2. Yang Tak Sempat Terucap (II)

16.8K 1.7K 28
                                    

Jalanan Jakarta sepuluh tahun lalu masih cukup ramah untuk orang-orang yang dikejar waktu, simpul kemacetan hanya ada di beberapa titik dan itupun bukan kemacetan panjang yang akan menghabiskan kesabaran. Lima belas menit yang dilalui tanpa obrolan mengantarkan mereka ke rumah sakit yang dituju.

"UGD," ucap Mira sambil menetralkan posisi perseneling melihat adiknya yang sudah tidak sabar melepas sabuk pengaman. Arkan keluar dan berlari terlebih dahulu, meninggalkan kakaknya yang sedang memarkir kendaraan.

##

Gerbang rumah bergaya mediterania berwarna teracotta itu terbuka lebar, kendaraan berjajar di jalan menuju rumah yang terkesan hangat itu. Orang-orang berkumpul, bangku-bangku berjajar, dan karangan bunga berbaris. Tapi tak ada canda bahagia pada perhelatan itu, orang-orang datang dengan wajah tertunduk, ada isak yang lirih terdengar, dan tulisan dalam papan bunga menegaskannya, "Turut Berbela Sungkawa".

Mobil jenazah baru saja menepi, beberapa pria mengangkat keranda dari bagian belakang mobil lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudia sebuah mobil hitam masuk ke dalam gerbang, Herman Mulyana, lelaki di akhir empat puluhan itu turun dengan wajah pias. Dasi dan jasnya entah berada di mana, lengan bajunya tergulung tidak simetris, kacamatanya berkabut akibat terlalu sering dilepas lalu dipasang dalam lima jam terakhir. Dia menanti anak perempuannya turun, Mira yang sedari tadi menangis hingga suaranya hilang, gadis itu menyembunyikan wajah bengkak-karena-terlalu-banyak-menangisnya di bahu sang ayah.

"Arkan...," pria itu berkata lembut memanggil anak lelakinya yang sejak perkataan dokter di UGD rumah sakit hanya menatap kosong udara di depannya. "Arkan, turun dari mobil!" perintah pria yang empat jam lalu menjadi duda. Herman menyentuh lembut lengan Arkan, menariknya pelan sehingga anaknya beringsut turun dari mobil.

Mereka berjalan pelan menuju pintu masuk dan para pelayat berdiri memberi jalan. Seorang wanita berusia lima puluhan keluar dari dalam rumah. "Sabar ya, Mira sayang," ujar wanita dengan selendang tersandang di kepala yang merupakan kakak dari Herman, memeluk Mira. Memindahkan tangis gadis muda ke pundaknya sebelum berjalan masuk ke dalam rumah.

Kini Herman memilih merangkul anak lelakinya, merangkul dirinya sendiri. Dia tidak boleh terlihat lemah dalam kondisi seperti ini, dia harus menjadi tiang kokoh tempat anak-anaknya akan berpegangan, melihat mata merah Mira dan Arkan yang sedari tadi berubah menjadi zombi, Herman tak punya pilihan lain selain menahan air mata dan menegakkan kepala.

Otak Arkan tidak mencerna apapun, kalimat terakhir yang sedang berusaha dia cerna adalah perkataan dokter ke Papanya, "Istri Anda meninggal". Dia merasa asing dengan kalimat itu, ada yang salah, kalimat itu hanya mengambang di kepalanya.

Pantulan cahaya matahari dari kaca yang digantung di atas meja console ruang tamunya menarik perlahan dirinya ke dunia nyata. Arkan memandang lamat kepada pantulan dirinya, dia ingat detail percakapan di hadapan kaca itu pagi tadi.

"Mah, Arkan sudah ganteng belum?" Arkan merapikan rambutnya, meneliti tiap inci wajahnya di cermin.

"Hmmm?" wanita 43 tahun dengan hidung mancung dan mata berbinar itu mengerutkan alisnya? "Anak Mama selalu ganteng. Ada apa?"

"Arkan nanti mau nembak Anna, Mah." bocah lelaki itu nyengir kuda, memperlihatkan gigi-gigi putihnya.

"Nembak Anna?" tatapan bingung didaratkan ke anak lelaki satu-satunya dan hanya dijawab dengan seringai yang makin lebar. "Oh..., jadi itu alasan kamu diet dan fitness?" Kali ini sebuah anggukan mantap mengikuti.

"Selama ini Anna udah mau menerima Arkan apa adanya. Sekarang saatnya Arkan memberikan yg terbaik untuk Anna. Dan ternyata menjadi lebih sehat itu enak ya." Arkan kini menepuk perutnya.

"Yaudah, apapun alasan Arkan berubah, jika ternyata nanti Anna tidak bisa menjadikan Arkan lebih dari teman, Arkan nggak kembali seperti dulu. Arkan juga nggak boleh berubah sikap ke Anna, tetap jadi sahabat yang baik buat Anna. Oke?"

Arkan menghela napas berat sebelum menjawab "oke."

"Dan..., " sebuah belaian mendarat ke kepala Arkan, tatapan Mamanya yang hangat menghujam dalam. "Nanti jangan terlalu sibuk bermain dan tetap jaga Papa dan Kak Mira." Arkan bingung dengan ucapan Mamanya, merasa ada yang janggal, tapi tak tahu bagian mana yang janggal. "Berangkat gih, Mama juga mau berangkat."

"Berangkat kemana?" Arkan meraih tas yang ada di meja console.

"Ke yayasan, ada persiapan acara untuk ulang tahun yayasan akhir bulan nanti." Mereka berdua berjalan melewati pintu.

"Mamah berangkat sendiri? Nggak ditemani Pak Rus?" Arkan menyebut nama supir keluarga yang bertugas mengantar Arkan maupun Mamanya jika hendak berpergian. Meski Arkan sudah SMA tapi karena belum mempunyai SIM dia masih dilarang untuk mengemudi sendiri.

"Nggak usah. Mamah bisa sendiri kok. Sudah! Berangkat sekolah!" pundak Arkan ditepuk sebelum mencium kepalanya.

##

Arkan memandang gundukan tanah basah bertabur bunga di hadapannya. Para pelayat perlahan beringsut meninggalkan area pemakaman. Ayahnya masih berdiri di sampingnya. Mira tidak ikut mengantar karena pingsan ketika keranda meninggalkan rumah.

Seseorang menepuk pundaknya, ketika menoleh dia mendapati teman sekelasnya, yang saat itu tak bisa dia ingat namanya.

"Yang kuat ya...," hanya itu yang dikatakan dan dijawab dengan anggukan kecil, mata Arkan masih menatap kosong.

Sesaat setelah gadis itu pergi, Arkan tiba-tiba ingin menemui seseorang, Anna. Dan kini disadari bahwa sedari tadi dia tak melihat sahabat kecilnya. Anna tidak datang pada pemakaman ibunya! Setitik sakit hati timbul di dada Arkan. Bukankah selama ini Arkan selalu ada untuk Anna?  

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang