3. Sebelum Cangkir Melayang

17.8K 1.3K 18
                                    

Setahun lalu.

"Apa kau tahu, bahwa Hardi sedang mengumpulkan dukungan para Pemegang Saham untuk persiapan pemilihan CEO bulan depan?" Anna memandang Arkan dengan tatapan bosan. Pria di hadapannya langsung mendengus, dan tangannya langsung mengacak rambut pendeknya. Kebiasaan yang sudah Anna kenali dari pertama kali wanita itu memiliki ingatan. Untuk menambah frustasi lawan bicaranya, Anna menambahkan, "Dan dia juga mendatangiku untuk meminta dukungan."

Tiga puluh menit yang lalu, Anna memanggil Arkan untuk membicarakan hasil temuan tim audit atas pemeriksaan di direktorat yang Arkan pimpin. Tak ada temuan yang material dalam pemeriksaan itu, kecuali satu hal, tingkah laku direkturnya yang sering menjadi perbincangan, dan tentu saja direktur itu adalah Arkan.

"Dan ke mana dukunganmu akan kau berikan?" Arkan memandang Anna tajam, tapi Anna sama sekali tak terlihat gentar. Tatapan saling membunuh sering mereka bagi selama tujuh tahun mereka bekerja di perusahaan ini, dan tak ada satupun dari mereka yang terlihat ingin menghentikan kebiasaan itu.

Perusahaan ini didirikan oleh Herman Mulyana, ayah Arkan, dan Mahendra Wardhana, ayah Anna. Kini perusahaan itu menjadi sebuah perusahaan terbuka, yang kepemilikannya bukan hanya ada di dua keluarga itu. Karena seiring perkembangan perusahaan dan kebutuhannya akan dana, menjadikan kedua pria itu mengundang investor lain untuk menanamkan modalnya.

Ayah Anna sudah meninggal sepuluh tahun lalu, sedangkan Herman memutuskan pensiun dini dan pergi keliling dunia dengan ibu tiri Arkan sejak tiga tahun lalu. Meninggalkan perusahaan kepada orang kepercayaan mereka sembari menunggu kesiapan Arkan untuk memegang kendali. Tapi, kini kuasa tidak lagi hanya milik Mulyana maupun Wardhana, meskipun masing-masing dari mereka memiliki 25% dan 20% saham perusahaan. Keputusan penting ditetapkan melalui rapat para pemeggang saham.

"Aku tak akan menghadiri pertemuan itu, karena Mama yang akan datang ke rapat." Anna terdiam sebentar, telepon internalnya berdering. Wanita itu menjawab sebentar sebelum mengembalikan fokusnya pada seseorang yang dulu sangat dekat.

"Meskipun kau bisa menyakinkan Mama untuk memilihmu, kau masih harus mencari enam persen dukungan lagi jika menginginkan jabatan CEO." Anna bersandar nyaman di kursi kebersaraannya. "Dan saranku, perbaiki attitude-mu. Apa kau tak sadar bahwa pemeriksaan baru saja kulakukan adalah cara mereka untuk menjatuhkanmu?"

Arkan menatap Anna dengan geram, bagaimana wanita di hadapannya ini terlihat sangat santai dan tanpa perasaan ketika mengatakan itu semua?

"Dan kau tetap melakukannya?"

"Tentu saja, itu tugas Komite Audit. Beruntung aku tidak menemukan kesalahan dalam pekerjaanmu."

"Beruntung? Kau pikir ini keberuntungan? Itu hasil kerja keras kami semua!" Anna hanya angkat bahu.

"Kinerjamu sudah bagus, sekarang perbaiki attitude-mu." Anna mengulang nasehatnya sebelum berdiri, dia harus menemui Enoch yang sekarang sedang menunggunya di ruang rapat. Sudah tiga hari ini Mutia tidak kembali ke apartemennya, dan sepertinya wanita itu belum kembali ke tempat suaminya.

"Lihat siapa yang bicara tentang attitude," geram Arkan ikut berdiri, dia harus keluar dari tempat ini, sebelum keinginan untuk mencekik wanita di hadapannya menjadi kenyataan.

"Temani aku menemui Enoch! Suami temanku." Nada yang digunakan Anna adalah nada perintah.

"Untuk apa?" tanya Arkan tidak suka, dia ingin segera menyingkir dari hadapan seseorang yang pernah menjadi sahabatnya ini.

"Memastikan tidak ada penganiyaan yang akan terjadi di gedung ini," jawab Anna datar sambil melangkah.

"Apa maksudmu?" Arkan menghalangi langkah Anna, dia tak bisa membayangkan jika seseorang akan melukai Anna. Tangannya mengepal hanya karena memikirkannya. "Apakah dia memukul temanmu?"

Anna menatap Arkan bingung untuk sesaat, sebelum akhirnya dia berkata dengan nada yang begitu dingin, "Bukan, tapi aku akan dengan mudah menghajarnya jika tak ada orang lain yang menahanku."   

##

Dengan langkah berat Arkan mengikuti Anna ke ruang rapat, ada banyak alasan sebenarnya jika ingin Arkan ingin menolak 'permintaan' Anna. Namun, keinginannya untuk berada di sisi wanita itu tiba-tiba menguat. Rudi, asisten Anna, sudah berjalan dengan membawa nampan berisi beberapa cangkir minuman. Tipikal asisten Anna yang selalu menjamu tamunya dengan baik.

Arkan membukakan pintu dan di dalam ruangan berdiri seorang pria seumuran dengannya atau sedikit lebih tua sedang berdiri dengan raut wajah gelisah. Apapun yang sedang dialaminya pasti tidak baik, sehingga Arkan hanya memberikan sebuah senyum prihatin. Prihatin, membayangkan apa yang akan dilakukan Putri Es kepadanya.

"Lady's first," Arkan menahan pintu dengan tangan kiri, dan tangan kanannya terayun untuk memberi tanda kepada Anna, bagaimanapun ibunya telah mengajarkan Arkan untuk selalu menjadi seorang gentleman. Anna masuk ruangan itu dengan tatapan yang dingin, bahkan sekarang semakin mematikan.

"Na, lo lagi ada tamu?" tanya Gina yang terbiasa menjelajah bebas di kantor Anna mengintip dari pintu, begitu pandanganan jatuh kepada Enoch, semua terasa bagai gerakan lambat. Gina mengumpat, menyambar cangkir yang masih di nampan, teh yang panas berhambur di atas kepala Anna. Arkan dengan refleks depan Anna, menarik Anna di balik tubuhnya, cangkir berputar perlahan di depan wajah Enoch, Enoch menghindar hingga suara pecahan gelas yang beradu dengan dinding menambah kekacauan itu. Rudi langsung berlari menuju meja terdekat untuk meletakkan nampan ketika yang lain mematung dalam keterkejutan.

Gina hendak menerjang Enoch, wanita ini benar-benar bersumbu pendek jika menyangkut sahabatnya, tetapi terhenti ketika mendengar Arkan.

"Anna, lo kenapa?"

Pandangan seluruh orang di ruangan teralih ke Anna yang tampak pucat pasi. Dada Arkan bergemuruh dan secara otomatis tangan lelaki itu menangkup pada pipi Anna, memanggilnya untuk mencari kontak mata.

"Pergi dari Anna!" kini seluruh perhatian Gina menjurus ke Anna, menarik Anna ke hadapannya. "Anna, ini gue An. Ini gue, Gina. Lo aman." berulang kali Gina mengucapkan itu hingga beberapa saat kemudian Anna mulai bisa menatap ke arah sahabatnya.

"Apa yang lo lakuin ke Anna?" tanya Gina marah pada pria berambut berantakkan itu.

"Gue? Harusnya gue yang tanya ke lo. Dia baik-baik aja sebelum lo kesetanan!" Arkan terdengar gusar, panik.

"Apa yang lo lakuin di sini? Lo nggak dibutuhin di sini!" kedua orang itu berdebat, melupakan sejenak keberadaan Enoch.

"Anna yang minta gue! Untuk memastikan Anna nggak kesetanan kayak lo, dan bunuh orang ini!" telunjuk pria itu mengarah pada Enoch, yang sedari tadi menyaksikkan dengan tatapan bingung.

"Bisa kita duduk?" tanya Anna dengan suara dingin, tetapi masih sedikit bergetar. Gina langsung menggandeng tangan Anna dan berjalan menuju kursi. Ada sedikit rasa lega mengalir dalam darah Arkan ketika mendapati Anna telah kembali bicar, dan meskipun masih terlihat kesal, tapi akhirnya mengikuti. "Rudi, bisa kamu bawa minumannya keluar? Ganti dengan air mineral plastik. Pecahannya bereskan nanti saja." Asisten Anna hanya mengangguk dan tanpa bicara langsung melaksanakan perintah atasannya.

"Anda bisa duduk Pak Enoch," sebuah senyum profesional Anna tampilkan ketika semua di ruangan telah duduk kecuali Enoch. Dengan langkah lelah Enoch mendekati kursi dan duduk di hadapan Anna.

"Aku tak ingin berbasa-basi, karena dari reaksi kalian, sepertinya kalian sudah tahu permasalahanku dan Mutia," Encoh menatap Anna dan Gina secara bergantian. Anna kembali menampilkan ekspresi dinginnya sementara Gina sama sekali tak berusahan menutupi kemarahannya. Sedangkan pria berambut berantakan sama sekali tak memperhatikan Enoch karena pandangannya terkunci pada Anna, sebuah pandangan penuh selidik.

---

a/n. jika kalian baru baca cerita dari aku, part ini ada hubungan dengan ceritaku yang lain "Kepingan Hati", jadi jika ingin memperoleh gambaran lebih utuh silahkan mampir ke sana ya... terimakasih 😉

ohya, aku ga bisa janjiin update cerita ini tiap hari, tapi diusahakan dalam seminggu bisa nambah 3 bagian. berusaha menyeimbangkan dunia nyata dan dunia orange.

see you...much love

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang