20. Pain

8.7K 1.1K 7
                                    

Gemericik air hangat yang memancar dari shower di atas kepala dan memberi pijatan lembut pada tubuh bagian atas Arkan harusnya menciptakan ketenangan, mengurang lelah, dan membuatnya lebih santai. Namun, pria itu malah melepaskan teriakan dan sebuah tinju pada dinding berlapis marmer di hadapannya. Bayangan Anna yang berjalan dengan mata kosong, memasukkan kaki dengan asal ke sepatu kets--yang tak pernah bisa dia simpulkan talinya dengan sempurna,hingga Anna masuk ke dalam taksi yang biasa menunggu penumpang di dekat gerbang kompleks tanpa sedikit pun menoleh untuk memandang Arkan yang membuntutinya, muncul di dalam kepala pria yang mempunyai beberapa memar di sekujur tubuhnya.

Setelah mengeringkan badan dan memakai pakaiannya, Arkan mengambil obat pereda nyeri. Jus tomat dan jahe yang disiapkan Anna tadi pagi berhasil mengurangi rasa sakit di lambungnya, tapi saat ini kepalanya masih terasa berat. Dia selalu seperti ini tiap kali selesai mabuk, tapi tak pernah berniat untuk menghentikan kebiasaan buruknya. Setelah mengoleskan antiseptik pada luka di lengannya, pria itu hanya memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Mengingat apa yang dikatakan oleh Anna, bahwa dia menelpon teman sekantornya itu semalam, Arkan ingin membuktikannya.

Pria berusia 28 tahun itu mendengus sebelum mengacak rambutnya yang masih basah ketika mendapati bahwa memang nama 'Putri Es' terletak paling atas di daftar recent calls-nya. Sepanjang yang bisa diingat, Arkan tak pernah menghubungi Anna di luar jam kantor. Dan ketika harus berurusan dengan Anna, CEO muda itu lebih memilih sambungan telepon kantor melalui sekretaris mereka. Karena, sebelumnya, Arkan sama sekali tak ingin berurusan apapun dengan wanita itu kecuali untuk kepentingan perusahaan.

Menarik napas perlahan, dan menghembuskannya jauh lebih pelan, Arkan mengusap layar ponselnya. Menelepon nomor wanita itu, ingin memastikan bahwa wanita itu sudah sampai di tempat tinggalnya dan baik-baik saja. Namun, ketika nada sambung pertama berbunyi, dia mendengar dering telepon dapurnya.

Ponsel itu tergeletak di bawah salah satu lemari di dapur, mungkin terjatuh ketika Anna menjatuhkan isi tasnya satu jam yang lalu. Ketika melihat caller id yang tertera, sebuah tawa sumbang terdengar dari tenggorokan pagannya.

"Arkandhut!" seru pria itu ironis, bersama kenangan yang menariknya ke masa SMP. Ketika, untuk pertama kalinya dia mengetahui apa nama yang Anna berikan untuk dirinya di ponsel monokrom gadis itu. Dulu Anna berjanji akan mengganti nama itu dengan nama yang lebih baik, tapi sepertinya sampai sekarang wanita itu belum memenuhinya.

Tawa itu semakin sumbang dengan rasa sesak makin mencekik ketika panggilan itu berakhir dan wallpaper ponsel Anna terlihat jelas. Sebuah boneka beruang tua, mengenakan kalung dengan liontin yang tampak jelas karena tertimpa cahaya. Sebuah liontin A ganda.

**

Pria berambut berantakan itu menekan bel pintu dengan tergesa, jaket kulit masih membungkus tubuhnya, sementara tangan kirinya memegang helm yang tak sempat dia letakkan di motor karena terlalu terburu-buru. Arkan bergerak gelisah di depan pintu itu, tangannya berkali-kali menyapu rambut yang sudah kehilangan bentuk.

"An ...." Begitu pintu terbuka, Arkan ingin segera memanggil pemilik apartemen itu, tapi ucapannya terhenti ketika melihat siapa di balik pintu. Seorang wanita dengan tubuh yang relatif kecil, rambut berwarna burgundy, menatapnya dengan tanda tanya.

"Anna ada?" tanya Arkan tak sabar sambil berusaha mengintip melalui celah pintu.

"Lo?" wanita itu menunjuk hidung Arkan, menoleh ke dalam sebentar, sebelum menyipitkan mata. Manatap tajam tamu di hadapannya. "Ngapain lo ke sini?"

"Gue mau ketemu Anna, dia udah sampai 'kan?" Arkan hendak menerjang masuk, tapi Gina bersikeras menghalangi, membuat Arkan kembali mengacak rambutnya frustrasi.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang