11. Forever alone

3.4K 318 3
                                    

14 juni 2016.

------------------

Lalu kulihat seonggok tubuh di depan kaca mobilku.

Tergeletak begitu saja dengan berlumuran darah diseluruh tubuhnya. Tidak bergerak ataupun bernapas.

Tyler.

Aku berusaha bernapas. Rasanya aku seperti tercekik. Seperti ada asap yang memenuhi paru-paruku.

Akhirnya telingaku sudah tidak berdenging.

Aiden membantuku keluar dari mobil. Aku terengah-engah, seakan-akan habis lari seribu mil jauhnya.

"Lisa, bertahanlah. Aku akan mencari pertolongan."

Aiden merogoh sakunya. Sepertinya dia mencari ponselnya. "Sial. Aku meninggalkan ponselku dirumah," makinya.

Aku tidak peduli jika tidak ada yang menolong kami. Aku yakin kami tidak akan mati karena hanya luka serpihan kaca. Lagipula aku tidak takut mati. Daripada memikirkan diriku aku malahan memikirkan Tyler.

Aku beralih kedepan mobilku. Aku harus melihat bahwa itu benar-benar Tyler.

Ketika kulihat ternyata memang Tyler yang tergeletak disana, aku panik lagi. Orang yang kukira bisa menjadi temanku baru saja mati dihadapanku.

"Aku sudah memeriksanya. Tapi dia sudah mati sebelum bisa kuselamatkan. Maafkan aku, Lisa."

Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku panik. Aku tidak mengerti. Ini semua diluar kendaliku, akal ku, dan kemampuanku.

Belum pernah aku seperti ini.

"Lisa, aku tahu pikiranmu sedang kacau. Tapi kita harus mencari pertolongan. Kau juga terluka," Aiden menyentuh lenganku dengan lembut. Aku tak menolak. Kubiarkan Aiden menuntunku ke tepi jalan.

Aku tetap tertunduk sementara Aiden mencari pertolongan jika ada mobil yang lewat. Jalanan ini memang tidak sering dilalui kendaraan.

Aku tidak tahu apakah aku akan sedih atau marah disaat seperti ini jika aku bisa. Atau mungkin keduanya. Manusia normal sulit ditebak perasaannya kan? Tapi aku bukan manusia normal.

Di pinggir jalan yang satu-satunya penerangan dari lampu jalan yang remang-remang ini, aku baru tersadar bahwa Aiden terluka juga. Tangannya terdapat beberapa goresan. Dia sama kacau nya denganku. Bahkan aku baru sadar bahwa jalannya pun agak terpincang-pincang. Mungkin karena lukanya yang tadi pagi juga belum benar-benar sembuh dan ditambah luka baru gara-gara ini semua.

Aku tertawa. Tawa yang tidak ada unsur humor di dalamnya. Tawa yang melengking dan hampa.

Aiden bingung melihatku. Ketika aku melihat wajahnya aku tertawa semakin keras.

Aku pasti sangat terlihat aneh.

"Lisa, kau kenapa?" wajah Aiden terlihat dengan penuh tanda tanya. Seakan-akan aku baru saja gila seketika.

Aku berusaha berhenti tertawa. "Sebentar," tarik napas. "Ini semua sangat lucu."

"Apa yang lucu? Tidak ada yang lucu, Lisa," Aiden mengguncang-guncang bahuku. Kutepis dengan pelan. Aku tidak punya tenaga.

"Ini semua lucu Aiden," jeda "Dua orang remaja yang penuh dengan luka dan berlumuran darah baru saja menabrak seorang remaja juga, yang tak lain teman satu sekolahnya."

"Sepertinya kecelakaan ini membuatmu gegar otak, Liz," Aiden membenarkan rambutnya yang acak-acakkan.

Aku tertawa lagi yang kemudian menjadi jeritan.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang