kayaknya cuma kau yang barang kayak gini ke acara aqiqahan," ujar Anna datar, seperti biasa, tanpa melihat ke arah Arkan. Mata wanita itu tetap mengarah ke barisan ibu-ibu yang menabuh rebana dan melantunkan shalawat.

"Nggak ada anak-anak yang nggak suka boneka," balas Arkan sinis, "Kayaknya dulu ada yang ngomong itu."

Anna diam, tak membalas ucapan itu, karena wanita itu tahu persis siapa yang dibicarakan. Dirinya pernah mengucapkan kalimat itu bertahun-tahun lalu.

"Tak biasanya kau menghadiri undangan macam ini." Anna bisa mengingat beberapa kali pejabat maupun karyawan memberikan undangan aqiqah anak maupun cucu mereka, yang Anna yakin bahwa Arkan pun akan diundang, tapi pria itu tak pernah menunjukkan diri.

"Perhatian sekali?" tanya Arkan dengan nada sinis, membuat Anna menyesal telah menanyakannya. "Aku hanya ingin melihat, bagaimana seorang pria yang nyaris kehilangan berhasil mendapatkan kesempatan kedua." Anna tak memberikan tanggapan apapun.

"Tapi aku heran dengan mulut besarmu, kau bilang bisa membunuhnya, tapi ternyata kau satu-satu yang pucat pasi di ruangan itu," ejek Arkan. Meski kejadian itu sudah satu tahun berlalu, dia masih ingat betul bagaimana reaksi Anna. Namun, pria itu sudah mulai tak peduli lagi.

"Jangan menyimpulkan sesuatu jika kau tak tahu apapun!" gertak Anna sambil berdiri.

"Kalimat itu lagi. Kau pernah mengatakan hal yang sama bertahun-tahun lalu, ketika kau tak mempedulikanku," balas Arkan lebih sengit.

Anna berdiri terburu-buru, membuat bangkunya berderak, "Kalau begitu, kau tinggal membalasku dengan melakukan hal yang sama, bukankah itu yang selama ini kau lakukan dengan baik?" Arkan bisa melihat rahang Anna mengeras, tatapannya menyipit, sebelum pergi meninggalkannya.

##

"Sepertinya aku terlalu mengistimewakanmu, padahal sepertinya Tuanmu biasa saja," Anna tersenyum getir sambil memandang boneka beruang tua yang duduk di meja riasnya, di lehernya berkilat kalung liontin A ganda yang baru Anna lepaskan beberapa menit yang lalu.   

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang