Almost Missing -20 B (Ending)-

284 20 1
                                    

"Ma, aku mau nonton VCD di kamar Aelke dulu ya..." Morgan mencium pipi mamanya dan langsung berjalan menuju kulkas lalu mengeluarkan isinya.
"Eh, kamu ngapain ngubek-ngubek lemari es?" tanya mama Morgan heran.
"Mau bawa makanan buat nonton, lah, ma. Pan nonton gak enak kalo mulutnya gak ngunyem...!" ujar Morgan.
"Tunggu! Kamu mau nonton apa sama Aelke? Cuma berdua? Bahaya..." tukas sang mama curiga. Morgan memutar otak, tidak mungkin mengajak mamanya menonton bertiga karena yang akan diputar adalah kaset Almost Missing.
"Duileh mama, Morgan sama Aelke cuma mau nonton film Masha and The Bear. Kartun, ma. Bahaya apanya...? Nih makanan udah siap buat temen ngakak pas ngeliat itu film..." celoteh Morgan yang berhasil membuat mamanya membolakan mata. Kartun katanya?
"Kamu nonton kartun sama Aelke, kok bisa??? Kan udah gede, Gan." sergah sang mama protektif.
"Lah, Aelke kan emang suka kartun, ma. Sebagai lelaki yang menyayanginya, aku musti bisa adaptasi sama dia, dan bikin dia seneng. Salah satunya ya nemenin dia nonton kartun kesukaannya." cerocos Morgan berkilah. Pintar sekali dia mencari alasan. Morgan keluar apartemen dan menuju apartemen Aelke. Kebetulan hari ini hari Minggu, dan Aelke memilih libur karena sudah janji akan menonton Almost Missing bersama Morgan.
Sang mama hanya menggeleng saja melihat tingkah putra sulungnya itu. Kekonyolannya kadang membuat sang mama melupakan kesedihannya. Ya, itulah Morgan yang ceria, meski di hatinya banyak sekali tekanan menyakitkan. Saat ini, Elizabeth melihat jelas kesungguhan Morgan menyayangi seorang wanita. Karena selama ini, Morgan tidak pernah menceritakan sosok seorang gadis yang dicintainya, atau gadis yang tengah dekat dengannya. Kecuali Aelke, untuk saat ini.
***
Aelke menganga melihat Morgan yang membawa banyak snack dan makanan di tangannya. Morgan juga membawa bantal kecil dan beberapa minuman ringan.
"Heboh amat, sih. Kan di kulkas gue juga makanan banyak..." komentar Aelke membantu Morgan menurunkan semua bawaannya.
"Udah ini aja. Gratisan buat elo..." tukas Morgan dan Aelke hanya menggeleng saja.
Pintu sudah Aelke kunci. Pintu balkon kamar pun sudah ditutup rapat. Mereka berdua sepakat menonton bersama, karena tidak mungkin mengajak teman lainnya untuk ikut menonton.
"Mau puter kaset gue atau punya lo?" tanya Morgan di depan DVD Player milik Aelke.
"Terserah, deh..." jawab Aelke. Morgan mengambil kaset CD miliknya dan memasukkannya ke dalam DVD Player sampai gambarnya terlihat di layar televisi LED 21 Inch.
Welcome to Almost Missing...!
Selamat datang di Almost Missing.
Ini adalah sebuah rekaman perjalanan 7 level Almost Missing untuk pemain yang selamat sampai ke dunianya semula. Rekaman ini hanya bisa diputar 3 kali saja.
Aelke dan Morgan memerhatikan sosok peri Vina di layar kaca yang lagi-lagi mengomando kegiatan mereka.
Tantangan demi tantangan yang kalian lewati memiliki arti tersendiri. Utamanya, diawali dengan penyatuan nada melody yang diabadikan dalam sebuah kotak musik. Diperjalanan selanjutnya adalah perjuangan, dan terakhir adalah tontonan masa lalu dan masa yang tengah terjadi. Tidak diperlihatkan masa depan. Karena tetap, masa depan adalah rahasia Tuhan.
Setelah cuap-cuap selesai, Aelke dan Morgan tertawa sendiri melihat tingkah mereka yang tertangkap oleh pengawal Istana. Morgan dibawa ke penjara, sedangkan Aelke didandani selayaknya putri kerajaan. Morgan hampir tersedak menumannya sendiri saat melihat mimik wajah Aelke yang terkejut akan perjodohannya sebagai putri Monica dengan pangeran Bisma.
"Lo bikin ngakak!" komentar Morgan sambil meraup kacang polong dan mengunyahnya.
"Haha, lo lebih gila!" tukas Aelke melihat Morgan berteriak di dalam penjara dan pada akhirnya, malah menghabiskan makanan yang diantar seorang penjaga.
"Abisan laper, teriak kagak ada yang denger!" celetuk Morgan yang tidak berhenti mengunyah makanan.
Level dua kini terputar sempurna. Aelke dan Morgan tertawa keras saat melihat adegan 'Kue Putu' yang disediakan untuk raja Ceko, Romawi.
"Kue putu fenomenal, ya..."
"Gue pencetusnya..." sergah Aelke bangga.
"Naik kuda berdua so sweet, ya..." celetuk Morgan yang membuat Aelke langsung menoleh. Adegan demi adegan yang sedang berjalan membuat keduanya kadang tertawa, takut, dan berteriak kencang. Apalagi saat Morgan dikejar paus putih di dasar lautan. Dan Aelke terkurung dalam sebuah aquarium besar.
"Ini yang paling gila! Monyet gila!" tukas Morgan saat melihat dirinya dan Aelke diserang seekor monyet ganas sampai Aelke hampir terjatuh, dan terakhir, Morgan yang jatuh ke dalam jurang.
Morgan dan Aelke sama-sama terdiam. Terlihat Aelke yang menangis sesenggukan, dan ada dua pemuda datang membantu. Morgan jadi ingat, 2 pemuda selain Bisma yang pernah ia temui di restoran adalah sosok Reza dan Ilham yang menolongnya.
"Gan, level 5 harus sembuh." suara Aelke terdengar parau saat mengucapkan hal itu, Morgan terpejam dan Aelke mengelus punggung tangan Morgan.
"Cie, Aelke perhatian banget sama gue..." goda Morgan terlihat senang sekali melihat Aelke yang mau berjuang sendirian keluar hutan.
"Ya, kan, gue care, Gan..." timpal Aelke sambil asik mengupas kacang garing dan memakannya.
"Yakin nih cuma care aja??" tanya Morgan menatap wajah Aelke. Aelke terlihat gugup saat ini dan Morgan menahan tawanya melihat mimik wajah Aelke.
"Mending liatin filmnya, jangan gue!" sentak Aelke memerah dan langsung sok-sok serius melihat adegan yang masih terputar rapi.
"Aksi gue jadi penyihir keren akut!" tukas Morgan, di dunia sihir itu Morgan dan Aelke mati-matian berjuang melawan Alastor. Terakhir, Aelke terkena sihir Alastor dan langsung tak sadarkan diri. Morgan terlihat sangat marah sampai matanya berubah menjadi keemasan. Aelke jadi ngeri sendiri melihat Morgan yang menerjang tubuh Alastor sampai semua yang berada disana terpental kesana-kemari.
"Aelke, bangun... Kita menang... Kita pasti pulang..."
"Aelke... 1 level lagi. Jangan buat gue berjuang sendiri..." Aelke terharu melihat Morgan yang meneteskan air matanya saat itu. Ini level 6. Sedangkan Morgan, hanya menikmati jalannya cerita. Mereka berdua seperti aktor dan aktris. Bedanya, ini nyata dan bukan akting.
"Peri Vina baik banget...." ujar Aelke saat peri Vina menyembuhkan Morgan. Aelke memasang telinganya, matanya dengan seksama melihat Morgan yang hampir menangis di sisi ranjang dan Aelke terbaring lemah disana. "Aelke, bangun... Gue belom sempet bilang, kan? Kalo gue suka sama lo dari awal ketemu. Gue sayang sama lo..."
Aelke membolakan matanya, menatap Morgan, dan Morgan menatap Aelke.
"Lo suka gue?" tanya Aelke menunjuk dirinya sendiri. Morgan seketika gugup dan mulai sulit menggerakkan bibirnya. Aelke juga terlihat shock.
"Eum, itu... Gue... Duh, gue....."
***
Aelke tidak bisa tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur. Masih teringat isi film Almost Missing saat adegan Morgan mengatakan bahwa ia menyayangi Aelke. Dan kemarin, Morgan terlihat gugup dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Aelke duduk, berbaring, duduk, berbaring di ranjangnya masih tak bisa melupakan kejadian kemarin.
Tok tok!
Aelke bangkit dan berdiri menuju pintu. Entah mengapa, dadanya terasa dag-dig-dug padahal, tidak tahu siapa yang mengetuk pintu apartemennya.
Perlahan, Aelke memutar handle pintu dan menariknya pelan. Aelke sedikit terkejut melihat seseorang di luar.
"Tante..." gumam Aelke kikuk saat melihat mama Morgan berdiri di depan apartemennya.
"Pagi, Aelke..."
"Pagi tante, masuk, yuk!" ajak Aelke, mama Morgan menggeleng.
"Ke apartemen Morgan, yuk! Morgan bilang, kamu pinter masak. Bantu tante masak, mau gak?" tanya mama Morgan, Aelke menautkan kedua alisnya.
"Masak? Di kamar ada Morgan?" tanya Aelke. Sepertinya ia belum siap bertemu Morgan lagi.
"Gak ada. Morgan kan kerja..."
"Hfft... Untung dia gak ada..." gumam Aelke pelan dan akhirnya memutuskan untuk ikut masak bersama mama Morgan.
***
Harum aroma makanan tradisional sudah memenuhi arena dapur. Aelke dan mama Morgan antusias memasak meski tak banyak. Mereka berdua hanya memasak ayam penyet, sambal terasi, sayur asem dan lainnya.
"Pinter banget sih masaknya..." puji mama Morgan sambil meletakkan makanan di atas meja, Aelke jadi tersipu malu.
"Pinteran juga tante. Aku masih belajar..."
"Ini udah keren masaknya. Morgan seneng banget loh sama cewek yang pinter masak..." ujar mama Morgan yang membuat Aelke jadi kikuk sendiri dan tersenyum ragu-ragu.
"Aelke, mama. Lagi pada ngapain?" Morgan tiba-tiba saja sudah muncul di dapur dan Aelke merasakan darahnya berdesir kencang.
"Kok udah pulang? Mama dibantuin masak sama Aelke. Makan, yuk!" ajak mama Morgan, Aelke hanya terdiam salah tingkah.
"Proyeknya udah selesai, ma. Serius Aelke bantu masak. Istimewa dong!" tukas Morgan yang langsung duduk di meja makan dan menyiapkan piring. Aelke merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, apalagi melihat dandanan Morgan dengan baju kantornya. Kemeja merah tua dengan dasi merah hitam yang kerahnya terbuka sedikit membuat Aelke jadi meleleh dibuatnya.
"Aelke kenapa? Ayo dong makan sama-sama..." tegur mama Morgan, Aelke tersadar dan tersenyum malu, ia lalu duduk meski ragu. Yang membuat Aelke makin salah tingkah adalah, saat Morgan menawarkan diri untuk menyuapi Aelke. Terlihat jelas sekali Aelke salah tingkah, dan Morgan menahan tawanya disini.
Makan siang terasa garing untuk Aelke, meski Morgan dan mamanya sesekali bersenda gurau. Ini pasti efek salah tingkahnya yang sudah mencapai titik full!
"Makasih udah mau bantu mama gue masak, ya..." ucap Morgan. Aelke mengangguk tanpa bicara apapun. Masih duduk di meja makan dengan piring kotor yang sudah dibereskan, Morgan menatap Aelke yang jadi aneh sekali.
"Ma, mau jadi saksi, kan?" tanya Morgan pada mamanya.
"Saksi apa?"
Morgan tidak menjawab. Ia mengeluarkan secarik kertas dan menghadapkannya pada Aelke. Mama Morgan hanya menatap putranya heran.
"Aelke, 1 thing, 2 say, 3 words, 4 you, I Love You." eja Morgan sambil menghadapkan kertas bertuliskan kata-kata tersebut. Aelke seketika memerah. Membaca kembali tulisan sederhana Morgan dan kata-kata yang Morgan ucapkan terngiang-ngiang di telinganya. Bibir Aelke gemetaran, seperti ada mawar merah yang membuatnya tersenyum malu.
"Ma, aku sayang Aelke. Restuin aku sama dia, ya...?" tanya Morgan, Aelke beralih menatap mama Morgan sambil meremas-remas jarinya sendiri. Aelke rasanya ingin terbang saat mama Morgan mengangguk dan tersenyum menatapnya.
"Dear, come to me and live in my heart forever. You can live there for free with no rent. There is a space in my heart that I specifically dedicated for you to live in. Will you merry me?" tanya Morgan tanpa gugup sama sekali dan memberikan Aelke sebuah cincin putih. Aelke merasakan tubuhnya seperti berpisah dan mengawan. Melihat bola mata Morgan yang menyiratkan ketulusan, jangankan untuk berkata 'Iya' atau 'Bersedia'. Menggerakkan bibir saja terasa begitu sulit untuk Aelke.
Morgan menatap Aelke, sedikit rasa takut di hatinya. Takut Aelke tidak mau menerimanya. Takut semua ini terlalu cepat diutarakan. Apalagi sang mama. Yang harap-harap cemas, tidak bisa membayangkan jika Morgan patah hati. Tapi, kecemasan itu terbayar sudah, saat Aelke berhasil menggerakkan bibirnya untuk tersenyum, dan menganggukkan kepalanya.
"Ya, I will..."
Morgan tersenyum bahagia dan berdiri lalu mendekati Aelke.
"Thanks a lot, Dear..." ucap Morgan yang langsung memeluk Aelke erat.
***
Pagi yang indah dengan suara burung bersahut-sahutan. Aelke membuka jendela kamarnya dan menghirup udara pagi. Tapi, ia langsung membolakan matanya saat melihat pemandangan di seberang jendela kamarnya.
"Good morning, Dear...!" tukas Morgan tersenyum manis menatap Aelke dari jendela kamarnya yang berada di seberang jendela kamar Aelke.
"Morning too, kok kamu disitu?" tanya Aelke heran, mereka berbincang di rumah yang berbeda dengan suara yang harus lantang.
"Ini rumah baru aku. Mungkin nanti rumah kita, ehm! Biar enak ngebesannya, tinggal aku lempar ke kiri, deh! Haha" Morgan tertawa renyah. Ia tidak bilang jika pindah rumah dan rumah barunya di sebelah rumah Aelke.
"Serius? Ya ampun...!" pekik Aelke. Morgan hanya terlihat cengengesan. Aelke menoleh, mendengar pintu kamarnya diketuk.
"Aku pergi dulu ya..." ujar Aelke membalikkan badannya.
"Sarapan! Sarapan!" tukas Clara menggedor-gedor kamar Aelke. Aelke sudah kembali ke rumahnya semula. Tidak lagi berada di apartemen karena ini 2 bulan menjelang pernikahannya bersama Morgan.
"Gue siap sarapan! Kakak ipar masak apa?" tanya Aelke setelah membuka pintu kamarnya.
"Baru calon, Ael. Gue masak sushi, yuk!" tukas Clara yang pagi ini sudah berada di kediaman Aelke dan Rafaell karena permintaan Rafaell.
Di meja makan, ada kedua orang tua Aelke dan Rafaell, Rafaell, Aelke dan Clara. Sarapan pagi terasa berwarna. Sesungguhnya, pernikahan Aelke dan Rafaell nanti akan digelar bersamaan.
Selesai makan, Rafaell dan Clara mengajak Aelke keluar rumah.
"Mau kemana?" tanya Aelke yang sudah yakin akan jadi obat nyamuk diantara dua orang tersebut.
"Ngikut aja!" tukas Clara menggandeng tangan Aelke dan mereka bertiga keluar rumah, berjalan kaki menuju rumah sebelahnya.
"Siap?" Aelke mendekati Morgan yang sudah berdiri di depan rumah yang dituju Clara dan Rafaell. Morgan menenteng 4 sepatu roda di tangannya.
"Kamu...." gumam Aelke menggantung. Morgan tersenyum dan memberikan sepatu roda berwarna oranye pada Aelke. Aelke memakainya, begitu juga Morgan, Rafaell dan Clara.
"Kita duluan!!!" tukas Morgan yang langsung menggandeng tangan Aelke. Aelke berusaha menyeimbangkan kakinya. Mereka berdua langsung melesat meninggalkan Rafaell dan Clara, membelah jalanan kompleks yang lengang di pagi hari.

THE END.

Almost MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang