9. Platonic

9.1K 1.1K 7
                                    

Arkan mengendalikan mobil Anna dengan luwes, sama sekali tidak pelan di jalanan Jakarta malam hari yang lenggang, tapi tetap membuat penumpangnya nyaman. Pria itu berhasil meyakinkan Anna untuk membiarkannya berada di belakang kemudi dengan sedikit perdebatan. Sedikit perdebatan berarti langsung masuk melalui pintu kemudi, tak membalas apapun argumen Anna lalu menjalankannya.

Sekarang wanita itu hanya menyilangkan tangan di depan dada, badan bersandar santai, wajah menghadap jendela di sini kiri dan mulut yang kaku. Gerimis menyapa dengan singkat, karena dalam satu menit, titik-titik kecil hujan berubah menjadi serangan bertubi-tubi. Arkan bisa melihat dari pantulan di jendela waktu tatapan mata Anna berubah ketika menyadari bahwa di luar sedang hujan. Tatapan yang membawa Arkan pada jaman sekolah, ketika semua masih indah. Tapi sayang tak ada senyum wajah Anna saat ini.

Arkan menekan tombol power window untuk kedua jendela depan. Anna menoleh cepat ke arah pria itu, tatapannya tak bisa dibaca, dan Arkan hanya angkat bahu sebelum menjulurkan telapak tangannya keluar melalui celah selebar sepuluh senti yang baru dia buat. Merasakan terjangan hujan di telapak tangannya, menariknya pada masa di mana tertawa bersama adalah sesuatu yang mudah di dapatkan hingga tak merasa itu adalah berharga.

Anna mengembalikan pandangannya ke arah jendela, membiarkan tampias hujan mengelitik wajahnya. Melepaskan kacamatanya yang mulai berembun, dan dengan ragu-ragu dia mengeluarkan tangannya, mengikuti Arkan. Tak ada senyum di bibir wanita itu, tapi ada rasa bangga dan lega yang menjalar di nadi Arkan. Membuat pria itu ingin melakukan lebih lagi.

"Ternyata kau tak sepenuhnya berubah," ujar Arkan teringat kejadian di warung tenda dua puluh menit lalu.

"Kau sekarang doyan sawi?" tanya Arkan ketika melihat Anna menandaskan piringnya tanpa menyisakan apapun. "Bukan kah kau dulu tak suka?" Arkan ingat bagaimana Anna remaja selalu menyisihkan sawi di pinggir piringnya, dan waktu itu Arkan akan dengan senang hati mengambilnya. Dulu mereka bercanda bahwa mereka saling melengkapi.

"Semua orang berubah, dan dua belas tahun bukan waktu yang singkat." Anna masih tak mau memandang Arkan. "Bukan kah kau juga berubah?"

"Aku hanya menyempurnakan kekuranganku." Jemari Anna menari di sela kaca, air mengalir di lengannya, membasahi lengan baju yang tergulung di sikunya.

"Aku tak pernah tahu kalau kau adalah pengejar kesempurnaan." Arkan sudah menarik tangannya, fokus pada roda kemudi.

"Life happens," ujar Anna, terbawa pada salah satu kenangannya.

**

Whipper bergerak cepat berusaha memberikan sedikit gambaran apa yang ada di depan sedan mewah hitam itu. Pak Rus, supir keluarga Mulyana, dengan siaga membawa mobil itu. Sementara di bangku belakang Anna muda tengah tertawa renyah menyaksikan Arkan basah akibat keusilannya. Namun, Anna tak akan pernah puas hingga remaja berpipi tembam itu kuyup, sehingga ia kembali mengeluarkan telapak tangannya dari celah jendela, menangkupkan keduanya untuk menampung air hujan.

"Anna! Udah lah! Aku balas nanti ya!" gertak Arkan yang sibuk menyeka wajah dengan lengannya yang berlemak. Tapi Anna cukup tahu bahwa Arkan tak akan pernah menyakitinya, cipratan air tak akan pernah. Anna menjulurkan lidahnya sebelum mencipratkan air dalam tangkupan tangannya.

Suasana bangku belakang sudah kacau, air sudah membasahi jok. Tapi kedua remaja itu sepertinya belum ingin menghentikan permainan mereka, karena sekarang Arkan pun mulai menampung air jendela.

Pertarungan mereka baru berakhir ketika Arkan menyadari bahwa kulit telapak tangan Anna mulai berkerut dan bibirnya membiru. Dengan nada final dia meminta Pak Rus mengunci jendela, karena jika dia tak melakukan itu, Anna akan tetap keras kepala bermain hujan. Gadis itu terlalu menyukai hujan.

Arkan mengambil jaketnya yang tersimpan di bangku penumpang depan, dan memberikannya pada Anna. Gadis empat belas tahun itu tersenyum manis menerima perlakuan Arkan, membuat Arkan makin cemberut.

"Kubuatkan coklat panas deh," ujar Anna berusaha menyuap sahabatnya agar tak cemberut lagi.

**

Anna menarik tangannya sebelum kenangan menguasainya, sebelum air yang tertampung di telapak tangannya makin banyak dan dia ingin menyiramkannya ke Arkan.

Malam ini adalah pertama kalinya dalam dua belas tahun mereka hanya berdua dalam waktu yang lama. Jika bukan karena dia kelaparan dan harus membicarakan Meli di luar kantor, dia tak akan membiarkan dirinya berdua dengan Arkan atau pria lain dalam suasana yang begitu personal.Sehingga perasaan lega menghampirinya ketika dia melihat pintu masuk ke komplek apartemennya.

Arkan menghentikan mobil di depan lobby gedung apartemen Anna, wanita itu mengambil barang-barangnya sebentar sebelum keluar.

"Kau tak menawariku coklat panas?" Tanya Arkan sambil memamerkan senyum bintangnya, tapi seperti biasa, Anna memilih melengos.

"Jangan bawa mobilku ke tempat mesum." Tangan Anna masih memegang pintu.

"Aku tak bisa jamin itu," ujar Arkan menantang dan mendapati mata Anna menyipit, ekspresi yang membuat Arkan bosan. Tak bisa kah wanita itu memberikan senyum ramah padanya? Seperti yang dia berikan pada Rudy? "Great! Sekarang kau cemburu pada Rudy," ejek Arkan pada dirinya sendiri. "Apa? Cemburu?"

"Kembalikan kunci mobilku besok di kantor," Anna sudah ingin menutup pintu.

"Aku jemput kau!" sergah Arkan buru-buru. Kesal dengan sikap Anna yang seakan-akan tak mau berdekatan dengannya.

"Jam setengah tujuh, lebih dari itu aku akan menemui di kantor." Anna sudah menjauhkan tubuhnya sebelum melanjutkan, "Dan jangan merokok di mobilku." Pintu berdebam terlalu keras, dan Anna berlalu tanpa menoleh ke belakang.

"Apa yang ada di pikiranmu?" Arkan bertanya pada dirinya sendiri, karena saat ini rasanya dia ingin menantang dirinya sendiri untuk membuat Anna tersenyum lagi. Selama ini Arkan berpikir Anna bersikap dingin kepada semua orang, tapi melihat bagaimana ekspresinya ketika menggendong anak Enoch dua hari lalu juga bagaimana wanita itu tersenyum pada Sekretarisnya membuat Arkan kesal.

Dulu dia sering mendapatkan senyum itu, dulu waktu yang mereka habiskan akan dipenuhi oleh celoteh riangnya. Tapi dulu juga Anna sangat peduli padanya, sangat memperhatikan keadaannya, sangat menyayanginya. Meskipun rasa itu hanya persahabatan. Platonic.

Tapi bukan kah, jauh di dalam hatinya, Arkan sadar bahwa Anna masih memperhatikannya, masih peduli padanya.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang