Entahlah. Senyuman itu sama sekali tidak mengobati rasa cemburunya. Senyuman itu semakin membuat dadanya semakin sesak. Tangannya gemetaran sehingga kopi yang dipegangnya seperti akan jatuh. Dan kejadian itu mengingatkannya akan kejadian yang pernah dialaminya bersama Max. Dan saat itu juga, Max menangkap lengannya.

"Anda tidak apa-apa?"

Rosa mengedikkan bahunya. Ia menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, kemudian ia memegangi kopi itu dengan kedua tangannya. "Aku baik-baik saja."

Max mengangguk sambil tersenyum lalu. Dia melewati peri itu tanpa ada satu katapun yang terucap dari bibirnya. Pria itu tidak bisa mengenalinya. Ia mengabaikan Rosa yang kini sedang memandanginya dibalik punggung pria itu.

Lima menit Rosa menunggunya dibalik jendela kedai kopi. Ia mengusp-usap kedua telapak tangannya pada kopi panas. Pria itu keluar dengan menenteng dua gelas kopi. Suara dentingan lonceng itu berbunyi sekali lagi, kemudian Rosa mengambil langkah panjang dan memanggil namanya.

"Max."

Pria itu menoleh. "Aku?" Max memberikan kedua cangkir kopi itu pada supirnya, lalu ia mendekati Rosa. "Kau masih disini?"

"Mmm..Iya—Aku—sebenarnya—" Bernapaslah... "Bisakah kita mengobrol sebentar?"

"Sepertinya kita tidak saling mengenal. Dan, aku tidak punya waktu untuk mengobrol denganmu. Aku sedang terburu-buru."

"Kau mengenalku!" Perlahan, dia mengembuskan napas, dan disadarinya udara disekitarnya, anehnya, terasa panas.

"Aku mengenalmu?"

Rosa mengambil selangkah mundur, membiarkan udara mendingin. "Maaf." Sejenak, ia mencoba membasahi tenggorokannya yang tercekat. "Kau memang tidak mengenalku, tapi kita sering bertemu."

"Benarkah? Dimana?"

"A—aku pelanggan setia, dan temanku salah satu karyawanmu—jadi, aku sering melihatmu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat mengagumimu."

"Sungguh? Terima kasih. Kau—" Ia menjulurkan tangannya untuk mengetahui nama wanita itu.

"Rosa." Jawabnya. Dia meraih tangan Max, merasakan setiap sentuhan lembutnya. Dan itu lebih dari cukup.

"Rosa? Kau baru saja mengingatkanku dengan seorang wanita yang sedang tidur nyenyak dikamarku."

"Kau pasti sangat mencintainya." Wajahnya tertunduk, ia memejamkan matanya yang perih. "Wanita itu beruntung sekali." Lanjutnya dalam hati.

"Aku sangat mencintainya."

Rosa nyaris kehilangan pijakan karena kesedihannya. "Aku berharap kalian bahagia selamanya." Dia tersenyum sambil menepuk pelan lengan pria itu.

Max tersenyum, giginya yang tersusun rapi itu terlihat jelas. "Terima kasih. Aku berharap kita bisa bertemu lagi."

"Aku rasa ini adalah pertemuan terakhir kita. Dan—" Ia menghentikan ucapannya. Lidahnya membeku, dia bisa merasakan suaranya gemetaran. Dia merasakan bahwa ini adalah sebuah akhir.

"Seseorang pernah berkata bahwa setiap pertemuan adalah takdir. Kita bisa bertemu lagi, dimana saja dan kapan saja." Tukas pria itu.

"Kau tidak tahu rasanya, melihat orang yang kau cintai ada di depanmu, tapi kau tidak bisa bicara dengannya "

"Maaf?"

Wanita itu melengkungkan senyum termanisnya. Ia mengangguk , lalu dia mengangkat tangannya mengisyaratkan sebuah perpisahan. Ia berjalan dan pergi meninggalkan pria itu tanpa ada kata selamat tinggal untuknya. "Berikan salamku untuk Rosa."

ROSANGELYNZWhere stories live. Discover now