Shay mengalihkan pandangan sekilas. Lalu ia menangkap mata Lydia yang tengah menatapnya. Shay lantas menatapnya memelas, meminta pertolongan. Namun yang ia dapat dari Lydia hanya senyuman lembut sialan yang sama sekali tidak membantu. Lydia lantas kembali melanjutkan makannya. Diikuti Pierre.

"Ayo, Connell! Tuangkan! Kenapa kau diam saja!?"

Justin kembali mendongak sembari menggebrak meja. Membuat keheningan yang sedaritadi tercipta semakin menegangkan. Para nanny bahkan terkejut secara serempak kala mendengar gebrakan meja yang Justin hasilkan menyeruak di seantero ruang makan.

Shay membenamkan bibirnya sekilas seraya menggerakan tangannya meraih botol Sampanye berukuran besar di atas meja. Ia menuangkan perlahan minuman itu ke dalam flute glass yang masih kosong. Tangannya gemetar menahan gugup karena perhatian orang-orang masih tertuju padanya. Beruntung Shay tidak menumpahkan minumannya.

Justin meraih flute glass yang sudah dipenuhi Sampanye lantas menegaknya cepat hingga tersisa setengah. Cara minum Justin membuat Shay ikut menegak ludahnya sendiri. Sepertinya..itu nikmat.

"Well," Justin menengok seraya mendongak menatap Shay. Shay hanya bisa terpaku dan menunduk, enggan menatap iris hazel itu. Ia tidak mau ketahuan tengah gugup dan kehausan Sampanye.

Tangan Justin bergerak. Ia meraih tangan Shay, menggenggamnya. Sontak Shay terkejut, ia menatap Justin tak percaya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat melebihi ritme biasanya. Shay mulai gusar, semakin gugup. Sampai-sampai ia kehilangan fokus dan tidak memperdulikan reaksi para nanny yang terpaku melihat kelakuan Justin. Lydia dan Pierre bahkan menghentikan kunyahannya seraya memperhatikan.

"Merci. (Terima kasih)." Gumam Justin datar. Shay terkejut, dan yang membuatnya terkejut adalah; Justin mengecup punggung tangan Shay yang sedaritadi ia genggam.

Bahkan suara kecupan itu terdengar menyeruak.

Shay menegang. Ia buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Justin lantas tersenyum kikuk. Ia mengerjap sekilas, lalu berdeham seraya mengangguk. Mata Shay segera berpaling, menyapu ke sekeliling. Dan Shay serasa ingin mati ketika semua pasang mata kini benar-benar mengarah padanya.

Justin kembali mendongak, iris hazel itu kembali menusuk. Bahkan serasa menghunus dada Shay yang kini terdiam tanpa melakukan apa-apa.

Bocah ini benar-benar gila! Batin Shay kembali merutuk frustasi.



***


Lydia berdiam diri di depan meja rias. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin, sesekali tangan lentiknya bergerak menyisiri rambut coklatnya yang menjuntai sampai ke pinggang. Kini sosoknya di dalam cermin tengah menyunggingkan senyum. Lydia semakin melebarkan senyumnya, dan sosok di cermin itu ikut melebarkan senyumnya. Senyuman manis yang mampu memikat hati siapapun yang melihatnya.

Lalu muncul Pierre yang terpantul di balik bayangan tubuhnya dalam cermin. Pria tampan itu ikut tersenyum di belakang Lydia. Senyuman tipis yang mampu memikat hati para wanita mana pun yang melihatnya.

"Bonsoir. (Selamat malam)." Suara bariton Pierre membuat Lydia merinding. Pria itu meraup kedua pundak mulus Lydia dari belakang seraya mengecupnya lembut. Lydia hanya terkekeh.

"Bisa kau bantu aku, Sayang?" Bisik Lydia lembut sambil menunjuk resleting di punggungnya.

"Tentu saja." Lirih Pierre seraya menyibakkan rambut Lydia, lantas menarik resleting dress milik Lydia perlahan-lahan. Hingga tampaklah punggung mulus Lydia yang putih nan bersih.

SLUT [DITERBITKAN]Where stories live. Discover now