Reality

1.6K 154 0
                                    

All that bullshit's for the bird.

***

I'm back to Seattle. Karena hari ini sudah masuk kuliah lagi seperti biasa. I really miss holiday. No i mean Justin.

"You look so happy, Caitlin" kenapa selalu lelaki ini yang menghampiriku bukan orang lain saja? Bosan sekali melihatnya.

"As you see on my face, Theo" aku membalas perkataannya karena aku lagi di mood yang baik.

"Selamat atas perayaan hubungan kalian yang ke 6 tahun." aku hanya tersenyum mendengarnya. Tapi bagaimana dia bisa tau? Ah, aku lupa! Aku mem-post foto cincin pemberian Justin dengan keterangan 'happy 6th anniversary' di akun Instagram ku.

"Thank you Theo Raeken. Kau perhatian sekali padaku. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Semua ini kulakukan karena selama ini aku selalu menolak ajakannya. Sesekali aku harus baik padanya.

"Dengan senang hati. Sampai ketemu nanti siang" Theo pun berlalu dan aku masih duduk di bangku taman sambil melihat cincin pemberian Justin.

Semenjak kejadian waktu itu--- Theo mempermalukanku, dia jadi mendekatiku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin dia merasa bersalah padaku. Tapi itu sudah 3 tahun yang lalu saat aku masih semester 1.

-

"Terima kasih ya, Caitlin." Theo membuka percakapan.

"Terima kasih untuk apa?" Kataku sambil mengunyah spagetti.

"Terima kasih karena kau mau makan siang denganku. Karena selama 3 tahun ini kau tidak mau makan siang denganku." Aku tersedak mendengar kata-katanya. Seingat itukah dia dengan aku yang selalu menolaknya.

Aku langsung cepat-cepat minum dan Theo tertawa terbahak-bahak. Kalau dilihat ternyata Theo menarik juga. Aku jadi ikut tertawa bersamanya.

"Ada sesuatu dibibirmu" tangan Theo menyentuh ujung bibirku karena terdapat saus spagetti. Keadaan menjadi hening. Aku jadi merasa canggung pada Theo.

"Oh ya bagaimana kabar Justin" untung saja Theo memecahkan keheningan yang menciptakan kecanggungan ini.

"Dia baik-baik saja. Kau ini sudah punya pacar belum?" Dia hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa pertanyaanku. Aku anggap dia sudah punya.

"Hm... baiklah kalau begitu. Sampai besok, Theo. Terima kasih kau mau menemaniku makan siang." Aku beranjak dari kuri lalu pergi meninggalkan Theo yang masih duduk.

It's feel so good to had lunch with him. Sepertinya dia lelaki yang sangat asyik untuk diajak bicara.

***

Sudah berkali-kali aku menghubungi Justin namun tak kunjung diangkatnya. Ada apa dengan dia? Apa aku telat berbuat sesuatu?

Aku mencoba menelpon Scooter, manajer Justin.

"Hello Cait" sapa Scooter ketika dia menjawab teleponku.

"Hello Scooter. Where's Justin? He didn't answer all my calls." Aku bertanya dengan nada memaksa.

"Um.. Justin not in a good mood. Maybe y-"

Aku tidak mendengarkan perkataannya dan langsung menyudahi panggilan ini. Mudah sekali dia bilang Justin sedang tidak baik moodnya. Aku langsung mengetik pesan untuk Justin.

To: Justin Bieber❤

Answer my call, or you will never get a call from me.

Aku mengirim pesan itu dan menunggu beberapa menit agar Justin dapat membacanya. Setelah itu aku langsung menelponnya kembali.

"Ah thank god. Akhirnya kau mengangkat teleponku. Kau ini kenapa? Apa ada yang salah dariku? Ayolah aku ini masih pacarmu. So you better talk to me what happened." Aku berbicara dengan hati yang tak tenang.

"Sepertinya kau senang sekali makan siang bersama lelaki itu." Damn it paparazzi! Cepat sekali beritanya keluar.

"We just had lunch together not had sex. Please, it's not a big deal, Justin. Itu bukan perkara yang besar. Tolong mengerti aku." Sepertinya aku salah bicara. Pasti sebentar lagi Justin akan meledak.

"Okay. You guys had lunch. But why he touched your fcking face, Caitlin?" Yes, he's super mad at me.

"Ada bekas kotoran di ujung bibirku." Kataku sambil menggigit ujung bibirku.

"Oh really? But he seems really happy. Eat that bullshit." Dia langsung menutup telepon tanpa mendengar penjelasan lanjut dariku. Congratulation Caitlin, you just made your superstar boyfriend swearing at you.

------

(Finished) ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang