1. Yang Tak Sempat Terucap (I)

25.8K 1.8K 65
                                    

Dua belas tahun lalu.

Gaduh murid SMA berlarian di lorong, saling kejar sambil menertawakan sesuatu. Di sisi yang lain para anak laki-laki sedang mencoba manuver dengan menggunakan skateboard di dekat tangga, dengung obrolan diselingi denting peralatan makan menguar dari kantin sekolah. Sementara di salah satu kamar mandi putra di pojok timur sekolah seorang anak laki-laki sedang memantaskan diri di depan cermin, merapikan rambutnya yang sebentar lagi akan mengundang guru BP dengan gunting jika tidak segera dipotong.

Diperhatikan rahangnya yang beberapa bulan lalu tertutupi pipi temban, sekarang memperlihatkan garis tegas. Matanya yang dulu sipit karena terlalu banyak lemak di muka juga kini terlihat lebih lebar dan lebih tajam. Perutnya yang dulu "luber" melewati pinggang kini ramping, meski belum berhasil mencetak enam kotak di otot perutnya, tapi garis samar mulai terlihat jika diperhatikan benar-benar. Lengannya yang dulu "berkibar" ketika bergerak kini telah terlihat tegas bedanya antara trisep dan bisep. Perjuangannya selama enam bulan terakhir tak sia-sia. Program fitness dan diet yang dia jalani membuahkan hasil. Enam bulan lalu dia masih harus berusaha keras untuk membuatnya mampu berlari karena merasa badannya terlalu berat, kini di mata pelajaran olahraga, khususnya atletik dia menempati posisi sepuluh besar. Dia bukan atlet di olahraga permainan, tapi kini dia menikmati bermain basket, futsat, maupun voli bersama teman-temannya yang lain. Nama pemuda itu Arkan Mulyana, 16 tahun, saat itu duduk di kelas 2 di sebuah SMA Internasional.

Enam bulan lalu dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk berubah, semua itu demi sahabat kecilnya, gadis yang dia kenal seumur hidupnya, cinta pertamanya. Dia ingin meningkatkan statusnya dari sahabat masa kecil menjadi kekasih. Tapi dia tak ingin ditolak hanya karena penampilan fisik—meski ia tahu sahabat kecilnya bukan seseorang yang berorientasi dengan fisik, oleh karena itu dia berusaha memperbaiki diri, selain karena dia menyadari bahwa perubahan yang dia jalani juga untuk kebaikannya sendiri. Dia merasa jauh lebih segar dan sehat sekarang.

Arkan berjalan keluar dari toilet menuju ruang kelas sahabatnya, Lusianna Wardhana, atau biasa dipanggil Anna. Bagi Arkan, Anna adalah sosok gadis yang menyenangkan, murah senyum, baik, dan tentu saja manis serta cantik. Rambut panjang sebatas bahunya selalu diikat ekor kuda, wajah polos tanpa make-up ketika berangkat ke sekolah (tentu saja), bulu mata yang lentik dengan mata berbentuk almond, ujung hidungnya kecil dengan tulang hidung yang tinggi, rahangnya cukup tegas untuk ukuran seorang gadis, tapi itu yang menonjolkan tulang pipinya yang tinggi. Dan yang paling penting Arkan tahu bahwa Anna akan selalu ada untuknya.

Arkan memasukkan kepalanya saja ke ruang kelas Anna dengan jantung berdebar, "now or never" teriak batinnya. Dia sudah siap untuk ditolak tapi sangat berharap bahwa gadis itu akan menerimanya, bukankah selama ini Anna tidak pernah bercerita jika dia menyukai pria lain?.

Dia tak melihat Anna dari tadi pagi, dulu mereka akan berangkat dan pulang sekolah bersama. Arkan yang menjemput Anna bersama sopirnya. Namun, semenjak program fitness yang dijalaninya mereka hanya bisa bertemu di sekolah, karena Arkan harus ke gym tiap pagi dan pulang sekolah.

"Anna dimana?" tanya Arkan asal pada seorang teman yang melewatinya di pintu.

"Anna?" pemuda kurus dengan kacamata itu berhenti untuk menatap Arkan sejenak. "Nggak tahu. Dari pagi belum masuk dan nggak ada ijin juga."

"Oh, oke. 'Makasih." Arkan hanya mematung lalu membiarkan si pemuda kurus tadi keluar. Arkan mengeluarkan Hpnya dari saku celana. Ingin menghubungi Anna. Tak biasanya Anna tidak masuk sekolah, terlebih tidak memberitahunya.

Arkan baru akan mencari nama Anna di daftar kontak HP ketika Hpnya bergetar. "Kak Mira?" Arkan mengangkat alisnya, tumben kakak perempuan semata wayangnya itu menelpon di jam sekolah. "Ada apa Kak?" tanyanya ketika menempelkan HP ke telinga.

"Arkan keluar lewat gerbang depan sekarang. Kakak sebentar lagi sampai depan sekolah kamu." Ada nada memburu dari suara Mira.

"Memangnya kenapa?" Arkan heran dengan kakaknya dan sama sekali tidak bergerak dari tempat berdirinya.

"Nanti kakak jelaskan, sekarang kamu keluar. Nggak usah ijin guru, ijinnya urus nanti saja. Kakak udah bisa lihat gerbang sekolah, cepat keluar." Sambung terputus sebelum Arkan protes dan bertanya, tapi Arkan tahu ada sesuatu yang darurat sebelum akhirnya berlari ke arah gerbang sekolah.

Ketika sampai di gerbang sekolah Arkan melihat mobil sedan hitam kakaknya telah terparkir. Dia hanya mengangguk ke arah satpam sekolah lalu menyelinap masuk ke dalam.

"Kita mau kemana?" Arkan memasang sabuk pengamannya.

"Rumah sakit." Jawab Mira singkat sebelum memindahkan perseneling.

"Ada apa? Siapa yang di rumah sakit?" Arkan memandang wajah tegang kakaknya, gadis semester dua itu hanya mengangkat bahu sambil menghela napas.  

Mending The SoulsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang