11. Forever alone

Mulai dari awal
                                    

Aiden memelukku dangan erat. Aku diam. "Tidak apa. Semuanya akan baik-baik saja."

Jika saja Aiden tahu. Betapa sengsaranya aku saat ini. Batinku.

Aku balas memeluk Aiden. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya membiarkan Aiden memeluk ku semakin erat.

Aku tidak bisa mempunyai teman untuk selamanya lagi, kemungkinan besar. Walaupun aku tahu aku tidak akan bisa benar-benar berteman dengan Tyler, setidaknya kami bisa saling bersama.

Kini itu semua sia-sia.

Aku akan sendirian lagi. Untuk selamanya.

Sekali lagi dalam hidupku.

Aiden menepuk kepalaku dengan lembut. "Kau pasti bisa mengalami ini semua, Lisa. Kau bukan cewek kebanyakan kan?"

Tidak! Aku tidak bisa hidup sendirian lagi Aiden. Batinku.

Pupus sudah keinginanku ingin memberitahu Aiden akan hal yang sebenarnya.

Sudah memang takdirku hidup sendirian di dunia ini.

Dalam beberapa menit yang tak ada ujungnya itu, akhirnya Aiden melepaskan pelukannya dariku.

"Kita harus cari pertolongan. Apa kau bawa ponsel mu?" Aiden terlihat berhati-hati ketika bertanya padaku. Seakan-akan aku bisa menjerit lagi jika dia salah ucap.

"Ada di tasku. Aku tunggu disini saja," aku tak ingin mendekati mayat Tyler lagi.

Aiden bergumam 'baiklah' lalu mengambil ponselku.

"Aku akan telepon ambulans," Aiden bicara lewat telepon dan menjauh dariku. Samar-samar terdengar suara Aiden.

Aku mendekap tubuhku. Cuaca memang tidak mendukungku untuk memakai gaun selutut. "Sebentar lagi mereka kesini," ujar Aiden mendekatiku.

Aku hanya menoleh dan mengangguk.

"Kau agak menggigil," Aiden memakaikan jaketnya kepadaku. "Menjadi perempuan itu sulit ya," dia mengedipkan mata birunya. Mungkin dia berusaha mencairkan ketegangan ini.

Aku hanya menggumam "Terima kasih," dan aku tidak menolak jaket pemberian Aiden. Karena cuaca memang sangat tidak mendukung untuk berada diluar.

Aku menghembuskan napas panjang. Aiden melirikku beberapa kali.

Tapi aku tak mau menoleh kearahnya.

Hingga mobil ambulans datang dan membawa kami ke rumah sakit terdekat.

----------------

"Apakah itu sakit?" tanya seorang perawat sambil membalut lenganku yang luka. "Sedikit," kataku. Di kiri dada bajunya terukir nama 'Annathaile'.

"Nah, sekarang sudah selesai," ujarnya ramah. "Terima kasih," aku memikirkan apakah Aiden baik-baik saja atau apakah sebaiknya aku bertanya apakah Tyler benar-benar mati padanya.

Aku merasa aneh kalau Tyler dapat mati begitu saja. Padahal waktu itu ketika dia dibuat rahangnya patah oleh Aiden dia bisa sembuh. Kenapa sekarang tidak.

"Jika kau ingin bertemu pacarmu, dia diruang sebelah," Annathaile tersenyum. Seakan-akan dia bisa mendengar apa yang sedang kupikirkan.

"Terima kasih," gumamku. "Tapi dia bukan pacarku," Annathaile seperti ingin mengeluarkan kata 'oh' tapi tidak terdengar.

Aku keluar dari ruanganku dan keruangan Aiden. Ketika aku baru mau membuka pintu ruangan itu aku mendengar suara wanita yang terisak. Ibu Aiden.

Terdengar samar-samar percakapan mereka. "...sangat mencemaskanmu," isakan lagi. "Tidak apa...baik-baik saja," Aiden terdengar ingin menenangkan ibunya. Ini semua salahku. Salahku melibatkan Aiden dalam kehidupanku selama beberapa waktu belakangan ini.

"Lisa?" suara itu membuatku terkejut. Aku melihat ada Mr. Arkwright disana. Jangan-jangan dia dari tadi melihatku mendengarkan percakapan di dalam.

"Maafkan aku. Aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka," aku menunduk dan berusaha pergi dari sini.

"Ah tidak apa. Apakah kau sudah baikkan? Aku akan memanggil Aiden supaya dia bisa menemuimu."

"Ah tidak perlu. Saya rasa saya harus pulang. Saya ingin beristirahat," aku pergi menjauh. Tapi sepertinya Mr. Arkwright tetap memanggil Aiden untuk segera menemuiku.

"Lisa," Aiden melambaikan tangannya yang tidak terluka. "Mobilmu masih dibawa polisi, kalau mau kau bisa pulang bersama kami," aku tahu tak mungkin aku pulang jalan kaki dari sini. Jaraknya terlalu jauh. Tapi, ini juga sudah sangat larut, kemungkinan bis sudah tidak lewat lagi. Tapi aku tidak ingin dekat dengan Aiden dan keluarganya lagi.

Seandainya saja aku punya teman yang bisa kuhubungi. Tapi teman satu-satunya baru saja mati tertabrak. Ironis sekali.

"Baiklah, jika itu tidak merepotkanmu," ujarku. "Tentu saja tidak merepotkan."

Di dalam mobil mini van milik keluarga Aiden ini sangatlah canggung. Semua orang masih merasa terkejut akan kejadian yang terjadi padaku dan Aiden. Bahkan ibu Aiden tidak bicara apapun.

-------------------

"Terima kasih sudah mengantarku," aku mengatakan itu untuk orang tua Aiden. Mereka tersenyum.

Aiden mengantarku sampai depan pintu sedangkan orang tuanya menunggu di dalam mobil.

"Maafkan aku," Aiden terlihat terkejut sekaligus bingung mendengar ucapanku. "Dan terima kaih untuk semuanya," itu benar. Karena Aiden aku bisa merasa kebahagiaan bersama keluarga walaupun hanya sebentar.

"Kau tidak perlu berterima kasih, Liz," Aiden condong ke arahku seakan-akan ingin menciumku. Tidak mungkinkan dia menciumku di depan orang tuanya dan setelah kejadian hari ini. "Lagipula kita bertemu karena takdirkan?" dia berhenti disana dan menarik mundur tubuhnya.

Inilah saat yang tepat untuk bilang bahwa sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. "Aiden, ada yang ingin kukatakan," aku siap. Aiden menatapku dengan tatapan yang lembut.

"Setelah ini anggap saja semuanya tidak terjadi."





--------------------

Thanks for vote and comment. Jangan jadi silent reader lohh.

Immortal SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang