Chapter 20 "Kepastian"

Start from the beginning
                                    

"Apa hubungannya dengan Bella?"

"I-Itu karena kau...! Terus-terusan bicara tentang Bella. Padahal sebenarnya aku ingin bilang orang tuaku."

"Tapi bukankah itu artinya yang ada di kepalamu sekarang adalah Bella?"

"...!?"

"Aku benar, kan?"

"S-Selamat tinggal...!"

Seusai melambaikan tangan pada Nia, aku pun segera pergi meninggalkan rumahnya.

Untunglah di waktu yang sempit aku mash bisa memikirkan alasan yang cukup logis. Rasanya pasti ada saja waktu saat rahasiaku bisa terungkap kapan saja.

Entah berapa lama aku bisa menyembunyikan ini dari semua orang.

***

Dalam perjalanan pulang, tak pernah sedetik pun aku tak memikirkan Bella. Karena omong kosong yang Nia katakan, aku jadi ribet sendiri.

Aku bisa saja mengabaikan hal itu seakan tak pernah terjadi. Tapi tak peduli berapa kali aku berusaha melupakannya, bayangan Bella selalu masuk ke dalam pikiranku.

Sampai akhirnya tiba di depan rumahku. Bayangan Bella tak pernah bisa pudar.

Aku langsung menuju ruang tamu untuk merebahkan tubuhku di sofa.

Dan saat itulah sumber masalah dari semua ini muncul.

"Kok kau telat, sih? Apa jangan-jangan kau memaksa Nia untuk melakukan hal yang macam-macam!!?"

"Nggak mungkin... di sana juga ada kakaknya. Berhentilah memikirkan hal yang aneh-aneh."

"Kau juga memaksa kakaknya?"

"Ya enggak lah, bodoh!! Jangan membuatku tambah pusing."

"Lalu, mungkin kau—"

"Kau mengganggu!!! Pergi sana...!"

Terpaksa aku mengusirnya dengan cara yang kasar. Karena aku tak mau dia menambah beban pikiranku.

Tapi dengan kata-kata kasarku tadi sepertinya dia takkan menggangguku lagi.

Beberapa saat berlalu setelah kupejamkan mataku. Terdengar bunyi sesuatu dari permukaan meja di sebelahku.

Kupalingkan pandanganku. Dan melihat secangkir teh yang masih mengepulkan uap-uap panas seperti cerobong kereta api zaman dahulu.

Mataku berhenti pada satu titik. Tatapannya terkesan dingin, tapi dari sisi lain kau bisa melihat pandangan lemah lembut yang terpancar dari bola mata oranyenya.

"Untukmu... cepatlah minum!"

"I-Iya...."

Aku membangkitkan tubuhku. Pandanganku secara bergantian menatap wajah Bella dan cangkir teh. Lalu meniup-niup sebelum menyesap teh hangat itu.

"Hh... kurang manis."

"Akan kutambahkan gula."

Sebenarnya aku hanya bergumam pada diriku sendiri. Tapi tampaknya aku lupa mengecilkan volumeku sehingga Bella bisa mendengarnya.

Gadis oranye itu pun segera bangkit dan menuju dapur. Walau aku berusaha menghentikan karena tidak ingin merepotkannya, tapi percuma.

Bella tetap melangkah ke dapur untuk mengambil gula.

"Bagaimana...?"

"Ini lebih baik."

"Syukurlah kalau begitu."

Setelah itu kami tak saling bertukar kata lagi. Keheningan tercipta di antara kami berdua. Duduk berdampingan di atas sofa, tanpa memandang satu sama lain.

My Wife is My EnemyWhere stories live. Discover now