19. Breaking Down

7.8K 1K 1
                                    

“Bagaimana jika aku tak mau?” Arkan berbicara dengan nada mengancam, wajahnya semakin mendekat, ujung-ujung hidung mereka nyaris bertemu.

“Le-pas-kan!” Dengan sisa tenaga, Anna menggunakan seluruh tubuhnya untuk mendorong Arkan, ketika jarak yang terbentuk cukup, wanita yang sudah mencapai sabuk hitam dalam taekwondo itu memegang pundak Arkan, berniat menekannya turun sebelum mengarahkan lutut ke perut Arkan. Arkan bergerak segera, melepaskan tangan Anna untuk menahan serangan ke perutnya. Kesempatan singkat yang kemudian Anna manfaatkan untuk mendorong Arkan menjauh, hingga bagian belakang tubuh Arkan menabrak tepian bak pencuci piring.

Mata tajam Arkan tak lepas dari Anna yang sekarang terlihat terengah-engah dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. Dada Arkan bergemuruh, dan dia memilih membalikkan badannya, karena semakin dia melihat Anna, maka keinginan untuk menangkap dan menghimpitnya lagi akan semakin besar. Tidak, bukan hanya menangkap dan menghimpit, dia tahu, dirinya ingin lebih dari itu. Dia merindukan wanita itu.

Rahangnya terkatup sempurna, pundaknya tegang, tangannya terkepal kuat. Berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Entah berapa lama mereka saling diam, mata Arkan menatap satu titik di hadapannya, meredam emosi.

“Sepertinya kau benar-benar membenciku,” ujar Arkan satir sambil memutar tubuhnya untuk kembali menghadapi Anna, “Sepertinya selama ini hanya aku yang ….” Arkan tak melanjutkan ucapannya ketika mendengar suara benda-benda kecil jatuh bersamaan, tapi apa yang dia lihat kemudian menghilangkan semua perbendaharaan kata yang dimiliki.
**
Anna menahan tubuhnya yang limbung dengan kedua telapak tangannya yang menekan permukaan meja. Menumpukan seluruh beban tubuhnya di sana, seperti kehilangan seluruh tulang untuk menyangga tubuh sendiri. Oksigen enggan masuk dalam sistem pembuluh darahnya, tenaga terakhir telah dia gunakan untuk mendorong Arkan menjauh. Anna takut untuk bergerak, takut jika dia akan terjerembab ketika sokongannya bergoyang.

Perlahan, Anna merasa seseorang menutup telinganya, dia tahu Arkan bicara, tapi dia sama sekali tak bisa mendengarnya. Pandangannya mulai menggelap. Dia harus pergi dari tempat ini. Sekarang!

Dengan sisa tenaga, wanita yang telah kehilangan warna di wajahnya itu berusaha untuk mengambil tas tangan coklat yang sedari tadi tergeletak di kursi makan. Namun yang terjadi, Anna malah menjatuhkan tas itu dan menumpahkan seluruh isinya. Pandangannya semakin gelap, dan kunang-kunang memutuskan untuk menari di atas kepalanya. Tubuhnya semakin ringan.
**
Arkan melompat dari tempatnya berdiri, adrenalinnya terpacu memenuhi setiap nadi, jantungnya bergenderang di dalam dadanya. Dia tak pernah bisa melihat Anna terluka, dan kini wanita itu hampir ambruk dari tempatnya berdiri. Lutut Arkan beradu dengan lantai dengan tabrakan yang kuat, tapi dia sama sekali tak merasakan sakit, karena kini tujuannya cuma satu, menangkap tubuh Anna sebelum kepalanya membentur lantai.

“An,” panggil Arkan dengan suara bergetar, rasa panik perlahan menjalar. “Anna,” bisiknya lagi ketika dia merasakan pergerakan kepala wanita yang ada di pangkuannya, Anna tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran.

“Lepas!” Lirih Anna berkata sambil mendorong tubuh Arkan dengan lengannya, tapi sia-sia, karena untuk membuka mata saja dia tak ada tenaga.

“Lusianna!” ujar Arkan tegas, “Berhentilah sok kuat dan terima bantuan dariku!” Pria itu bersiap untuk mengangkat tubuh Anna, tapi wanita dalam dekapannya kembali meronta lemah.

“Kumohon, lepaskan,” suara Anna terdengar serak, ketakutan, dan tubuhnya mulai bergetar, membuat Arkan hanya mampu mematung. Anna yang dirinya kenal tak pernah memohon, tak pernah terlihat ketakutan, dan hampir seumur hidup dia mengenalnya, sebagai gadis remaja maupun wanita, seorang Lusianna Wardhana tak pernah menangis di hadapan orang lain. Namun sekarang Arkan menjadi penyebab Anna melakukan semua itu.

Jika pun dia tak pernah ramah kepada Anna dalam dua belas tahun terakhir, Anna selalu menghadapinya dengan sinisme dan harga diri tinggi. Sekarang, Arkan merasa menjadi pria paling berengsek di muka bumi, ketika melihat wanita itu terpuruk.

Anna bergerak pelan, menggeser tubuhnya hingga mampu duduk, lalu memendam kepalanya di antara lengan yang memeluk lutut. Tubuhnya masih terasa ringan, seolah-olah menyeretnya meninggalkan kesadaran. Napasnya masih belum teratur, tapi dia sedang memperjuangkan napas empat hitungan. Panik masih menyergapnya, tapi afirmasi terus dirapal. “Aku aman, aku aman.”

Arkan hanya terdiam, dia ingin meraihnya, mendekapnya, memberikan perlindungan dan rasa nyaman. Namun kini, dia merasa Anna makin membencinya ketika dia mendekat.
**
“Sebenarnya kau kenapa?” Arkan ingin menggenggam tangan Anna yang masih gemetaran. Wanita itu sedang bersusah payah membereskan isi tasnya yang berceceran. Ketika tangan Arkan hampir meraih jari lentik Anna, perempuan itu langsung menarik diri, menyilangkan tangannya. Memukul telak Arkan dengan penolakannya. Membuat Arkan merasa seperti seorang pesakitan yang akan menyebarkan virus melalui sentuhan.

“Aku pulang.” Seluruh benda yang tadi terserak di lantai telah kembali ke dalam tasnya, Anna perlahan berdiri. Ketika Arkan refleks maju untuk membantu Anna menyangga tubuhnya, telapak tangan perempuan yang masih pucat itu menghentikan gerakan Arkan. “Jangan mendekat, atau keadaan akan semakin buruk.”

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang