21. Just me

2.9K 245 10
                                    

Aku adalah bulan yang merindukan matahari.

---------------------
Petir disaat cerah sudah cukup mengerikan bagiku. Apalagi ini adalah pertanda pertama. Hanya ada satu kemungkinan yaitu Aiden mulai menyukaiku.

Aku tahu bahwa menyukai seseorang hingga mencintainya membutuhkan waktu. Dan aku takut bahwa tanda-tanda yang lain akan segera muncul. Maka dengan tubuh yang bergemetar hebat kusuruh Aiden pergi dengan segera.

"Kumohon pulanglah," pintaku.

Aiden terlihat panik melihat aku yang berubah drastis dan gemetaran. Aku memang tidak memberitahunya tentang tanda-tanda tentang kutukan ini. Jadi ia terlihat kebingungan.

"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, Liz?" aku diam dan memejamkan mata.

Entah mengapa tiba-tiba air mataku turun perlahan ke pipiku. Aiden berusaha menyeka air mata di pipiku. Aku bahkan tak tahu perasaan apa yang kurasakan saat ini. Aku tidak mengerti mengapa aku menangis tiba-tiba. Karena aku tidak bisa sedih. Aku hanya bisa pura-pura sedih. Namun sekarang ini semua murni terjadi begitu saja. Seakan-akan hatiku yang tadinya mengeras menjadi meleleh seketika.

Kugenggam tangan Aiden yang mengusap air mataku. "Kumohon pergilah!" kataku.

"Tapi mengapa?"

"Kumohon bisakah kau hanya pergi saja untuk saat ini." itu bukan pertanyaan. Karena saat ini aku takut hal buruk lainnya akan terjadi.

Sesaat Aiden ingin pergi dari rumahku dia berkata. "Baiklah. Tapi hubungi aku jika terjadi sesuatu. Oke?"

Lalu Aiden pergi menjauh dari rumahku. Aku bisa melihat Aiden menoleh kebelakang, kearah ku sebelum dia berbelok di persimpangan. Tubuhku masih bergetar pelan. Aku sungguh takut akan apa yang terjadi barusan.

Aku mengutuk diriku sendiri yang sangat pengecut ini. Aku sangat takut bahwa Aiden akan menjadi korbanku yang selanjutnya. Karena biasanya setelah tanda pertama, tanda lainnya tidak akan lama lagi. Aku tak bisa berpikir bahwa Aiden, cowok menawan dan bahagia itu mati sia-sia karena mencintaiku. Itu sangat konyol.

Aku bahkan tak bisa membayangkan senyum Aiden yang selalu dia berikan kepadaku menghilang perlahan-lahan. Melihat muka Aiden menjadi sepucat kapas. Dan melihatnya mati dengan cara yang mengerikan.

-----------------

Aku duduk di kursi kayu di kamarku dan aku memeluk lututku. Kepalaku kubiarkan bertumpu di lututku. Aku berusaha tenang dan menghentikan tangisan payahku ini. Menangis tidak akan ada gunanya. Aku tahu, tapi entah mengapa aku tetap menangis. Karena aku tidak tahu harus melampiaskan semua ini dengan cara bagaimana lagi.

Aku merasa diriku hanya diberi dua pilihan. Membuat Aiden mati karena mencintaiku atau aku harus pergi menjauh dari Aiden. Dan hanya dua pilihan itulah yang bisa kulewati. Sebenarnya aku tidak ingin pergi menjauh dari Aiden, walaupun Tyler bilang bahwa aku bisa menjadi manusia lagi jika aku terus-terusan dekat dengan Aiden. Lagipula mungkin itu adalah hal yang baik untukku, bisa menjadi manusia biasa lagi dan bahagia selamanya. Tapi di satu sisi aku juga tidak ingin Aiden mati karenaku.

Tangisanku sudah berhenti dan menyisakan mataku yang sembap. Aku terlalu payah. Aku pikir aku bisa kuat dan melalui semua, tapi mengapa melihat tanda pertama saja aku sudah menangis. Sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan orang-orang yang mati karena mencintaiku. Bahkan beberapa dari mereka tak kukenal, tapi mereka yang mengenaliku. Aku tidak ingin tahu tentang orang-orang yang akan mati dan melupakanku suatu saat kelak.

Namun Aiden berbeda. Dia sulit untuk dilupakan dan diabaikan begitu saja.

Kenapa aku jadi seperti ini sih? Batinku.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang