8. Cafe (repost)

4.2K 392 20
                                    

Iya gue tau lagi hiatus.
Tapi gk papa lah. Kangen ngetik.

Ini gue repost soalnya ceritanya ke potong. Iya gk sih? Maaf ya

----------------------

Tyler tertawa.

Aku mengerutkan kening ku.

"Kenapa kau tertawa?"

"Kau...kau bilang kau hampir memukul cowok di pesta homecoming? Ternyata cewek itu kamu," Tyler tertawa lagi.

"Apa salahnya ingin memukul cowok kurang ajar? Dan lagipula hanya hampir, aku tidak benar-benar melakukannya. Dan apa maksudnya aku cewek itu?" aku menguncir rambutku.

"Kau benar-benar kaku, Lisa. Kau..." Tyler ingin tertawa lagi tapi menahannya. "Kau tidak pernah tahu caranya hidup abadi apa? Kau itu cewek yang dibicarakan semua orang di sekolah," kali ini dia tidak menahan tawanya.

"Sudahlah. Makan saja panekuk mu," aku menyodorkan panekuk nya yang dari tadi tidak sentuh karena menertawai ku.

"Jangan marah. Ups! Kau tidak bisa marah ya?!" Tyler selalu menggodaku.

"Aku bisa marah! Hanya saja aku hampir tidak pernah marah. Aku hanya tidak bisa merasakan kebahagiaan dan kesedihan, jika kau belum tahu akan hal itu," aku cemberut, pura-pura marah.

Dia itu sama sepertiku, hanya saja karena dia demon dia bisa merasakan kebahagiaan ataupun kesedihan. Dia hanya tidak bisa mencintai seseorang dan sama sepertiku, dia membuat mati orang yang mencintainya.

Kata Tyler itu adalah kelebihan-kelebihan lainnya sebagai demon.

Entah mengapa aku jadi iri padanya. Setidaknya dia bisa bahagia ataupun sedih.

Ya ampun! Sekarang aku mulai iri dengan Tyler.

Akhir-akhir ini aku dekat dengan Tyler. Kami berjalan-jalan ke mall, kafe, dan tempat-tempat yang menurut Tyler seru.

Dan untuk hari ini kami ke kafe yang ada di pinggir jalan. Kafe ini mempunyai kaca besar di sekeliling bangku nya. Cukup nyaman bagiku.

Aku memakan es krim ku sambil memandang keluar jendela.

Banyak orang yang berlalu lalang. Ada orang yang berjalan sambil terus-terusan melihat jam tangannya, ada ibu yang sedang jalan-jalan dengan anaknya.

Pokoknya semuanya terlihat sibuk.

Aku suka bingung dengan orang-orang yang seperti itu. Apa yang mereka cari di dunia ini? Padahal mereka tidak hidup selamanya.

"Hey Lisa! Kamu hobi melamun ya?" Tyler mengejutkan ku.

"Hah? Tidak. Aku hanya senang menatap keluar jendela. Aku tidak melamun," ku makan es krim ku lagi.

"Lisa kau itu cantik," kata Tyler tiba-tiba.

"Apa?"

"Yahh menurutku kau bisa menikmati dunia. Kau lumayan cantik, rambutmu yang coklat itu juga menarik. Hanya saja gaya berpakaian mu yang harus diperbaiki sedikit," Tyler nyengir. Dia melihati pakaian yang ku kenakan.

"Memangnya apa yang salah dengan gaya berpakaian ku?" aku menunduk menatap pakaian yang ku kenakan. "Tidak ada yang salah tuh. Lagipula untuk apa menikmati dunia ini jika kau tidak bisa merasa kebahagiaan ataupun kesedihan?"

Aku dan Tyler sering melakukan ini beberapa hari belakangan ini. Berbagi pengalaman ketika kami terasingkan, sikap kami pada tahun-tahun pertama mendapat kutukan.

Aku tidak pernah bercerita tentang orang-orang yang pernah mati karena ku. Aku tidak ingin membicarakan nya.

Sama sekali tidak.

"Kau tidak pernah punya teman dan menjauhi pesta. Kau pikir dengan menjauhi orang-orang kutukanmu akan berubah?" Tyler menatapku. Tidak ada kesan ingin bercanda di wajah nya sekarang.

"Aku serius Lisa," dia memegang tanganku.

Aku menatapnya.

"Oh ayolah. Kau kira itu semua menyenangkan? Aku tidak bisa merasakan apapun," aku melepaskan tanganku dari genggaman nya. "Kau kira kita bisa berteman? Kau ingat kan, bahwa kita tidak bisa saling mencintai?"

"Maksudku dalam pertemanan mereka saling mencintai kan? Cinta yang membuat mereka berteman dan bersama," aku mengatakan semua hal yang kupelajari tentang cinta selama ini.

Apa arti pertemanan? Apa itu cinta? Tapi tak pernah bisa benar-benar memahaminya.

Kali ini Tyler tertawa lebih keras lagi. Sepertinya dia sedang tidak waras. Tidak ada yang lucu pun tertawa.

Dasar aneh. Batinku.

"Kau pikir orang berteman karena cinta? Oh ayolah Lisa, kau kan sudah hidup di dunia ini cukup lama," dia menghapus air mata nya dengan punggung tangannya, karena tertawa dia jadi begini.

Aku menaikkan sebelah alisku.

Bingung.

"Dunia ini bukan zaman abad kerajaan kuno Lisa. Mereka berteman karena menginginkan sesuatu. Seperti barter kau tahu? Saling menguntungkan," Tyler melanjutkan.

Aku tahu ada orang yang berteman dengan seseorang karena bertaruh ataupun hanya memanfaatkan saja. Tapi itu hanya sebagian kecil saja kan?

Iyakan?

"Well aku tidak terlalu peduli dengan dunia yang terus ada perubahan ini. Tidak ada efek apapun padaku," jelasku.

"Terserah," akhirnya Tyler menyerah dan menyuap sendok terakhir panekuknya.

Aku pernah mencoba berteman sebelumnya. Agar aku tidak kesepian tapi dalam beberapa bulan kemudian terdengar bahwa teman-temanku bunuh diri.

Seharusnya aku tahu akan hal itu. Aku terlalu nyaman bersama mereka. Aku tahu bahwa mencintai seseorang tidaklah mudah dan butuh waktu. Tapi ternyata itu semua terjadi juga pada teman-temanku.

Jadi setelah sekian lama mungkin aku dan Tyler bisa menjadi teman. Walaupun aku tidak mempercayainya sama sekali.

"Lisa, ngomong-ngomong siapa cowok yang sering ada di dekatmu itu? Bukankah kau bilang tidak suka berteman?!" Tyler menatap jendela sekarang.

"Ohh dia. Namanya Aiden. Dia bukan temanku," aku menunduk.
Entah mengapa aku tidak suka membicarakan tentang Aiden kepada Tyler.

Rasanya seperti Tyler akan membunuh Aiden suatu saat. Rasanya seperti kau membicarakan suatu rahasia.

"Aiden, namanya. Baguslah dia bukan teman mu, karena sepertinya dia akan jadi calon korban mu yang selanjutnya," Tyler tersenyum. Jenis senyuman yang menyembunyikan sesuatu.

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan menjauhinya," sergahku.

"Tidak, Lisa. Itu sudah menjadi hal yang biasa. Kita membuat mereka mencintai kita dan kita juga membuat mereka mati."

Aku menelan ludah. Entah mengapa ketika mendengar Tyler membicarakan ini aku merasa benar-benar bodoh ingin berteman dengannya. Bagaimanapun dia tetap saja demon.

Aku merinding.

"Cukup Tyler, aku tidak ingin membicarakan ini. Aku akan mengurus urusanku sendiri," aku menatap matanya. Tidak ada keraguan pada diriku dan juga Tyler.

"Baiklah terserah padamu my lady. Hanya saja ketika aku melihatnya menatap ku sebelum memukulku dia terlihat marah. Ya aku tahu dia marah, hanya saja jenis marah yang tulus. Aneh memang. Dia terlihat sangat menghormatimu," Tyler memicingkan mata keluar jendela. "Cowok sopan memang selalu banyak penggemar."

Tyler tersenyum. "Kurasa cewek demon pun tertarik padanya."

Aku mengikuti arah Tyler melihat.

Disanalah Aiden. Bersama perempuan yang berambut hitam. Cewek itu menawarkan minuman dan Aiden menolaknya.

Tapi cewek itu malah duduk di samping Aiden.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang