Almost Missing -20 A-

141 17 0
                                    

Senja meronakan warnanya di langit. 3 minggu berlalu begitu lambat bagi Aelke karena Morgan belum juga datang. Setiap hari, Aelke sengaja mengetuk pintu apartemen Morgan, berharap ada sahutan dari dalam meski ia tahu Morgan belum kembali. Setiap hari pula Aelke menghabiskan senja seorang diri di balkon apartemennya tanpa sosok Morgan yang sering usil padanya.
Ponsel Aelke berdering nyaring. Aelke melihat layar ponsel dan tertera nama 'Rafaell' yang menghubunginya.

"Iya, hallo, kenapa?" ujar Aelke.

"Gue males ke restoran..."

"Terserah gue dong pulangnya kapan..."

"Udah ah, ganggu tau!" tukas Aelke langsung memutuskan sambungan teleponnya. Sepertinya Aelke malas bicara dengan kakaknya itu.

Aelke duduk manis di kursi santainya dengan kotak musik 'Almost Missing' di tangannya. Aelke menekan tombol dan suara piano mengalun sempurna. Mendengar suaranya sendiri, mendengar alunan piano yang dimainkan Morgan, jadi mengingatkan peristiwa level 1 saat Aelke menjadi putri Monica dan Morgan menjadi pekerja kerajaan.

Almost Missing membuat Aelke sangat dekat dengan Morgan. Dan sekarang, Morgan tak kunjung kembali, Aelke merasa ada sesuatu yang hilang pada hari-harinya. Apalagi, Morgan tidak dapat dihubungi dimana-mana.

Puas mendengar alunan kotak musik, Aelke beralih membaca buku novel karangan penulis favoritnya. Buku yang tebalnya mencapai 1500 halaman itu Aelke baca dengan perasaan tak menentu. Ia memaksakan matanya untuk membaca novel, menyerap huruf demi huruf yang terangkai menjadi kalimat, kemudian menjadi paragraf dan berlanjut dengan halaman yang mencapai ribuan itu tak lekas membuat Aelke tenang atau fokus membacanya. Aelke sadar, saat ini, yang ia butuhkan adalah sosok Morgan.

***

Rafaell dan mamanya sudah berdiri di depan pintu apartemen Aelke. Malam-malam begini, mereka berdua memang sengaja mengunjungi Aelke yang sudah lama tak mau pulang ke rumah.

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Aelke akhirnya membukakan pintu dan terkejut melihat siapa yang mendatangi apartemennya.

"Mama..." tukas Aelke langsung menyalami mama tirinya itu seraya memeluknya rindu.

"Masuk dulu..." ujar Aelke menggandeng mamanya.

"Gue gak dipeluk, nih? Gak disuruh masuk juga?" tanya Rafaell memasang wajah malas.

"Apa deh..." timpal Aelke dan dengan langkah gontai, Rafaell ikut masuk ke apartemen.

"Mama bawa shusi kesukaan kamu, nih. Makan bareng, ya..." ujar sang mama membuka kotak makan bertingkat dan Aelke dengan antusias memakan shusi disuapi mamanya.

"Makasih, ma. Enak banget!" ucap Aelke tersenyum.

"Kapan pulang? Gak kasian sama mama, ya, tinggal berdua aja sama papa..." mama Aelke terus menyuapi putrinya.

"Aku betah disini, ma. Kan ada kakak sipit, tuh!" sergah Aelke menunjuk Rafaell.

"Tumben manggil kakak. Ada angin ape?" Rafaell duduk dan membuka soft drink yang ia ambil dari kulkas di dapur apartemen Aelke.

"Rafaell sama kamu kan sama-sama anak mama. Mama mau di rumah lengkap semua. Pulang ya, sayang. Tinggal sama mama..." pinta sang mama memohon, Aelke terdiam melihat raut wajah mamanya.

"Kejadian tahun lalu lupain aja, sipit. Kisah lama. Gue move on! Tenang aja..." ujar Rafaell yang membuat Aelke menatapnya tajam. Move on katanya? Jelas-jelas Aelke tahu jika Rafaell kesusahan melupakan perasaannya.

"Rafa udah mau beli rumah masa depan. Makannya kamu harus tinggal sama mama, sayang..."

"Sipit udah mau nikah?" tanya Aelke usil.

Almost MissingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt