7. Nothing in Particular

9K 1.2K 13
                                    

Arkan mendengar teriakan histeris dan kata-kata kasar ketika keluar dari kamar mandi ruangannya disusul suara benda-benda berjatuhan. Dengan langkah lebar dia menuju pintu dan menyaksikan Meli sedang menyerang Anna, jantung pria itu seketika terpacu, refleknya menuntut tubuhnya untuk menjauhkan apapun yang bisa menyakiti rekan kerjanya itu. Tapi langkahnya terhenti mendadak ketika dengan mudah Anna menangkap tangan Meli, memelintirnya hingga ke belakang punggung, mengunci gerakan wanita yang sebenarnya lebih besar dari Anna, dan menekan wajah (mantan) Sekretaris Arkan itu ke tembok.
Pintu ruang sekretaris terbuka dan sekuriti yang baru datang tampak terkejut, meski selanjutnya secara tangkas mengambil alih Meli yang masih terteriak dengan kalimat tak pantas. Menariknya keluar ruangan.
Anna masih mengatur napasnya ketika Arkan menyadari ada memar dan titik darah di dahi Anna. Gelungan rambutnya mulai terlepas.
“Apa yang terjadi?” Tangan Arkan tanpa sadar menjulur untuk menyentuh kening Anna, yang langsung Anna sisihkan sambil memberi tatapan tidak suka.
“Bukan apa-apa,” ujar Anna datar sambil menendang pengongkot yang tergeletak di lantai.
“Dia melempar ini?” tanya Arkan lagi, tapi tak mendapatkan jawaban apapun dari Anna karena sekarang wanita itu mulai melangkah keluar. “Hai!” tangan Arkan menegah lengan Anna, memaksa Anna menghentikan langkahnya. “Bukankah kau bilang kita akan berdiskusi? Sekarang kau mau kemana?”
“Kita bicara di luar kantor,” jawab Anna pendek, mulai beranjak.
“Tidak! Sebelum kita cek lukamu.” Tangan Arkan yang bebas bergerak kembali ke arah kening Anna, tapi dengan gerakan yang sangat cepat Anna bisa melepaskan tangan Arkan yang mencengkram lengannya, menangkap tangan yang hampir menggapai kepalanya, memlintir tangan pria itu dan melakukan hal yang sama seperti yang wanita itu lakukan pada Meli beberapa menit lalu.
Arkan terlalu terkejut untuk menghindar hingga akhirnya wajahnya menempel di tembok. Sebenarnya dengan mudah Arkan dapat melepaskan kuncian Anna, tapi pria itu hanya diam.
“Arrggghh...,” teriak Anna frustasi, adrenalin masih menguasai darahnya. Anna menghentak lepas tangan Arkan. Ketika pria itu sudah berbalik, dia bisa melihat Anna berkacak pinggang sambil bernapas satu-satu, berusaha mengendalikan emosi.
“Jangan. Pernah. Mencoba. Menyentuh. Aku!” kata Anna penuh penekanan,  matanya nyalang, meskipun dia bisa melihat ada sekilas ketakutan di sana. Seperti gertakan binatang yang merasa terancam.
##
Arkan mengikuti Anna hingga ruang sekretarisnya, Rudy menunduk sopan sambil menahan rasa penasaran atas penampilan berantakan atasan langsungnya. Arkan menyandarkan salah satu sisi pundaknya ke tembok sembari menunggu Anna yang sedang mengambil barang.
Ketika lima menit kemudian Anna keluar dari ruangan, tenggorokan pria itu tercekat. Rambut Anna kini kembali tergerai, blazernya sudah dilepas dan kini dia hanya blouse pink pucat. Sepatu hi-heelnya telah diganti dengan sepatu balet. Sekarang sebuah kacamata bulat membingkai wajahnya. Semua perubahan yang Anna lakukan dalam waktu lima menit benar-benar mengubah image-nya. Apalagi ketika dia tersenyum ramah pada Rudy. Dia tersenyum! R-A-M-A-H. Arkan sudah terlalu lama tak melihat senyum seperti itu.
Namun, ketika Anna mengarahkan pandangan ke CEO muda itu, senyum itu hilang.
“Rudy, bisa hubungi para investigator untuk memeriksa meja Meli? Malam ini, atau besok sebelum jam kerja,” perintah Anna dan Rudy langsung tanggap menyambar telepon tanpa menanyakan apapun. “Setelah itu kamu boleh pulang. Bukannya kamu harus menjemput ibumu yang baru pulang?” Pertanyaan Anna membuat Arkan tertegun, tak pernah menyangka bahwa Putri Es sangat memperhatikan anak buahnya.
“Sebenarnya ada apa?” tanya Arkan tak sabar, dia tak suka sikap misterius Anna.
“Aku akan jelaskan ketika kita sudah keluar dari kantor,” jawab Anna malas dan berjalan melewati Arkan. Anna bisa dengan jelas mencium wangi jasmine yang menggoda menguar dari tubuh Arkan, wangi yang sama yang dia cium dari Meli.
“Dan satu lagi.” Anna berhenti mendadak lalu berbalik memandang Rudy. “Kamu kemasi barang-barangmu. Mulai besok kamu jadi Sekretaris Pak Arkan.”
“Apa?” tanya kedua pria itu bersamaan.
“Aku baru saja memecat Meli, jadi jabatan Sekretaris CEO kosong.” Anna memandang Rudy, “Kamu akan lebih berkembang di sana.” Cara memandang Anna membuat Rudy bangga.
Anna mengalihkan pandangannya ke Arkan, “Dia bisa melakukan pekerjaan sekretaris dengan baik. Lagi pula, dia tak akan memberimu lipstik merah.” Anna berjalan kembali, meninggalkan tanda tanya bagi Rudy, dan kesal bagi Arkan.
##
“Dengan mobilku,” ujar Anna tanpa memandang ke arah Arkan ketika mereka sampai di lobby dan pria itu mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.
“Kenapa? Kau takut jika aku ngebut?’ Arkan menatap menantang.
“Seberapa sering Meli masuk mobilmu?” tanya Anna membuat wajah Arkan berkerut.
“Cukup sering, dia Sekretarisku, mantan. Sebenarnya ada apa ini? Kau terlihat seperti istri yang cemburu,” kelakar Arkan sinis.
“Whatever,” Anna tetap berjalan menuju pintu keluar, sambil menekan tombol pada kunci mobilnya. Ketika Anna hendak meraih pintu di samping kemudi, Arkan mendahuluinya, hingga tangan mereka saling bersentuhan. Anna menatap tajam Arkan, dan buru-buru menjauhkan tangannya.
“Aku tak suka kau supiri.” Ucapan Arkan menimbulkan ekspresi bertanya di wajah Anna. “Lebih tepatnya, aku tak suka disupiri wanita.” Arkan mulai membuka pintu tapi tangan Anna menahannya.
“Man and his ego! Tenanglah, ini bukan masalah emansipasi ataupun fiminisme. Aku butuh kau membaca sesuatu selama aku menyetir.” Anna mendorong bahu Arkan yang tentunya tertutupi kemeja dan jasnya, sebelum membuka pintu dan duduk di balik kemudi.
Sekarang Arkan yang mengerang frustasi sambil melangkah cepat menuju pintu samping penumpang, “Tak bisakah wanita itu tidak keras kepala!” gerutunya.
##
“Jadi apa yang harus aku baca?”  tanya Arkan tak sabar ketika mobil yang mereka naiki telah menginjak jalanan ibukota.
“Ada di saku kanan blazer-ku. Di jok belakang.” Mata Anna terkonsentrasi ke depan, sementara Arkan mendengus kesal sambil menjangkau blazer maroon yang teronggok di jok belakang.
Arkan terpaku oleh aroma yang tercium dari blazer Anna. Aroma lavender berpadu mawar dengan sedikit musk yang samar-samar. Dulu dia sering mencium aroma lavender dan mawar yang diselipi lembut aroma kapas, dulu dia menyebutnya aroma ketenangan. Sensasi yang Arkan rasakan masih sama, meski sekarang keanggunan dan kekuatan musk muncul menggantikan kepolosan sang kapas.
Arkan segera mengikuti instruksi Anna, tapi kemudian menatap bingung ponsel di tangannya. Ketika mengetuk layarnya, kebingungan Arkan semakin menjadi. Di layar tersebut terpampang wajah cantik Meli.
“Kau mencuri HP Meli lalu memecatnya?”
Anna tak menjawab pertanyaan Arkan, “Buka inbox, baca pesan yang diterima lima belas menit lalu.”
Arkan menurut, tapi kemudian memaki ketika mengerti maksud Anna, “Jadi dia mata-mata Grup Baron?”
“Aku baru mengetahui tadi sebelum masuk ke ruanganmu. Dan kalian memberi alasan tepat untuk memecatnya.”
“Lalu maksudmu meminta tim investigasi untuk memeriksa meja Meli adalah untuk mencari bukti?” Arkan menguji kesimpulannya.
“Iya, dan alasanku tak ingin membicarakan ini di kantor maupun mobilmu, karena aku tak yakin apakah kedua tempat itu bebas penyadap.” Anna menepikan mobilnya ke sebuah warung tenda.
“Lalu alasan kita kemari?”
“Nothing in particular, aku lapar.”

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang