More Than Friends

1.3K 138 1
                                    

You ain't gotta be my lover, for me to call you baby.

***

"Sebentar lagi aku akan lulus. Aku sedang mengurus skripsiku," kataku sembari berchat ria dengan Theo.

"Aku pikir kau masih ada 1 semester lagi," balasnya. Aku tidak terlalu menghiraukannya karena aku terlalu sibuk meladei Theo yang bercerita tentang adiknya yang lucu.

"Ehm." Aku terkejut mendengar suaranya. Aku langsung menyimpan handphoneku dalam tas dan mulai berpikir apa yang Justin katakan tadi. Ah aku ingat.

"Mata kuliah yang aku bisa ambil hanya magang dan skripsi. Jadi tinggal semester ini kuliah terakhirku. Sebentar lagi aku akan memiliki gelar dan kembali ke Canada. Untuk mencari kerja disana. Orang tuaku sudah menungguku." Tidak ada tanggapan darinya. Dia fokus sekali menyetir. "Jangan lupa untuk datang ke wisuda kelulusanku nanti. Akan kukabarkan lagi kapan waktunya."

Dari ujung mataku terlihat Justin mengangguk. Aku hanya diam saja. Karena ini terasa canggung bagiku. Tidak tahu baginya.

"Here we are." Kami sampai tepat didepan hotelku menginap. Aku berjalan menuju dalam hotel disusul dengan Justin.

"Kau mau apa?" Tanyaku saat Justin membuntutiku sampai kedepan kamarku. Dia terlihat menyengir kuda.

"Aku mau bersinggah sebentar." Aku menghela nafas. Aku mempersilahkannya masuk. Aku tidak tahu tindakanku ini bodoh atau tidak dengan mengajaknya masuk kedalam kamar hotel. But, i don't care at all.

"Terakhir aku berada di kamar hotel bersamamu, saat kejadian itu." Dia duduk disofa dekat jendela. Aku langsung terbayang kejadian 15 maret lalu di Sacramento. Kejadian itu sungguh dramatis sampai-sampai air mataku mengalir di pipiku. Aku langsung cepat-cepat menghapusnya agar tidak ketahuan Justin.

"Bisakah kau mengambil handphoneku di tas?" Kataku saat aku sedang tiduran di kasur. Malas sekali rasanya mengambil handphoneku sendiri di tas yang kutaruh di lantai. Justin beranjak dari sofa lalu mengambil handphoneku.

"Uh, such a nice chat with Theo. Are you guys getting along?" Pertanyaan itu membuat ku tertawa. Justin hanya terlihat bingung melihatku tertawa seperti kesurupan.

"No. He seems have a new lover." Aku langsung bangun dan merebut handphoneku yang sedari tadi dipegangnya karena dia penasaran dengan chatku dan Theo.

"Argh! C'mon." Dia terlihat kesal ketika aku merebut kembali handphoneku. Pria ini sungguh ingin tahu urusan orang lain. "Padahal aku sedang seru membaca percakapan kalian."

"Justin." Aku memanggilnya pelan. Kurasa dia tidak mendengarkan karena dia sudah mulai sibuk memainkan handphonenya sendiri. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan dengan handphonenya. Kurasa dia sedang bercakap ria dengan pacarnya. Dia terlihat sangat bahagia.

"Sebaiknya kau pulang, Justin. Ini sudah malam." Aku menyindirnya halus. Agar dia cepat pulang karena aku sudah lelah dan ingin beristirahat.

"Let me stay here." Dia tidak mengacuhkanku yang sudah membuka pintu untuknya. Dia malah asyik bermain dengan handphonenya.

Aku menutup pintu kembali dan merebahkan tubuhku. Rasanya aneh sekali berada didalam ruangan bersamanya. Apalagi status kami hanya teman. Aku mencoba untuk tidur saja. Namun kasur yang kutiduri ini mengeluarkan suara berisik. Ini pasti ulah Justin.

Aku beranjak dari kasur dan mendapati Justin sedang menepuk-nepuk kasur. "C'mon Justin. Aku ini lelah. Aku butuh tidur." Justin hanya tertawa melihatku marah.

Aku kembali ke kasur dan memejamkan mataku. Lalu Justin merebahkan badannya disebelahku. Aku berbalik badan untuk melihatnya. Dia sedang menatapku. Aku hanya tersenyum lalu memejamkan mataku lagi. Sedetik kemudian, aku merasakan hembusan nafasnya tepat di depan mukaku. Apa mukanya berdekatan denganku?

Aku membuka mataku perlahan dan melihat mukanya yang hanya berjarak sekitar 1 senti dari mukaku. Matanya terpejam. Dia tidur? Apakah dia tidur harus sedekat ini dengan mukaku? Apa kau lupa, Justin?

Namun aku tahu ini kebiasaanmu ketika kita bersama dulu. Kau senang sekali mendekatkan mukamu ke mukaku ketika akan tidur. Perasaan tidak ikhlasku kembali menghantuiku. Argh, kenapa aku jadi mengingat masa lalu? Memori itu seharusnya sudah kubuang jauh.

Seharusnya aku yang membuatmu bahagia, membuatmu merasa dicintai. Namun posisiku telah digantikan oleh wanita lain.

Aku menggerakkan tangan kiriku lalu mendaratkannya pelan di pipi tirusnya. Dengan penuh keberanian dan tanpa pikir panjang, aku mengecup bibirnya yang berwarna pink. Lalu aku membalikkan badanku sehingga dia tidak lagi melihat mukaku yang sudah merah ini.

Aku meneteskan air mata dan mengutuk diriku sendiri. Bagaimana kalau Justin belum tidur? Dia bisa marah padaku.

"I will always love you, babe. No matter what." Justin berbisik ditelingaku lalu memelukku dari belakang.

------

(Finished) ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang