Neva yang dari tadi menyaksikan Rosa menangis, muncul dihadapannya dengan membawa sekantong plastik yang entah darimana ia dapatkan. Ia menjulurkan kantong pelastik itu pada Rosa. Sebelah tangannya menyentuh, lalu mengusap pelan pundak wanita itu.

Rosa dan sisa-sisa isak tangisnya itu mendongak. Ia meraih kantong pelastik, kemudian memuntahkan seluruh isi yang ada di dalam mulutnya. Ia terus memuntahkannya hingga mual yang ada diperutnya mereda. Bukannya tidak menyukai kue itu, melainkan ia tidak bisa menerima semua kenyataan pahit yang harus ditelannya.

"Kuenya beneran tidak enak ternyata."

Neva pun menyahut ketika tidak ada respon dari Rosa. "Sayang, kue buatannya enak! Hanya saja, tante Rosa sedang merasa tidak baik hari ini."

"Lalu, kenapa menangis, tante?" Gadis kecil itupun menyentuh punggung tangan Rosa—meminta untuk melihat wajahnya. "Ayo tante, kita buka kado sama Papa."

Neva mencemaskan sesuatu. "Setidaknya ucapkan sesuatu Rosa! Katakan apa yang seharusnya ingin kau katakan!"

Lagi, Rosa memaksakan senyumnya. Tatapannya terlihat sendu, ia sedih jika harus mengatakan yang sejujurnya tentang kepergiannya. Ia tidak sanggup melihat gadis kecil itu menangis karena dirinya. Semuanya terlihat menyedihkan untuk Rosa. ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Haruskah dia melarikan diri sekarang? Atau mengatakan hal yang akan membuatnya menangis? Ia tidak bisa apa-apa selain mengelus rambut milik gadis kecil itu. Mungkin, ia sedang menyesali ucapannya pada Max dan berharap pria itu turun untuk menemuinya.

Suara langkah kaki dari atas terdengar sedang menuruni anak tangga. Max menuruni satu demi satu anak tangga sambil melihat wanita itu duduk dengan tangan yang masih mengelus rambut tipis putrinya. Langkah itu terhenti tepat dibelakang Rosa. Max memandangi punggung wanita itu untuk beberapa saat. Tidak butuh waktu lama untuk memikirkan ucapannya tadi. Dia adalah pria bodoh—Benar, dia akan tetap dan akan selalu mencintai Rosa—tidak peduli apapun yang diucapkan wanita itu padanya.

"Ruth, tolong bawa kembali koper itu ke kamarku." Perintah itu langsung di anggukan oleh Ruth. Wanita itu mengangkat koper besar, dan menaiki anak tangga. Neva pun mengikuti Ruth dari belakang.

"Selesaikan ini baik-baik, oke!" Bisik Neva saat melewati Max.

Max menuruni anak tangga itu sekali lagi. Kini, ia bersisian dengan Rosa. Ia ikut duduk dan melihat Sabine tersenyum ketika rambutnya disentuh. Wanita itu menghentikan kegiatannya. Max tahu, meskipun wanita itu tidak ingin menoleh sedikitpun, tapi ia berharap untuk sedetik saja Rosa menatapnya sekali lagi. Ia harus meyakinkan jika hatinya tidak salah. Max ingin tahu bahwa apa yang diucapkan Rosa adalah kebohongannya.

"Sini...peluk Papa, nak." Sahut Max sesaat Rosa menarik tangannya.

Kini putri kesayangannya berada dipelukannya. Dia membisikkan sesuatu ditelinga putrinya. Sabine sempat tertawa sebelum ia mengangguk pada Max. Sabine menyentuh lengan Rosa membentuk sebuah ketukan di jari telunjuknya sampai wanita itu menoleh ke arah mereka. Gadis kecil itu mendaratkan kecupan kecil di pipi Rosa. Dan Sabine kabur menaiki anak tangga menuju kamarnya.

Rosa terkesiap. Dia memegang pipinya. Tatapannya tidak bisa lagi dielakkan. Mata mereka saling bertemu udara untuk beberapa saat. Dan disaat itulah, Max mengunci tatapan itu dan mengatakan semua yang tertimbun dipikirannya.

Max menatap lekat-lekat manik mata wanita itu. "Seseorang datang padaku. Seperti angin di musim semi. Ada bau bunga yang terbawa hembusan angin. Aku tergoda olehnya. Aku berjanji akan menjaganya selamanya. Aku berjanji tidak akan pernah membuatnya mengangis lagi. Aku menjanjikan banyak hal. Orang yang bodoh selalu seperti itu. Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh meskipun kau ingin mencampakkanku."

ROSANGELYNZWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu