2. Cowok itu

8.6K 644 39
                                    

Aku sudah berumur seribu tahun sekarang. Dan tepat hari ini, aku masuk ke sekolah menengah atas lagi untuk sekian kalinya.

Reline senior high school, itulah sekolah ku sekarang. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Beruntungnya aku masuk di tahun pertama. Sama seperti anak-anak lainnya.

Hari itu aku mengambil kelas sejarah dunia. Karena hidupku sudah melewati banyak sejarah.

Aku duduk di meja ketiga dari depan. Tak jauh dariku, beberapa anak perempuan mulai saling memuji kuku mereka. Aku memutar mataku. Sungguh kekanakkan. Yah kurasa aku terlalu tua untuk saling memuji kuku ku dengan anak-anak perempuan.

Aku duduk sendiri seperti biasa. Lalu kami maju satu persatu. Setelah itu kami mulai belajar.

"Namaku Mrs. Nandy aku guru sejarah dunia kalian mulai sekarang," katanya.

Ketika Mrs. Nandy memulai pembelajaran tiba-tiba pintu terpental terbuka. Disitulah dia, seorang anak cowok yang berambut pirang kecoklatan yang acak-acakkan.

"Maafkan saya terlambat," katanya kepada Mrs. Nandy.

"Duduklah. Kau kumaafkan karena ini hari pertamamu," sepertinya Mrs. Nandy ingin cepat-cepat mengajar.

Cowok itu mulai mencari tempat duduk dan berjalan kearahku. Dia duduk disampingku sambil mengulurkan tangannya kepadaku dengan cengirannya yang menggoda.

"Aiden Arkwright. Senang mengenalmu dan kau?" kata Aiden, cengirannya semakin melebar.

Ya ampun matanya biru sekali!

"Ellisa Vallerie. Aku juga senang berkenalan denganmu," aku tersenyum singkat kepada Aiden.

Senyum yang kulatih bertahun-tahun. Senyum yang kulatih seakan-akan aku senang. Tapi entah mengapa senyum kali ini terasa tulus. Apa yang terjadi padaku, padahal aku sudah lama sekali tidak tersenyum seperti ini. Kusentuh dadaku. Ya ampun perasaan apa ini.

Aku langsung mengalihkan perhatian ke depan. Aku tidak ingin menatap Aiden. Kubuka buku sejarah duniaku. Mencatat, membaca, mencoret buku.

Apapun, selain melihat ke arah Aiden.

"Hei, Lisa. Boleh kupinjam alat tulismu? Ternyata aku tidak membawa apapun," bisik Aiden.

"Sudah kuduga. Ambil saja," aku tetap tidak melihat kearah Aiden. Hanya menyodorkan tempat pensilku.

Aiden mengambilnya sambil menggumamkan terima kasih kepadaku. Tidak, ini semua tidak normal. Mengapa aku tidak ingin menatap kearahnya. Normalnya aku adalah tidak pernah merasakan hal seperti ini.

Ketika bel berdering, dengan secepat mungkin aku melesat keluar dari kelasku. Lorong langsung dipenuhi dengan orang-orang. Entah mengapa, walaupun aku sudah sering berganti-ganti sekolah tetap saja keramaian ini membuatku nyaman. Disaat seperti inilah aku tidak terlihat oleh siapapun.

"Hei Lisa," kata seseorang tepat dibelakangku. Anehnya aku tahu itu adalah suara Aiden. Aku langsung memutar tubuhku dan tertubruk kerumunan. Saat kupikir aku akan terjerembap ke lantai yang dingin tapi yang terjadi malah Aiden menangkap pinggangku.

"Kau tidak apa-apa? Kau terlihat tidak baik," Aiden masih memegangiku. Aku langsung melepaskan diri dari Aiden dan berkata aku baik-baik saja.

Sebenarnya kau lah yang membuatku tidak baik-baik saja, Aiden. Kataku dalam hati.

"Kau ada kelas apa lagi sehabis ini?" tanya Aiden. Well, memangnya aku harus memberi semua jadwalku kepadanya.

"Aku ada kelas bahasa perancis sehabis ini," kataku sambil membuka lokerku.

Aku tetap membelakangi Aiden. Aku pura-pura mengambil apapun di loker supaya Aiden cepat meninggalkanku. Tapi dia tidak meninggalkanku, Aiden terus menungguku. Akhirnya aku dibuat bertanya-tanya.

"Apa yang kau lakukan, hah?" ujarku sambil berputar kearahnya dan melipat tanganku. Aiden menjulang tinggi di depanku, bahkan tinggiku belum mencapai bahunya. Dari balik kausnya terlihat otot nya menimbul.
Aku langsung mundur beberapa langkah.

"Apa yang kulakukan? Aku menunggumu, Lisa. Kau bilang sehabis ini kau ada kelas perancis kan? Aku juga ada kelas perancis sehabis ini. Jadi kupikir kenapa kita tidak bareng saja," percuma saja berdebat dengan Aiden, aku sama sekali tidak tertarik. Apakah dia ingin menjadi temanku? Tidak.

Tidak boleh.

Selama dua puluh tahun ini aku tidak pernah membuat seseorang mati karena mencintaiku lagi. Aku jelas tidak ingin melakukan itu lagi.

"Hhh Aiden kurasa...."

"Kurasa aku juga ingin bareng denganmu juga. Baiklah. Ayo," kata Aiden memotong ucapanku.

Aiden langsung menggandeng tanganku menuju ke kelas bahasa perancis.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang