6. Setelah Jam Kerja

10.3K 1.1K 9
                                    

Langit sudah gelap dari tiga jam yang lalu, tapi Anna dan timnya masih larut dalam rapat mereka. Anna memijat pelipisnya, selain karena gelungan rambutnya yang mulai tidak nyaman, tapi juga pembahasan rapat yang tidak sesuai keinginannya. Tim investigator perusahaan yang berada di bawah Komite Audit telah memberikan laporannya. Dalam satu tahun ini beberapa kali Mulya Wardhana kalah tender dengan sebuah perusahaan kecil yang belum lama beroperasi. Dan pola kekalahan yang dialami sama, memiliki spesifikasi yang sama persis tapi perusahaan itu bisa memberi harga yang sedikit lebih rendah dibanding perusahaan Mulya Wardhana.

Perusahaan Anna selalu mencoba bermain jujur, tapi ketika pola yang sama terulang hingga berulang kali, kecurigaan bahwa ada yang membocorkan informasi proposal tender tak bisa dihindari. Dari laporan tim investigasinya, mereka tak mendapati kemungkinan fraud di divisi-divisi terkait.

"Terima kasih atas kerja kerasnya," ujar Anna mengakhiri rapat. "Saya yang akan melaporkan hasil investigasi Tim ke Pak Arkan." Peserta rapat yang terdiri dari empat orang pria dengan usia 40-an tahun hingga 25 tahun itu mengangguk. "Selamat malam." Dengan ucapan itu anggota rapat membereskan barang-barangnya lalu perlahan berjalan meninggalkan Anna sendiri di ruang rapat.

"Apa Pak Arkan masih ada di ruangannya?" tanya Anna pada Rudy, asistennya, yang baru masuk ruangan.

"Dari informasi yang saya dapat dari Sekretarisnya, Pak Arkan hari ini mungkin lembur," jawab pria berumur 24 tahun itu tanggap. "Perlu saya serahkan laporan rapat ini malam ini juga?"

Anna menjawab pertanyaan itu dengan gelengan, "Biar aku sendiri yang menyerahkannya, aku perlu membahasnya dengan Pak Arkan."

Rudy mengangguk dan dengan sigap merapikan beberapa lembar kertas di hadapan Anna, menyatukannya dengan paper klip lalu memasukkannya dalam sebuah map bening yang memiliki logo perusahaan di depannya. Anna bangkit dengan enggan sambil menerima map yang baru saja disiapkan.

Wanita yang tahun ini akan menginjak umur 27 tahun itu berjalan pelan di koridor, perutnya mulai terasa lapar. Ruangan Arkan dan dirinya berada di lantai yang sama, hanya saja Arkan berada di sayap timur, sedangkan Anna di sayap barat. Anna tidak melihat siapapun ketika memasuki ruang sekretaris CEO. Iya, Arkan telah menjadi CEO dari sepuluh bulan lalu setelah mendapatkan suara dari 55% pemegang saham. Mengalahkan saingannya yang hanya memperoleh 30% suara.

Pandangan Anna menyapu meja sekretaris yang tampaknya belum dirapikan. Wanita itu mencari highlighter pen di meja itu untuk menandai beberapa bagian laporan yang perlu diperhatikan Arkan, sehingga diskusi mereka nanti diharapkan berlangsung lebih efisien. Dia ingin segera pulang dan makan.

Ponsel yang sepertinya milik sekretaris Arkan bergetar di samping tangan Anna yang sedang menandai baris-baris kalimat di laporan. Anna tak mempedulikannya, meskipun mau tak mau dia melihat nama yang tertera di sana secara sekilas. Anna merasa familiar dengan nama itu, tapi tetap melanjutkan kegiatannya. Tak lama kemudian layar HP itu menyala lagi, kali ini menampilkan pop up pesan yang masuk.

Anna melirik sejenak, tapi ketika dia hendak melanjutkan memberi tanda, tangannya terhenti.

Aku butuh informasi untuk proyek perkantoran di kawasan bandara.

Insting wanita yang menduduk jabatan Kepala Komite Audit-bukan hanya karena dia pemegang saham terbesar kedua, tapi juga karena kemampuannya yang mumpuni-memberi tanda bahaya. Nama pengirim pesannya sama dengan yang melakukan panggilan ke ponsel itu beberapa detik sebelumnya, nama yang sama juga tertera di laporan yang kini sedang digenggamnya.

Dengan tergesa Anna menyambar HP itu beserta laporannya lalu berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan Arkan. Anna mendorong pintu yang tak tertutup sempurna itu tanpa suara, tapi pemandangan di dalam membuat wanita itu berhenti beberapa detik, sebelum mendorong pintu dengan kekuatan yang berlebihan, menimbulkan suara berdeham yang cukup keras. Mengagetkan dua orang yang sebelumnya sibuk satu sama lain di dalam ruangan.

Meli, Sekretaris Arkan, yang sebelumnya duduk di pangkuan Arkan seketika berdiri, matanya membulat, kaget. Rambutnya tergerai berantakan, blouse yang dipakai sudah tak rapi lagi. Sementara Arkan, terlihat bingung sebelum melenguh kecewa ketika menyadari ada tamu tak diundang di ruangannya. Tangan pria itu lari ke kepala lalu mengacak rambut, frustasi karena kesenangannya terganggu.

"Bu..., Bu Anna," ucap Meli gugup, berusaha merapikan penampilannya.

Tangan Anna secara reflek berubah posisi, sehingga ponsel yang tadi dia sambar tertutupi oleh map. "Kamu punya waktu tiga menit untuk pulang Mel, dan besok kamu cukup datang kemari untuk merapikan barang-barangmu dan membawanya pulang." Tatapan Anna dingin dan tenang.

"Apa maksud Ibu?" Sekarang Meli memandang Anna dengan tatapan horor, kedua wanita itu sebaya, tapi karena aura terlalu serius Anna, hampir seluruh pegawai di kantor itu memanggilnya dengan sebutan 'Ibu'.

"Kamu dipecat." Anna melangkah mendekati meja kerja Arkan..

"Dipecat? Ta..., tapi kenapa?" Wajah Meli yang beberapa saat lalu memerah perlahan kehilangan warnanya, memucat.

"Perbuatan tidak senonoh di kantor," jawab Anna datar.

"Apa? Ini..., ini tidak mungkin. Kami hanya...." Meli tak menyelesaikan kalimatnya dan memilih berbalik memandang Arkan, meminta pertolongan. Arkan memandang Anna tajam, tapi wanita itu sama sekali tak merubah ekspresinya.

"Waktumu tinggal dua setengah menit lagi." Tanpa seijin pemilik ruangan Anna mengambil gagang telepon di meja Arkan, menekan beberapa tombol. "Bagian sekuriti? Ini Anna. Jika dalam tiga menit Meli tidak sampai di lobby, tolong jemput dia di ruangannya. Dan pastikan dia keluar dari gedung kita."

Kali ini wajah Meli telah benar-benar putih, lipstik yang memudar di bibirnya tak mampu menutupi ketakutannya. Sementara Arkan memandang Anna makin tajam, meski tak mengeluarkan sedikit pun komentar. Dia cukup tahu Anna, sehingga yakin alasan yang dimiliki oleh wanita itu adalah alasan profesional.

"Kau!" Sepertinya rasa paniknya telah merubah Meli dari takut menjadi menyerang untuk mempertahankan diri. "Kau pikir karena jabatanmu kau bisa seenaknya? Apa karena kau anak pendiri...."

Ucapan Meli tak sempat selesai ketika Arkan memotong, "Sebaiknya kamu segera pulang, Mel. Sebelum Sekuriti menyeretmu."

Meli memandang Arkan dengan tidak percaya, "Kau!" kali ini Arkan yang mendapatkan amukan dari Meli. "Kau juga melakukannya! Dan sekarang kau mau cuci tangan? Apa kau tidak takut jika aku membongkar perbuatan kita?"

"Waktumu tinggal satu menit," ucap Anna masih dengan intonasi yang sama. "Dan percayalah, Mel. Kamu tidak akan pernah mau membongkar apapun dari kantor ini. Aku tahu cara untuk membuatmu tak bisa bekerja di perusahaan manapun di Indonesia. Jangan paksa aku menggunakannya."

Ancaman Anna sepertinya berhasil karena sekarang Meli bergegas meninggalkan ruangan dengan langkah kasar.

"Aku yakin kau sudah tahu banyak affair-ku selain dia, tapi kau tak pernah memecat mereka sebelumnya," ujar Arkan setelah yakin Meli telah keluar dari jarak dengar.

"Aku tak peduli apapun yang kau lakukan dengan para pegawai. Tapi aku tahu, kau tahu, bahwa aku tak pernah mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan."

Arkan berdecak mendengar pernyataan Anna.

"Sebaiknya kau cuci muka, baru kita bicara. Ada hal penting yang perlu kita diskusikan." Anna beranjak menuju pintu.

"Cuci muka?" tanya Arkan geli, "Apa kau tak suka melihat sisa hasratku?" lanjut Arkan dengan suara dalam yang sering dia gunakan untuk merayu wanita sebelum dicumbu.

"Aku tak peduli pergumulanmu dengan siapa pun," jawab Anna malas, "Tapi aku terganggu dengan pria yang mengenakan lipstik merah." Anna membuka pintu lalu berjalan keluar sementara Arkan mencarut ketika mendapati pigmen merah di ujung jari yang baru dia gunakan untuk menyapu bibirnya.

Mending The SoulsWo Geschichten leben. Entdecke jetzt