16. Drunken Man

8.2K 1.1K 11
                                    

"Kenapa kau tak pernah tersenyum seperti itu lagi padaku?" Arkan menatapnya dengan mata memerah.

Anna menahan diri dari memutar kepalanya ataupun menggeram, kesabarannya sudah terlalu tipis. "Karena kau tak punya istri yang akan melahirkan," cerca Anna kesal sambil meletakkan sebuah mangkok kecil di meja dan duduk di samping Arkan. Dada wanita itu bergemuruh, napasnya mulai tak beraturan ketika tangannya hendak meraih lengan Arkan yang basah oleh darah.

"Kalau istriku akan melahirkan, kau tak akan memberikan senyum itu. Percayalah!"

"Kenapa?" tanya Anna, berusaha mengalihkan fokus dari kegelisahannya.

"Karena kau lah yang akan jadi istriku." Sekarang Anna menyesal telah bertanya, tapi dia tak ingin mendengarkan kata-kata pria mabuk. Dia pernah menghadapinya dulu, dan cukup tahu bahwa perkataan mereka tak ubahnya bualan yang akan menghilang ketika kesadaran menghampiri.

Berusaha mengatur napasnya, menghirup dalam empat hitungan, menahannya selama empat hitungan, lalu menghembuskannya dalam empat hitungan. Anna memraktekkan apa yang diucapkan terapisnya sebelas tahun lalu untuk mengatasi rasa panik ketika hendak menyentuh lengan Arkan.

"Aku aman, aku baik-baik saja," bisik Anna pada dirinya sendiri, memberi afirmasi, perlahan menggapai simpul sapu tangan yang tadi dia ikatkan di atas luka Arkan.

"Tentu saja Anna aman! Ada aku di sini!" seru Arkan sambil menegakkan tubuhnya, membuat simpul yang telah Anna pegang terlepas dari tanggannya. Jika kondisinya tidak seperti saat ini, mungkin Anna akan tersenyum senang mendengar ucapan Arkan yang baru terlontar, tapi sekarang dia sedang menghadapi salah satu ketakutannya dan apa yang dilakukan Arkan sama sekali tak membantu.

"Oke, terima kasih!" jawab Anna sarkas, "Sekarang bisakah Arkan diam sehingga lukamu bisa segera bersih?" Tangan Anna menggenggam lengan Arkan dengan kuat tapi tak terlalu kencang, berharap pria itu mau diam selama lima menit ke depan.

"Lalu bagaimana Anna akan mengobati hatiku?" tanya Arkan dengan nada manis, tapi membuat Anna makin geram dan ingin meremas lengan Arkan tepat di lukanya.

"Stand still!" perintah Anna di tepi kesabarannya.

Tak sampai lima belas menit lengan baju Arkan telah tergeletak di lantai bersama sapu tangan karena Anna gunting untuk memudahkannya membersihkan luka. Sayatan yang terjadi juga tidak terlalu dalam, tapi cukup panjang, sekitar sepuluh senti. Anna hanya memberinya antiseptik dan menutupnya dengan perban yang tersedia di kotak P3K milik Arkan.

"Aku pulang." Anna memeriksa untuk terakhir kalinya, memastikan lukanya tertutup akan dengan kokoh hingga Arkan sadar dan bisa merawat lukanya sendiri.

"Bagaimana kamu akan pulang?" Kepala Arkan mengikuti pergerakan Anna yang mulai berdiri dan menyambar tasnya.

"Uber," jawab wanita itu tanpa memandang Arkan, tangannya sibuk membukan aplikasi di ponselnya.

"No! Kau ini wanita! Berbahaya jika pulang sendiri, apalagi dengan supir yang asing. Aku antar." Arkan berusaha untuk berdiri, meskipun tak bisa tegak.

"Dengan apa kau antar? Mobilmu masih di club." Kepala Anna sudah terlalu pusing, dia ingin segera merebahkan badannya, matanya mulai berat.

"Aku masih ada motor, sebentar aku ambil kuncinya." Arkan berusaha melangkah meskipun kakinya tak bisa menapak dengan baik.

"Kau gila! Mengantarku dengan motor? Bahkan berjalan pun kau tak bisa lurus. Mau membunuhku?" Anna berkacak pinggang, kegelisahannya sudah mereda, atau lebih tepatnya kalah dengan perasaan kesalnya pada Arkan.

"Kenapa Anna sangat kejam? Aku bahkan tak bisa melihat Anna terluka." Arkan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Mungkin sesekali Anna harus merekam bagaimana tingkah Arkan ketika mabuk, siapa tahu akan berguna untuk mengancamnya. Karena Anna yakin jika anak buahnya, terutama wanita, akan berhenti menganggap Arkan mempesona setelah melihatnya.

"Sudahlah! Selamat malam," ujar Anna sambil melangkah menuju pintu tapi Arkan segera menghampirinya dan menangkap lengan lalu membalikkan tubuhnya, membuat saraf-saraf di sepanjang tulang punggunnya bereaksi, detak jantungnya kembali tak stabil.

"Aku antar, aku ikut di mobil." Arkan berdiri terlalu dekat dengan Anna, karena dia bisa merasakan napas pria itu di wajahnya. "Atau Anna menginap di sini malam ini."

"Oke! Aku akan tinggal di sini. Aku tidur di mana?" jawab Anna cepat, sebelum perasaan cemas mengambil alih. Membuat Arkan merengut heran, tapi dia tak mengatakan apapun, dan menunjuk sebuah pintu di samping ruang makan, yang bisa dilihat dari tempat mereka berdiri.

Anna bergerak, sebelum tubuhnya tidak bisa dikendalikan, jaraknya dengan Arkan yang terlalu dekat benar-benar memperburuk keadaan. Meninggalkan Arkan yang mematung dengan perubahan tiba-tiba Anna.

Pintu berdebam keras ketika Anna buru-buru menutupnya. Tubunya luruh di balik pintu, detakan jantungnya yang keras menyakiti rongga dadanya, napasnya pendek, tak peduli Anna berusaha untuk mengaturnya, tubuhnya punya keputusannya sendiri.

"Aku ...," ujar Anna terbata, "Aman. Aku aman. Aku aman," Anna merapal mantranya berulang-ulang.  

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang