52 - Ignored

2K 254 27
                                    

Ariana POV

"Iya-iya Lex. See you!"ujar gue mematikan sambungan telepon gue dengan Lexie. Gue mengambil kunci mobil dan berjalan turun. Langkah semangat gue mulai melambat melihat Mom, seorang pria yang berumur 40-an, dan... Dad. Mereka duduk berhadap-hadapan di sofa. Sepertinya masalah serius. Begitu gue meletakkan kaki gue di anak tangga yang terakhir, ketiga orang tersebut menatap gue.

"Ada apa, Mom?"tanya gue memberi sinyal ke Mom gue untuk memberitahu gue siapa pria ini.

"Ada yang harus kita bicarakan."kata Mom mengarahkan gue untuk duduk di sebelahnya. Gue membelakakkan mata gue, dan Mom mengerti apa maksud gue. Gue ngga mau duduk dekat dengan seorang yang hampir menghancurkan masa remaja gue. Mom menatap gue tajam. Oke, berarti gue ngga bisa membantah Mom dan itu artinya ini masalah serius. Gue mendengus dan duduk di sebelah Mom.

Pria tua itu mulai berbicara, "Jadi, bagaimana Nyonya Grande?"tanyanya.

"Bagaimana apanya?"tanya gue menuntut penjelasan. Pria ini menghembuskan nafasnya dengan sabar.

"Saya akan menjelaskannya dari awal."ujarnya. Gue menunggu pria yang tidak gue ketahui namanya ini berbicara.

"Makam Almarhum Frankie Grande-Butera harus dipindahkan."

Gue tercengang seketika mendengar satu kalimat itu.

"Kenapa?!"

"Tanah tempat almarhum dimakamkan adalah sah dimiliki oleh klien saya. Setelah diperiksa ulang, hak milik anda terhadap tanah tersebut palsu. Dan klien saya ini membutuhkan tanah ini untuk membuka investasi secepatnya."jelasnya yang membuat gue semakin kaget. Memindahkan makam Frankie? Kemana? Jangan harap dapat membeli tanah di kota metropolitan seperti ini dengan harga murah. Bahkan satu meter persegi pun harganya bisa menghabiskan beberapa juta. Gue memegang kepala gue dengan panik.

"Ta-tapi-"

"Begini, Nona. Klien saya telah memberi tawaran kebaikan yang sebenarnya tidak perlu diberikan mengingat bahwa tanah itu adalah milik klien saya baik sesudah maupun sebelum almarhum Frankie Grande-Butera dimakamkan. Tawarannya adalah, kami akan membantu proses pemindahannya tapi anda yang menentukan makamnya dipindahkan kemana dan hal-hal lainnya."jelas pria ini. Gue seketika melemas di tempat. Apa yang harus gue lakukan?

"Saya tahu ini berat tapi tolong segera hubungi saya untuk kelanjutan dari keputusan anda. Saya permisi,"ujarnya meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. Dia pergi meninggalkan gue, Mom, dan Dad dalam keadaan hening dan hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Kita bisa mencari tanah yang berada di ujung kota. Terakhir kali aku melihat bahwa disana terdapat sebuah lahan kosong,"usul Dad. Kenapa dia sok peduli?

"Baiklah, besok kita akan melihatnya,"timpal Mom setuju.

Dad kembali membuka mulut, "Aku bisa mengambil uang simpanan-"

"Tidak."

Bantahan gue membuat Mom dan Dad menoleh ke gue.

"Kakakku ngga akan mengambil sepeser pun uang dari tangan anda."ujar gue dengan dingin.

"Aku berhak. Dia masih anakku. Dia-"

"Namanya adalah Frankie James Grande. Bukan Frankie James Grande-Butera. Dan seingatku, anda sama sekali tidak pernah menganggapnya sebagai anak anda,"lanjut gue yang membuatnya terdiam. Gue sudah menduga bahwa dia ngga bisa menjawab apapun.

"Ari..."tegur Mom. Gue menolehkan kepala gue ke Mom dengan diam.

"Kalau kamu menolak bantuannya, kita bisa mendapat uang darimana?"lirih Mom.

"Aku punya tabungan. Mom juga punya tabungan. Kita bisa membeli tanah baru, Mom,"balas gue.

Mom menggeleng, "Itu ngga akan cukup, Ari."

"Kalian butuh bantuanku. Kumohon... Biarkan aku membantu..."mohon Dad. Gue menatapnya tajam.

"Tidak. Aku bahkan tidak tahu mengapa anda berada disini, jadi sebaiknya anda pergi sekarang juga."ujar gue.

"Aku tidak akan pergi sampai aku diperbolehkan membantu kalian."kata Dad keras kepala.

"Cepat pergi sebelum aku memanggil polisi."ucap gue dingin.

"Kenapa? Hah? Kenapa kamu benar-benar membenci Dad, Ari?"tanya Dad dengan sorot mata pilu. Gue ngga akan tertipu. Sudah cukup.

"Penyebabnya adalah anda sendiri."

"Kenapa? Karena aku menuduhmu sebagai pembunuh? Oke, aku tahu saat itu aku memang salah. Dan aku sudah berusaha beribu-ribu kali meminta maaf padamu."ujar Dad. Gue menatap Dad keji.

Dia akhirnya bangkit berdiri, "Terserah. Semuanya keputusan kalian. Tapi asal kalian tahu, nama Frankie masih Frankie James Grande-Butera dan statusku masih sebagai ayahnya. Kalau kalian berlama-lama mengabaikan bantuanku, aku tidak akan segan-segan membawa dia ke Manhattan dan kalian tidak akan pernah melihatku lagi."jelas Dad yang membuat gue tercengang. Sifat lamanya selalu ada bersamanya. Gue ngga akan bisa biarkan hal yang disebutnya itu terjadi. No. Ngga bisa. Ngga... Nafas gue mulai memburu.

"Kau tidak... Tidak akan melakukan itu."kata gue tertahan.

"Dia masih anakku. Aku masih ayahnya. Frankie James Grande-Butera."tegas Dad. Gue menatapnya tidak percaya sementara tangan gue mulai bergemetar hebat. Kenapa hal ini tetap terjadi? Kenapa gue belum bisa mengontrol semua trauma yang tersisa di kepala gue? Ini bahkan sudah hampir 5 tahun, tapi kenapa trauma ini masih ada? Trauma kehilangan seseorang. Trauma dikhianati. Trauma disakiti.

Dad menatap gue untuk terakhir kalinya sebelum dia berjalan ke pintu dan keluar. Gue terdiam menatap daun pintu. God... Help me. Gue terdiam tanpa ekspresi apapun. Pikiran gue buyar. Gue bahkan tidak tahu apa yang harus gue lakukan sekarang.

"Ari..."panggil Mom.

"Aku ingin sendiri, Mom."ujar gue meninggalkan Mom dan berjalan ke mobil gue. Ingat, lo kuat, Ari. Lo bisa melalui ini semua. Gue mulai menjalankan mobil ini dengan lambat karena gue bahkan tidak tahu gue harus kemana sekarang. Gue masih berusaha mengontrol nafas gue yang masih memburu dan jantung gue yang berdebar kencang. Gue mengambil iPhone gue. Gue sudah bisa menduga jawaban dari orang yang akan gue hubungi, tapi setidaknya gue mencoba.

"Halo?"

"Justin..."

"Kenapa, Ri?"

"Apa kita bisa ketemuan sekarang? I really... R-Really need someone right now."ujar gue mengigit bibir bawah gue.

"What happened?"

"Aku-"

"A-Ari sayang, aku harus pergi dulu. Ada meeting mendadak. Kita lanjutin bicara nanti, oke?"

"But..."

"Talk to you later, Ari."

Gue menjauhkan ponsel gue dari telinga gue dengan kecewa. Kenapa kecewa, Ari? Akhir-akhir ini kan lo udah terbiasa menerima perlakuan seperti ini. Gue tersenyum pahit.

Lexie : lo dimana?

Me : perubahan rencana. apa lo bisa temenin gue ke club sekarang?

***

Pria tampan itu melemparkan ponselnya ke arah seorang pria berumur 30-an yang untungnya bisa ditangkap olehnya.

"Puas lo? Puas lo ngelihat gue nyakitin cewe yang gue sayang?"ujar pria tampan itu dengan dingin.

"Just, lo tau kan-"

"Yayaya, whatever. Pada akhirnya gue selalu berakhir sebagai boneka mainan mereka doang."katanya tajam. Pria berambut blonde itu pun berjalan keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintu dengan keras, mendukung suasana tegang yang tercipta diantara kedua lelaki tersebut.

Pria itu sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya itu mengarahkannya ke sesuatu yang lebih fatal.

Text ➡ j.b & a.gWhere stories live. Discover now