Resus (Part 3)

Začít od začátku
                                    

"Hehe...." Claude terkekeh nakal, melihat Eterna yang mulai terpancing gurauan. "Kau tahu? Bau sewangi itu akan membuat pria manapun jatuh padamu."

"Maksudmu... jatuh cinta?"

"Bukan—" Claude menggembungkan pipi, menahan tawanya yang tampak siap meledak, "—maksudku, jatuh pingsan. Hahaha!"

Eterna mengulum kesal dalam semerawut wajahnya. Pipinya menggembung besar, bibirnya mengerut agak jauh ke depan, matanya menatap tajam sang majikan, seakan memberi pesan "Minta maaf sekarang atau aku akan membunuhmu!" kepadanya.

Parau terdengar lantang, rombongan gagak di tengah danau memekik serempak hingga tak sengaja menggema. Secepat kilat, salah seekor gagak mendadak membungkuk, mencelupkan ujung paruhnya yang terbuka lebar ke dalam air berbau amis nan merah, meneguknya cepat-cepat dalam hitungan detik, lalu buru-buru menarik paruhnya kembali dari permukaan. Entah apa yang terjadi setelahnya, gagak itu mendadak mengepak-ngepakkan sayapnya ke atas dan ke bawah, dengan kedua kaki yang menghentak-hentak tempatnya berpijak. Tampak gila, kehilangan akalnya dalam misteri, sang gagak tiba-tiba memekik lantang dengan parau suaranya yang menakuti kawan-kawannya. Tak diduga, sang gagak gila mendadak meluncur secepat angin mendekati kawannya, menyerangnya dengan paruh yang terhunus, lalu mencengkramnya dan mencabiknya hingga terbunuh, kuyup berdarah, bulunya yang hitam legam dibuatnya bermandikan merah.

Claude mengernyitkan alisnya sembari bergumam kecil, memerhatikan burung gagak yang dianggapnya gila itu. "Aneh."

Eterna memiringkan kepala, kebingungan melihat majikannya yang berbisik dengan sendirinya. "Apa yang aneh?"

Claude sejenak menolehkan kepala menghadap Eterna, lalu dengan sekejap kembali berpaling ke arah danau sebelum akhirnya berujar, "Sejak kapan burung gagak berubah menjadi kanibal?"

"Hah?" Eterna sama herannya.

"Lihatlah," Claude mengacungkan telunjuknya ke tengah-tengah danau, di mana sang gagak gila melahap kawan sejenisnya di atas bongkahan kayu yang terapung.

Eterna membelalakkan mata. "Gagak itu... dia...."

"Memakan kawannya sendiri," lanjut Claude, menyambung Eterna yang tak sempat menggambarkan apa yang dilihatnya. "Air merah itu tampaknya meracuni pikirannya."

"Maksudmu?"

"Aku melihat gagak gila itu meminum air danau sebelum akhirnya membunuh kawannya sendiri." Claude menggenggam dagunya dengan jemari sembari menggaruk-garuk bibir bawahnya sendiri.

Mungkinkah..., bisik Claude dalam hati, memikirkan suatu anggapan yang mungkin dapat dijadikannya sebagai hipotesa.

"Apakah itu ada kaitannya dengan Resus?" lanjut Eterna semakin penasaran.

"Pertanyaan yang bagus, namun aku kurang yakin akan hal itu."

Claude sejenak terdiam, lalu menyeret tubuhnya sendiri sejauh lima jengkal mendekati Eterna. "Jika asumsiku benar, kupikir itu ada kaitannya dengan warna bajumu yang berubah menjadi merah."

Dari kejauhan, tampak sesosok siluet wanita yang duduk di atas pelana kuda, menarik dua utas tali yang berbeda, menggiring dua kuda sambil menunggangi salah satunya. Semu kelihatannya, di pinggir danau mencetak jejak di atas pasir yang terhampar. Merah, itulah warna rambut sang wanita, berkilau dalam siluet, tergerai dan berkibar diterpa angin, salah satu tangannya dengan cekatan memecut tali di dekat pelana, memacu kedua kudanya agar semakin cepat melangkah.

Semakin dekat dan dekat, mentari pelan-pelan menyapu siluet yang menyelubungi seluruh raganya. Kedua telinganya—yang membentuk sudut lancip—menjadi ciri khasnya yang dapat dengan mudah walau dari kejauhan sekalipun. Ia adalah....

The Sacred Witcher Act I: The CurseKde žijí příběhy. Začni objevovat