4. Not a normal girl

5.3K 487 10
                                    

"Siapa kau sebenarnya?"

Pertanyaan Aiden sungguh membuatku terkejut.

Aku langsung mendongak wajahnya. Matanya yang biru sedang menatapku dengan lekat.

"Apa maksudmu?" tanyaku. Haruskah aku memberitahunya tentang ku. Aku tidak pernah memberitahu rahasiaku ini.

"Kau. Kau sangat berbeda, Lisa. Perempuan normal tidak akan melawan cowok gila." Aiden terlihat serius. Ia menyilangkan tangan di depan dada.

Ohh untunglah aku kira dia akan menanyakan tentang hal lain.

Aku langsung berpura-pura menjadi cewek yang menyebalkan—dan menantang. Lalu menyilangkan tangan di depan dada, seperti yang Aiden lakukan.

"Ya. Aku memang tidak normal, lalu kenapa? Aku tidak akan membiarkan cowok seperti itu menyentuhku."

Aiden tersenyum. Senyum yang dapat membuat musim dingin paling dingin sekalipun menjadi hangat seketika.

Senyum yang tulus.

Aku yakin aku tidak pernah tersenyum seperti itu. Walaupun sudah kulatih bertahun-tahun.

"Gadis pintar." Aiden memujiku.

Memangnya aku anak anjing dipuji anak pintar. Dasar cowok bodoh! Batinku.

Aku baru jalan beberapa menit ketika hujan turun seketika. Kupakai tudung hoodie ku.

Tiba-tiba Aiden menarik tanganku untuk lari menuju parkiran. Aiden membuka pintu mobil jeep nya. Hujan semakin deras hingga hoodie ku mulai basah terkena air hujan.

Aiden menyuruhku masuk. Aku duduk di samping kursi pengemudi.
Dia mulai menyalakan penghangat. Sepertinya Aiden melihatku menggigil karena dia mengambil selimut tipis dari jok belakangnya.

"Pakai ini saja. Lepas saja hoodie mu." Aiden mengulurkan selimut itu.

Selimutnya beraroma laki-laki dan pelembut pakaian. Setidaknya ini bersih.

Kuambil selimut itu dari aiden dan melepas hoodie ku. Aku memakai sweater abu-abu didalamnya. Tapi untungnya tidak terlalu basah terkena hujan.

Dengan gerakan yang tiba-tiba Aiden mendekat kepadaku. Sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. Dia melakukan itu seakan ingin menciumku. Aku berpaling.

"Aku hanya ingin memakaikan mu seat belt, nona." Aiden tersenyum. Disaat seperti inilah aku sangat bersyukur tidak mudah tersipu. Karena kalau tidak pasti pipi ku sudah merah padam.

Selama perjalanan kami tidak saling bicara. Aku pun heran Aiden tidak bicara apapun. Hanya suara hujan yang menimpa atap mobil yang terdengar. Aku terus memandang keluar jendela dan Aiden terus fokus menyetir.

Setelah beberapa menit dalam keheningan, akhirnya aku memecah keheningan. "Aiden kurasa jalan rumahku bukan kesini," kataku.

Aiden menoleh kepadaku. "Aku ingin mengajakmu ke kafe. Ada kafe yang makanannya enak di dekat sini."

Lalu hening lagi.

"Maafkan aku," ujar Aiden kepadaku saat dia membelokkan mobilnya ke tikungan sambil terus fokus menyetir.

Aku menoleh ke arahnya. Bingung. Mengapa dia minta maaf dan untuk apa.

"Ini semua gara-gara aku. Coba saja aku tidak mengajakmu ikut atau menghilangkan ponselku. Kau pasti tidak akan terkena masalah." Aiden tetap menyetir dan memukul setirnya. "Jack sialan!" makinya.

Aku melongo. Untungnya hanya sekejap karena digantikan oleh pikiranku.

Bagaimana ini aku tidak pernah melatih diri untuk minta maaf atau mengatakan—ini semua bukan salahmu. Aku tidak pernah melakukannya.

"Hhh aku...ehmm tidak hhh..." aku ingin sekali bicara—ini semua bukan salahmu. Atau hanya sekedar basa-basi. Tapi kata-kata itu tidak bisa keluar dari mulutku.

"Biasa saja," akhirnya hanya itulah yang bisa ku katakan dari mulutku. Biasa saja. Aku memang sepenuhnya aneh.

Aiden berjengit. Pasti dia menganggapku aneh, karena dia pasti berpikir bagaimana bisa aku menganggap semua ini biasa saja.

Setelah itu kami tak bicara apa-apa lagi sampai kami tiba di kafe.

***

Fun kafe's.

Nama yang norak sekali bagi ku. Tapi ketika aku dan Aiden masuk, kafe ini tidak senorak namanya. Cukup nyaman untuk saling bercengkrama dan mengerjakan tugas. Mungkin aku akan kesini lagi kapan-kapan.

Mungkin.

Aiden memilih tempat duduk yang ada di sudut. "Kau ingin pesan apa?" tanyanya kepadaku. Kuambil daftar menu yang ada di meja.

"Hot chocolate premium saja." jawabku sambil memberikan menunya ke Aiden.

Aiden memesan pesanan kami dengan melambaikan tangan ke pelayan. Pelayan itu mencatat pesanan kami, lalu pergi. Kami hanya diam sampai pelayan itu kembali datang untuk mengantar pesanan kami.

Aku meneguk hot chocolate premium ku dan sangat bersyukur tadi aku memesan ini. Tubuhku langsung terasa lebih hangat.

Well, this situation it really awkward.

Kami hanya saling meminum minuman kami. Bahkan kami tak saling menatap.

Kami takut ketika kami saling bertatapan akan semakin membuat keadaan menjadi lebih canggung.

Hingga akhirnya aku yang pertama kali bicara. "Lupakan saja." Aku menatap Aiden.

"Lupakan apa?" Aiden balik menatapku.

"Kau tidak harus menyesalinya." Aku mengatakannya setenang mungkin.

Aiden menggeleng. Apakah dia benar-benar segitu menyesalnya? "Baiklah Lisa, lakukan sekarang," pikirku. Katakan bahwa dia harus menjauhimu atau membuatnya tidak menyukaimu lagi.

Tapi sebelum aku mengatakan apapun tiba-tiba petir menyambar tiang listrik di depan pakiran kafe hingga terbakar.

Oh tidak! Jangan sekarang.

-
-
-

Vote dan komen ya. Soalnya itu bikin aku semangat untuk nulis.

Thanks

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang