57 - Able

2.5K 256 31
                                    

Justin POV

"Such a great show tonight, buddy!"ujar Rory menepuk bahu gue. Gue tersenyum kecil dan mengangguk. Tangan gue mengambil handuk yang ada di tangan Allison.

"Kapan kita berangkat?"tanya gue mengusap wajah gue dengan handuk.

"Tumben banget lo nanya,"kekeh Allison.

"Kayanya sih nanti subuh, lo masih ada waktu buat ke club, tenang aja."lanjut Allison memberikan gue pakaian ganti. Gue mengangguk dan berjalan ke kamar mandi. Pikiran gue melayang ke ucapan Allison, sebegitu seringnya gue ke club sampai dia bisa ngomong kaya gitu? Setelah selesai mandi, gue langsung berjalan ke kamar hotel. Gue benar-benar butuh istirahat.

"Lo mau kemana, Just?"tanya Maejor yang entah muncul darimana.

"Gue mau balik ke kamar hotel."

"Lo sehat?"tanya Maejor bergidik ngeri. Gue mengangguk tapi Maejor langsung menempelkan punggung tangannya di kening gue.

"Apa-apaan sih lo!"

"Sejak kapan seorang Justin Bieber udah balik ke kamar hotel jam 9?"tanyanya. Gue mengangkat bahu, sama sekali ngga berniat untuk membalas ucapan Maejor.

"Terserah lo dah. Gue mau ke club, kalo lo mau ikut, nyusul aja bareng Evert,"jelas Maejor.

"Whatever, Brandon,"ujar gue dan kepala gue mendapat pukulan dari Maejor.

"Dude! Itu kan nama lo, bego. Gue tuntut lo kalo gue geger otak,"gerutu gue mengusap kepala gue. Maejor hanya tertawa dan berlari menjauh. Gue membuka kamar hotel dan segera merebahkan badan gue di atas kasur. Jeez, gue memejamkan mata gue untuk tidur. Beberapa malam terakhir ini gue selalu kesulitan buat tidur. Kalaupun gue bisa, paling hanya bisa bertahan beberapa jam. Dalam tidur gue, gue sering terbangun karena memimpikan Ari. Memimpikan saat-saat dia hampir dilecehkan dan disakiti sama papparazzi sialan itu. Dan mimpi itu terasa benar-benar nyata. Apalagi mengetahui fakta kalau gue adalah penyebabnya membuat gue makin membenci diri gue sendiri.

Tangan gue meraih ponsel gue. Gue bukan anak remaja dungu yang sok-sok galau apa dia harus duluan menelepon pacarnya atau tidak. Ralat, mantan pacar. Kata mantan memang merubah segalanya. Gue udah mencoba beberapa kali menelepon Ari, tapi dia ngga pernah menjawabnya. Mungkin dia memang butuh waktu sendiri. Pertemuan gue dengan Ari 4 hari yang lalu seperti menjadi pertemuan terakhir gue dengan Ari. Gue bahkan ngga pernah bicara dengan dia sama sekali. Miris, emang.

"Damn."kutuk gue dan gue pun bangkit berdiri. Gue mengambil gitar yang kebetulan gue bawa ke kamar tadi. Kalau gue ngga bisa tidur, setidaknya gue bisa melakukan hal yang berguna. Gue menaruh gitar tersebut di pangkuan gue dan mulai memainkannya.

***

Teriakan di arena ini tidak pernah berhenti, justru semakin keras setiap menitnya. Gue menggapai beberapa tangan Beliebers yang berada di dekat stage dan melihat mereka menangis dan menggenggam erat tangan gue.

Intro lagu No Pressure pun mulai dimainkan dan gue berjalan mundur dari tepi stage.

You ain't gotta answer none of my calls
I'm believing you'll pick up one day

Gue meraih ponsel gue dan mencari kontak Ari. Ini mungkin kesekian kalinya gue melakukan ini dan tanpa jawaban sama sekali. Tapi gue harus positive thinking. Mungkin tadi dia sibuk dan sekarang dia udah ngga sibuk lagi. Gue tahu gue cuma 'mantan' dia. At least kita bisa memulai lagi sebagai teman, kan? Gue ngga bisa menahan betapa rindunya gue akan suara dia. Ibu jari gue menekan tombol call dan menunggu Ari menjawab teleponnya.

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

Ari memang lagi sibuk. Gue yakin itu. Dia lagi di meniti kariernya jadi gue ngga bisa menahan itu. Well... Setidaknya gue tahu rasanya gimana saat-saat gue mengabaikan Ari, saat-saat gue harus menolak panggilan dia karena gue 'sibuk'. Gue yakin suatu hari dia bakal menjawab panggilan telepon gue.

Text ➡ j.b & a.gTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang