Dan gue salah satu orang yang percaya banget sama ramalan itu.

Coba deh kalian bayangin, Luh punya senyum ala manga yang membuat kedua matanya yang belo sipit itu bersinar. Luh punya rambut lurus sepinggang dengan helai-helai halus di bagian teratas jidatnya yang membentuk lingkaran yang seksi. Luh punya hidung mungil dengan ujung yang meruncing. Luh punya bibir tipis kemerahan yang penuh. Luh punya dagu lancip yang membuat lelaki mana pun kepengin menyentuh atau menggigitnya—termasuk gue sendiri sih. Sosok Luhara Lituhayu ini benar-benar punya banyak hal yang diinginkan laki-laki dari sosok perempuan. Atau banyak hal yang diinginkan perempuan ada pada diri mereka.

"Lo jangan sampe lupa, Bule, kalau kemeja yang lo pake itu kemeja pembawa keberuntungan buat hidup gue. Dulu gue make itu pas melamar Dewi dan dia mau nerima lamaran gue," beri tahu Rikas. Kalau nggak salah, itu infonya yang kelima setelah gue bilang minjem kemeja ke dia semingguan yang lalu. "Gue orang yang percaya kalau keberuntungan itu punya efek kayak domino, jadi lo tinggal berdoa aja, semoga keberuntungan yang sama mampir ke elo juga," lanjutnya bersama binar mata bahagia.

Masih dari depan cermin yang memperlihatkan gue versi rapian dikit, diam-diam gue mengharapkan keberuntungan yang sama gue dapati malam ini. Semoga saja, ajakan Luh buat merayakan hari jadi kami di apartemennya, juga kemeja kopi yang gue pakai ini, jadi pertanda baik buat hubungan kami ke depannya. Tolong aminkan bersama-sama.

"Setelah tujuh tahun kalian lewati dengan entah ngapain aja, lo juga berniat melamar dia, Bule?" Irham melontarkan pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat disebut dengan ejekan.

"Kenapa enggak, Man? Gue nggak mau nyia-nyiain waktu selama itu cuma buat main-main doang. Makin hari kita makin tua, ya, inget lo pada?!" Gue mengejek balik sahabat gue yang satu ini, yang skeptis sama komitmen itu setelah mengetahui ayahnya selingkuh dan menikah lagi tanpa sepengetahuan dia dan ibunya.

Gue menyiris rambut ikal gue yang mulai gondrong saat mendengar pertanyaan Rikas.

"Yakin lo, Bule? Maksud gue, Luh punya karier yang menjanjikan lho. Hampir semua orang taulah siapa presenter entertainment-nya JOT TV. Biasanya nih, cewek dengan karier yang bagus, nyarinya ya, cowok dengan karier yang bagus juga. Semacam hukum keseimbangan gitulah"

Itu kata lain dari; "Lo cuma pengangguran, Bule. Lo cuma seonggok sampah yang menuh-menuhin Jakarta. Bagusnya lo balik ke kampung halaman lo, jadi guide bule beneran di Kuta sana!" yang biasa mereka lontarkan sebagai lelucon. Sejauh ini sih gue sudah terbiasa sama gurauan sarkas mereka yang bawa-bawa status gue. Mereka cuma nggak tahu aja kalau gue selektif buat urusan pekerjaan—salah satu alasan yang membuat gue masih setia menganggur sampai sekarang.

Gue pernah kerja bareng Rikas di majalah film, tapi hanya bertahan setahunan lebih karena gue merasa nggak cocok jadi pencari informasi seputar film di lapangan dan harus mengulas film yang nggak gue sukai dengan penuh pujian. Iya, gue tahu gue dibayar buat itu. Tapi sisi idealisme gue merasa terkikis dan gue nggak mau sampai jati diri gue lebur. Gue pernah jadi wartawan media online yang awalnya oke, tapi akhirnya berubah menjadi portal berita sampah yang menyampaikan berita nggak penting, yang penting viral dengan judul hiperbola. Intinya gue nggak mau menjual kebebasan gue buat pekerjaan yang nggak begitu gue nikmati. Bagi gue uang bukan segalanya. Selesai perkara. Jadi, satu-satunya usaha gue buat bisa bertahan hidup di ibu kota adalah dengan bekerja paruh waktu, mengisi konten web yang fee-nya cukup buat makan dan bayar rumah kontrakan bareng dua sahabat gue yang kunyuk itu.

Sekarang balik lagi ke Luh.

Luh punya karier yang bagus, itu memang bener. Fakta tersebut kadang-kadang bikin gue minder, terlebih pas baca isi wawancara Luh dengan media lokal yang menanyakan hubungan percintaannya. Pacar gue itu menjawab dengan diplomatis, membuat gue merasa dihargai. Jadi, Luh denga karier cemerlangnya sebagai presenter top itu nggak bisa dijadiin alasan gue buat minder di hadapan dia. Toh, selama delapan tahun ini, hubungan kami baik-baik saja. Masalah yang timbul di antara kami, nggak lebih dari sekadar gue yang nggak suka dia terlalu dekat sama rekan kerjanya yang cowok, atau siapa pun yang memandangi dia dengan tatapan menginginkan. Sisanya, kami melewati hari-hari yang nggak terlupakan.

"Gue cinta mati banget sama Luh. Luh cinta mati banget juga sama gue. That's it." Gue menjawab dengan bangga. Setelah itu gue melangkah ke ruang tengah. "Jadi, Man, di mana letak masalahnya coba?"

"Dengerin pakar cinta ngomong tuh, Rik," sindir Irham. "Katanya cinta bisa bikin perut kenyang, bisa bikin mobil yang mau dipakenya itu bisa jalan sendiri tanpa bensin, bisa bikin semua hotel bintang lima se-Jakarta ngasih voucher nginep gratis. Keren banget, kan, tuh efek cinta!"

Tanpa memedulikan ejekan Irham, gue langsung nyelonong ke depan sofa. Sengaja berdiri agak lama di depan televisi, menghalangi pandangan Irham dan Rikas yang lagi main penaltian. Seketika itu mereka langsung nyemprot gue dengan gerutuan dan lemparan bungkus rokok. Setelah itu gue menyambar kunci mobil di atas meja di samping televisi, kemudian berjalan ke sisi kiri sofa. Sebelum pergi, gue mencabut colokan di dinding yang menghubungkan televisi dan play station ke listrik, membuat kepergian gue diiringi dengan paduan suara merdu bermuatan makian berikut lemparan kulit kacang.

"Anjrit! Kampret lo, Bule!" maki Rikas.

"Bule sialan!" Disusul oleh Irham yang biasanya nggak pedulian.

Gue melenggang tanpa menyadari firasat apa pun. Tanpa tahu kalau setelah malam ini, hidup gue bakal berubah total. []


Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now