Lalu apa yang bisa kulakukan di masa-masa kritis seperti sekarang?

Mengenang kebersamaanku selama tujuh tahun terakhir dengan Sam; menangis.

Menghidupkan kenangan saat pertama kali aku bertemu dengan Sam; menangis lagi.

Membayangkan hal-hal yang selama ini Sam lakukan kepadaku; kembali menangis.

Mengingat malam saat aku memutuskannya, dan dia hanya bergeming saja di dalam mobilnya, tidak ada usaha mengejarku ke dalam, atau apa pun yang akan membuat hubungan kami tidak sepelik sekarang; menangis histeris.

Memikirkan waktu tiga bulan yang lalu, saat segenap usaha Sam menghubungiku untuk memperbaiki hubungan kami, sementara yang kulakukan saat itu adalah mengabaikannya; aku kembali menangis sejadi-jadinya.

Ya, terus saja menangis sampai air mataku bisa menenggelamkan kota Jakarta.

Interkom apartemenku berbunyi saat aku sedang apa, apa kalian mau mencoba menebak?

Yup, saat aku sedang menangis.

Secepatnya aku beranjak dari sofa, lalu berjalan menuju pintu sambil mengusap lelehan air mata dengan punggung tangan, menjadikan sisa maskara yang kukenakan sepulang dari studio berlepotan. Detik itu, aku sangat berharap seseorang yang tengah berada di balik pintu itu adalah Sam. Seseorang yang akan memberiku pelukan saat aku melewati hari yang buruk, mendengarkan ceritaku dalam diam dan setelah aku meluapkan semuanya, dia akan berkata dengan penuh keyakinan, "Everything is gonna be fine, Luh." Terdengar sangat bijak sekali, kan, ya? Tapi mau tahu kalimat selanjutnya yang biasanya berhasil membuatku tersenyum sekaligus ingin melempar bantal sofa ke arahnya?

Saat dia bilang kalimat ini dengan nada tenang, "Selama masih ada aku di sisi kamu," kemudian mengulas senyum yang lebar. Dan semua harapan bodohku itu akan terpenuhi seandainya hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu, sebelum aku membuat keputusan yang aku sesali sekarang.

Annet berdiri sambil membenahi poni rambutnya ketika aku membuka pintu. Dia memasang ekspresi yang dibuat seceria mungkin saat melihatku, seolah-olah dia baru saja mendapat tiket undian keliling Eropa bersama Orlando Bloom.

"Are you fine, Darling?" tanyanya dengan ekspresi serba salah.

"Apa menurut lo gue kelihatan baik-baik aja?"

Begitu melihat keadaanku yang kacau, Annet segera membawa diri masuk dan langsung memelukku. Dalam pelukan sahabatku itu, aku kembali menangis. Tak segan-segan aku menceritakan keadaanku yang karut-marut setelah melewati waktu tanpa Sam. Ketika tangisku mulai reda, Annet menuntun langkahku menuju sofa. Dia meletakkan sewadah besar ayam goreng dan beberapa kaleng soda yang dibawanya ke atas meja, kemudian mengambil duduk di sebelahku. Makanan tersebut, ngomong-ngomong, kupesan melalui telepon saat dia mengabari akan ke tempatku karena biasanya setumpuk makanan sedikit bisa mengalihkanku dari rasa sedih.

Annet menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap acuh ke arahku. "Lo nggak bakalan buang-buang waktu dengan terus begini selamanya kan, Darling?" Kali ini dia berkata dengan tegas sambil menyerahkan ponsel milikku dari atas meja yang sebelumnya dia utak-atik, kemudian menambahkan, "Gue udah nyimpen nomor barunya si Sam, dan gue harap nggak ada pertanyaan gimana usaha gue buat mendapatkannya."

Ragu-ragu aku menerima ponselku, sedikit penasaran usaha apa yang sahabatku itu lakukan untuk mendapatkan nomor barunya Sam, kemudian mulai mencari nomor Sam di daftar phonebook—yang sebenarnya ingin sekali kulakukan di hari ketiga setelah aku memutuskannya. Tetapi, sama halnya seperti yang kulakukan di tiga hari setelah hubungan kami berakhir, aku mendiamkan perangkat komunikasi itu di tanganku, menatap nama Sam yang Annet simpan dalam kontak dengan ragu. Sesaat kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke arahnya.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now