12. Irked

7.8K 1.1K 5
                                    

Arkan menekan tombol lift, dan melihat bahwa kubus itu sedang bergerak naik, menuju lantai yang Arkan tempati. Ketika pintunya terbuka, Arkan mendapati Anna sedang melangkah hendak keluar, membawa sebuah kantong kertas dengan label coffeshop yang berada di ruko samping gedung mereka.

"Kau berencana lembur?" Arkan melihat jam tangannya, sudah hampir jam sembilan malam.

"Hmm..," jawab Anna sambil berlalu, sama sekali tak membuat kontak mata. Mereka sudah sering bertemu dalam situasi seperti ini, tapi biasanya mereka saling tak mempedulikan, tak saling bicara, seolah tak saling melihat.

"Apa yang sedang kau kerjakan?" Arkan memijat lehernya, lelah dengan pekerjaannya, lelah dengan sikap Anna. Dia sudah berhasil mengatasi kekacauan yang ditimbulkan Meli dan menjebak mata-mata lainnya, sehingga memberikan informasi yang salah ke pada Grup Baron terkait proposal tender mereka. Melakukan rapat dengan tim, merancang ulang proposal, dan menjaganya agar tak sampai ketahuan. Mencari orang-orang yang benar-benar bisa dipercaya. Dan tadi siang dia mendapat laporan jika salah satu tim telah berhasil memenangkan tender, memberi angin segar bagi dirinya.

"Evaluasi kinerjamu selama satu tahun." Anna berhenti tapi tidak berbalik.

"Setahun? Seingatku aku baru sebelas bulan menjadi CEO."

"Jaga kinerjamu dalam satu bulan, sehingga aku tak perlu merubah laporan yang kususun. Karena aku tak akan menyaksikannya."

"Apa maksudmu?" Arkan berbalik dan melihat punggung Anna. Kemana wanita itu akan pergi?

"Ada short course," Anna membuang napasnya, sebelum berbalik dan menatap Arkan malas. Sejak kapan pria ini berubah menjadi ingin tahu apa urusannya? "Aku berangkat minggu depan."

"Kau tak memberitahuku," Arkan memasukkan kedua tangannya ke saku, menatap Anna tajam.

"Aku tak perlu memberitahumu, kau bukan bos-ku. Dan tak perlu khawatir, tim-ku akan tetap mengawasi kinerjamu." Kepala Anna sudah penat, terlalu banyak kefein yang dia konsumsi dalam satu minggu terakhir. Dia ingin menyelesaikan semuanya malam ini, sehingga dia bisa mulai mempersiapkan keberangkatannya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Anna, setelah mereka saling tatap beberapa saat. Sebenarnya dia berharap Arkan akan menatapnya dengan pandangan sinis, seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berubah dari pria itu akhir-akhir ini.

"Apa yang kau rencanakan?" pertanyaan Anna sama sekali tak bisa dipahami Arkan, sehingga dia hanya menaikkan salah satu alisnya. "Mengapa kau mulai ... mencampuri urusanku?" Hampir saja Anna menggunakan kata 'memperhatikan', tapi wanita itu segera mendapatkan kata ganti yang menurutnya lebih tepat. Dia tak ingin seperti abege yang terlalu besar kepala dengan perhatian lawan jenis.

"Mencampuri urusanmu?" Arkan menelengkan kepalanya dengan senyum miring, apakah Anna juga merasakan perubahan dalam dirinya?

"Iya, dan apapun rencanamu, sebaiknya hentikan." Anna bersiap untuk berbalik, "Karena aku tak nyaman dengan itu." Kepalan tangan Arkan di dalam sakunya mengeras, rahangnya makin tegang.

Arkan berpikir 'permusuhan' mereka selama dua belas tahun bisa menepis perasaannya pada Anna, tapi itu hanya menutupinya saja. Karena ketika tabir itu terbuka, Arkan menyadari bahwa perasaan itu telah tumbuh dengan akar yang semakin dalam dan ranting yang menjulang.

Ketidak hadiran Anna di saat krusial bagi Arkan dua belas tahun lalu, ternyata tidak membuat Arkan membencinya. Tapi itu hanya menyadarkan bahwa perasaannya tergantung pada wanita yang menghilang pada saat itu. Sehingga Arkan muda lebih memilih lari, kepada teman-teman baru, kesenangan baru, hura-hura dan lain sebagainya. Bersikap memusuhi.

Dulu Arkan tak benar-benar berharap Anna akan mengabulkan permintaan untuk menjauhinya, saat Anna menemukan bahwa Arkan mulai merokok. Tapi ketika dengan mudah Anna mengabulkannya, sama sekali tak mencoba menggapainya, Arkan makin kecewa. Semakin menambah keyakinan bahwa Anna tak pernah benar-benar menganggap Arkan sebagai bagian penting dalam hidup gadis itu.

Kekanakan? Mungkin, karena dia tak pernah ingin dewasa di hadapan Anna. Karena masa itu adalah masa yang paling menyenangkan, di saat orangtuanya masih lengkap, dan sahabat terbaik ada di sisinya.

Dan sekarang? Fokus Anna kepadanya hanyalah agar Arkan tidak melakukan kesalahan, seolah dia tak pernah berbuat sesuatu yang benar.

##

Anna memijat alisnya, menutup laporan terakhir dari salah satu divisi, sebelum menggosok wajahnya. Matanya sudah mengantuk, tapi efek kafein telah membuatnya tetap terjaga. Wanita itu melirik jam digital yang ada di meja kerjanya, 22: 15, dan sepertinya dia orang terakhir di kantor ini kecuali para sekuriti.

Wanita itu sudah hampir menggerai rambutnya, kepala sudahh penat, ketika layar HP-nya menyala. Mengambil napas panjang, Anna mengangkat telepon.

Panggilan di malam hari tak pernah memberinya ketenangan, dia sudah terbiasa menerima panggilan itu dari dua belas tahun lalu. Panggilan yang dibuat Arkan dalam kondisi mabuk dan pria itu tak sadar meneleponnya, meracau, menyudutkannya, membuatnya seolah wanita tak berhati. Namun, tetap dia angkat, untuk mengurangi rasa bersalahnya, karena dia tak pernah bisa benar-benar di sampingnya.

Sudah dua bulan ini Arkan tak menelponnya, Anna cukup lega, karena ada kemungkinan Arkan tidak mabuk lagi. Mungkin karena urusan perusahaan memaksanya untuk tetap sadar, tapi kini 'badai' itu mulai mereda, sehingga pria itu kembali menyapa alkohol.

"Hai, Putri Es!" teriak Arkan begitu Anna meletakkan ponselnya di samping kepala.

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang