"Oh," Kiba menepis tangan itu, melirik ke arah Naruto yang sedari tadi memandang jendela. "Apa kau melihat permenku?"

Pemuda itu menggeleng kepala dengan cepat, bahkan tidak berani menatap kedua bola mata di sana. Kiba memicing ̶ ̶ mengintimidasi dengan apa yang baru saja ia lihat. Ini tidak seperti Naruto yang ia kenal. "Mencurigakan!"

"Apa yang sedang lakukan?" Shikamaru meletakkan tas di atas, lalu memandang teman-temannya yang bermuram durja. Ia mengamati kembali, tersenyum simpul ketikan memahami situasi. "Aku melihatnya," mengambil duduk kemudian, namun tidak menghadap teman-temannya. "Naruto mengambil permen itu dan memberikannya pada Hinata."

"Kau!" geram, Kiba menarik kerah baju di sana. Naruto tidak dapat berdalih untuk membela diri. Ini memang kesalahannya ̶ ̶ mengambil sesuatu tanpa izin. "Aku tahu kau sedang mabuk asmara. Apa kau pikir mencuri itu terlihat keren, demi menyenangkan hati orang yang kau suka?"

Pemuda itu benar-benar marah padanya, bahkan tidak ada celah bagi Naruto untuk bersuara. Kepalanya pusing karena Kiba selalu menggoyang tubuhnya.

"Kembalikan permen itu sekarang, bodoh!"

"Gila!" selanya. Naruto menepis tangan itu. Tidak mungkin juga dia meminta kembali permen tersebut pada Hinata. "Tidak mungkin aku meminta kembali permen itu. Kita bisa bicara baik-baik, oke?" ia menelan ludah susah payah saat melihat temannya benar-benar mengamuk.

"Baik, setelah aku puas memukulmu."

"Itu tidak adil!"

"Apa mencuri itu adil?" pemuda pirang itu tersentak. Tidak ada celah untuk kabur selain menerima pukulan yang siap dilayangkan padanya.

◊◊◊◊

Dari balik jendela, ia bisa melihat beberapa helai daun jatuh melambat di atas tanah. Sebentar lagi akan memasuki musim gugur. Ia tersenyum simpul, namun tidak berapa lama. Mengingat musim gugur, biasanya di saat seperti ini adiknya suka mengumpulkan daun kering, dan menempelnya pada buku sebagai koleksi.

"Aku khawatir dia pergi sekolah sendirian." gumamnya.

Pandangan beralih ke atas lemari mini, terdapat sebuah vas dan bunga hidup di sana.

"Oh, aku pikir kau sedang tidur."

Sasuke membuang muka saat melihat gadis itu di depan pintu. Tidak mengindahkan saat Karin meletakkan apel, lalu mengambil duduk pada sofa. "Adikmu tidak bisa berhenti menangis saat itu." gadis itu membuka suara, meskipun tidak ada respons. Namun ia tahu kalau pemuda tersebut mendengarkannya.

"Aku bosan," ia menengadah, memandang langit kamar. "Karena itu aku memilih datang ke mari. Namun," kembali memandang sembari tersenyum simpul. "Kehadiranku sepertinya memang tidak diharapkan ya ...."

"Katakan saja apa yang ingin kau katakan."

"Sinis sekali," Karin mendekat, mengambil duduk pada kursi di samping ranjang pasien. Tangannya lalu mengambil apel untuk dikupas. "Sifatmu tidak pernah berubah, keras kepala dan terus terang."

"Kau tidak perlu membahas yang lalu, karena aku tidak lagi tinggal di sana."

Gadis itu menggigit apel, terlihat santai menanggapi. Tahu bagaimana sifat itu terkadang menyebalkan. Sasuke terkadang tidak mau menurunkan egonya. Meskipun terkadang sulit menghadapi saat mereka berbeda pendapat, tetapi Karin selalu memiliki cara untuk menanganinya ̶ ̶ berbicara lembut dan memiliki jeda tersendiri.

"Hanya ingin memperbaiki sesuatu agar tidak meninggalkan bekas. Perpisahan kita tidak secara baik-baik, mungkin itu yang terkadang mengganggu pikiranku. Kau tahu? Itu terkadang sangat menyebalkan saat pikiranmu dialihkan ke arah masa lalu. Padahal aku bersumpah, diriku yang lama tidak lagi tinggal di sana."

Pemuda itu melirik dari ujung matanya. Ia tidak menghindar saat melakukan kontak mata. Inilah yang membuat Sasuke jatuh cinta pada gadis itu dahulu, pandai membolak-balikkan isi hatinya, memahami dengan baik dirinya yang memiliki sifat yang dingin. Meskipun terkadang gadis itu menyebalkan karena selalu terus terang menunjukkan perasaan.

"Untuk hal yang lalu ... maafkan aku," akhirnya kalimat itu keluar, berhasil mengalahkan rasa ego yang selama ini ditahan. "Tidak ada pilihan lain, kondisi adikku saat itu sangat buruk. Aku merasa dunia akan berakhir jika aku kehilangannya."

Karin menggeleng kepala. Hidung itu bahkan memerah ketika mendengar permintaan maaf di sana. Ini membawanya kembali pada beberapa tahun yang lalu. Kepalanya terhantam oleh masa lalu sekarang, ia tidak mengeluh dan memilih menerima.

Tepat pada hari ke-100 mereka jadian, Sasuke tidak menepati janjinya untuk menghabiskan waktu bersama. Di saat hujan turun, Karin masih dengan sabar menunggu kehadiran pemuda itu untuk datang. Namun, hampir lima jam ia menunggu, tidak membuahkan hasil. Pesan bahkan tidak dibalas. Di sisi lain, Sasuke tengah gundah ketika kabar buruk ia terima dari pamannya. Padahal ia sudah setengah jalan menuju tempat yang dijanjikan. Tempat kafe biasa ia bekerja bahkan didekorasi demi merayakan hari jadi ke-100 mereka.

Ia mendapat kabar kalau adiknya buta ̶ ̶ akibat terlalu lama melihat cahaya. Kondisi kulit memerah dan berbintik. Bahkan tidak bisa keluar dengan sembarang, pamannya memutuskan untuk membiarkan Hinata di rumah sakit selama beberapa bulan.

Dalam kondisi tengah gundah, meskipun terlambat memberi tahu. Sasuke kembali ke tempat awal janjinya pertemuan mereka. Karin tidak lagi tersenyum, gadis itu bermuram durja, pula tatapan mata yang tidak biasa. Gadis itu tengah marah, tetapi emosi itu disembunyikan dengan baik. Selama ini menjalani hubungan, Sasuke selalu memiliki alasan ketika mereka memiliki janji. Karin tidak bisa marah saat mengetahui Hinata memiliki penyakit langka ̶ ̶ xeroderma dan fotofobia.

Hampir semua waktu yang dihabiskan oleh Sasuke hanya bersama saudara kembarnya, daripada kekasihnya. Karin tidak cemburu, hanya saja merasa lelah jika menjalani hubungan seperti ini.

Sasuke tersenyum mengingat hal dulu, sadar bahwa bagaimana ia saat itu tidak bisa membagi waktu. Tahu bahwa waktu yang ia habiskan lebih banyak bersama saudara kembar daripada kekasihnya. Bohong bahwa ia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri hubungan, tetapi ada sesuatu yang menahannya untuk tidak melakukan tersebut.

"Maaf jika aku pernah memberikan pertanyaan aneh padamu."

Pemuda itu memandang kedua bola mata di sana. "Hal yang wajar jika kau memberikan pertanyaan seperti itu padaku, setelah kepergianmu aku sadar ̶ ̶ banyak sekali kesalahan yang aku lakukan."

"Daripada itu ... aku pergi tanpa memberitahu padamu. Aku tidak menyangkan jika hari itu merupakan pertemuan terakhir kita. Ya ... tidak ada pilihan lain karena ibuku menikah lagi."

Ada alasan lain yang membuat Sasuke marah ̶ ̶ Karin yang pergi tanpa memberitahu apa pun padanya. Ia sempat berpikir untuk memperbaiki apa yang telah ia lakukan, namun sepertinya ada jalan lain yang terjadi.

"Apa kau ingin kita memperbaikinya, setelah kita memilih berpisah?"

Gadis itu tersenyum memandang. Melakukan kontak mata tanpa ada yang memilih menghindar.

"Kita bertemu kembali dengan perasaan yang berbeda," nada suara itu terdengar lirih. "Aku memang tidak bisa melupakanmu, bukan berarti aku memiliki perasaan padamu. Hanya saja, kita berpisah dengan cara yang tidak baik. Sehingga sulit bagiku untuk melupakanmu, karena masih ada perasaan bersalah yang tertinggal. Aku pikir, kau juga seperti itu. Tidak perlu memaksa, saat hatimu telah terisi oleh orang lain."

"Kita berdua merasakan hal yang sama. Sama-sama dihantui oleh perasaan bersalah, bukan lagi dua orang yang saling memiliki rasa."

Sasuke menunduk, sekarang dia paham mengapa begitu sulit mengatur perasaannya ̶ ̶ ada emosi yang menyulut saat mengingat mantan kekasih. Tetapi hari ini ia merasa lega ̶ ̶ tidak ada lagi perasaan menyebalkan itu. Bahkan, memori lama itu perlahan memudar seiiring Karin melangkah keluar. Ini waktunya mereka melupakan semuanya. Ada hari esok yang harus dijalani, namun tidak dengan perasaan bersalah yang menyelimuti.

"Sampai jumpa." gadis itu beranjak dari kursinya, pemuda itu tidak menahan dan memilih bergeming. Ada perasaan lega yang terselip. Karin benar-benar merasa tenang tanpa ada beban yang harus ditanggung. Kalau seperti ini ... aku bisa pergi tanpa harus kembali. Karena dia, akan benar-benar tinggal bersama dengan keluarga barunya di Jerman. 

Sweet TwinsWhere stories live. Discover now