Bagaimana aku bisa tenang? Setelah aku tahu aku kehilangan dia? Dia yang sudah hidup bersamaku. Dia yang selalu menemaniku dimanapun. Dia yang selalu aku bawa kemana-mana. Dia yang sudah mengajariku menjadi wanita kuat. Dia yang membuatku tetap bertahan dalam kondisi apapun.

Dan sekarang? Dia meninggalkanku?
Dan sekarang, aku kehilangan dia? Kehilangan dia semangat hidupku.

Seketika aku merasakan duniaku hancur-sehancur-hancurnya.
Seketika semua kebisingan di sekitarku tak lagi bisa ku dengar.
Seketika aku merasa waktu tak lagi beranjak.
Seketila aku merasa semuanya berenti sampai disini.

"Aku membunuhnya, kak!" gumamku serak saat kurasa semua tenagaku terkuras karena terus memberontak.

"Tidak Anna. Ini sudah jalannya, dia belum di takdirkan untuk hidup bersama kita."

"Aku membunuhnya, kak!" Aku mendorong tubuh kak Aliza dengan keras dan membentaknya.

Tak lama kak Radit datang dengan dua orang. Dia tampak terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ruangan ini sudah tidak seperti saat dia meninggalkannya tadi. Semua barang-barang kini sudah tidak berada di tempatnya.

Kak Radit menghampiriku dan mendekap tubuhku yang terus berteriak dengan hiteris mengucapkan 'aku sudah membunuh anakku sendiri'

Suster yang datang bersama kak Radit dan dokter sudah kewalahan menanganiku yang terus memberontak dan mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Bahkan sampai tak terhitung berapa kali suster itu terjatuh karena aku dorong.

Ini adalah bentuk kehilangan yang paling dahsyat yang aku alami.

Aku yang seharusnya kini berada disana. Bukan dia, bukan anakku.

Andai saja saat itu aku bisa menjaga amarahku. Andai saja saat itu aku bisa mengendalikan diri. Dan andai saja saat itu aku tidak nekat mengikuti Bimo dan menyaksikan semuanya. Mungkin sekarang dia masih berada disana, di dalam diriku dan di dalam dekapan hangat tubuhku.

Tapi, kini semuanya sudah terlambat. Aku sudah kehilangan dia. Bersamaan dengan hilangnya harapan dan semangat hidupku. Tidak ada lagi alasan kenapa aku harus tetap hidup. Karena semuanya sudah berakhir, berakhir setelah pria yang aku sebut sebagai suamiku itu mengkhianatiku.

Aku berhenti berteriak dan memberontak. "Tinggalkan aku sendiri," gumamku dingin.

"Tapi, Anna-" Aku membalikan posisiku membelakangi orang-orang yang berada diruangan ini sebagai isyarat agar mereka meninggalkanku sendiri.

Akhirnya mereka mengerti dan satu persatu meninggalakan ruangan ini. Tubuhku terguncang saat isakan kembali lolos dari bibirku.

Tanganku meraba perutku yang datar. Hampa. Tidak ada lagi getaran dan kontak batin saat aku menyentuhnya.

Jika aku adalah seorang wanita yang kuat, atau terlihat mencoba untuk tetap kuat. Semuanya semata-mata hanya untuk dia. Dia yang membuatku tetap bertahan hingga saat ini.

Tapi sekarang, seketika kekuatan itu musnah. Kekuatan itu kini hancur lebur menjadi serpihan-serpihan kecil kasat mata. Lalu menguap menjadi satu dengan udara setelah itu perlahan menghilang terbawa angin.

Dia meninggalkaku, bahkan sebelum dia memberikanku kesempatan untuk aku melihatnya.

Apa dia begitu membenciku karena aku sebenarnya tidak bisa dan tidak becus menjaganya? Sehingga dia akhirnya memilih pergi meninggalkanku sendiri di dalam ketersiksaan ini?

Atau Tuhan memang menghukumku karena sudah durhaka pada mertua dan suamiku? Sehingga akhirnya Tuhan membawa sesuatu yang paling berharga di dalam hidupku?

Dan jika ada yang harus disalahkan disini. Akulah orangnya. Akulah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang terjadi saat ini. Ya, aku mungkin memang pantas menerima semua ini.

"Sayang?" Tubuhku menegang saat suara familiar itu terdengar dari belakangku.

Mengapa begitu sakit, bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja?

Tubuhku semakin menegang saat kurasakan sentuhannya pada lenganku.

"Keluar dari sini!" gumamku dingin. Bayangan saat dia memeluk wanita itu terbesit. Membuatku merasa hatiku di tikam oleh belati tajam. Perlahan dan menyayat, sehingga membuat seluruh tubuhku merasakan sakitnya. Membuat tiba-tiba darahku membeku membuatku kaku.

"Maafkan aku, Sayang." Bahkan kata maaf yang dia ucapkan tanpa sadar sudah membuat aku merasakan jantungku di pukul keras dari dalam. Begitu sakit dan menyesakkan.

Aku berbalik lalu bangun dan menatapnya dingin. "Apakah dengan kata maaf semuanya akan kembali pada keadaan semula?" ujarku datar. Bimo menatapku penuh penyesalan dengan air mata yang kini sudah membingkai pelupuk matanya.

"Apakah dengan hanya kata maaf bisa mengembalikan dia yang sudah pergi dariku? Hah? Apakah dengan kata maaf, semua sakit yang aku rasakan hilang begitu saja?" Aku mulai menaikan dan suaraku.

"Tidak!" Semua emosiku kini meluap membuatku membentaknya.

Ya, tentu saja tidak. Karena yang ada, dengan kata maaf itu membuatku kembali tersadar pada keadaan, membuatku tersadar aku telah kehilangan dia dan semakin membuatku merasa sakit karena aku kembali menyadari kesakitann yang sedang aku alami sekarang.

Bimo mendekatkan dirinya padaku. Air matanya kini mengalir sama derasnya denganku. Dan saat Bimo ingin mendekapku. Aku mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. Membuat dia terdorong dan punggungnya membentur daun pintu.

"Jangan pernah menyentuhku lagi, setelah aku tahu tubuhmu itu bukan hanya untuk menyentuhku saja!" desisku tajam.

Bimo bangkit dan kembali menghampiriku tanpa berkata.

"Stop!" bentakku menahannya agar dia tidak melangkah lebih dekat padaku.

"Aku tidak akan berhenti, Anna." Bimo tidak mengindahkan ucapanku dan terus melangkah ke arahku. Lalu memelukku demgan sangat erat.

Aku terus memberontak mencoba melepskan diri dari dekapannya. Tapi, semakin aku mencoba, dia semakin mengetatkan dekapannya.

"Lepaskan aku brengsek!" Ku kerahkan semua tenagaku untuk meloloskan diri. Tapi, sekuat apapun tenaga yang aku keluarkan tidak sebanding dengan kekuatannya.

"Tidak akan, Anna. Aku tidak akan pernah melepaskanmu," ucapnya serak lalu mencium puncak kepalaku.

"Lepaskan!" Aku terus menggerakkan tubuhku meskipun tenagaku sudah terkuras habis.

Tapi, tak kunjung Bimo melepaskanku. Hingga akhirnya tenagaku benar-benar sudah tidak ada lagi. Tubuhku terasa lemas saat pandanganku mulai kabur.

"Anna? Anna, sayang?" Kurasakan pipiku di tepuk kuat tetapi lembut. "Dokter..." suara teriakan Bimo yang terakhir aku dengar sebelum kegelapan merenggut sinar di mataku lagi.

***

Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku terasa pusing luar biasa. Refleks tanganku memegang pelipisku.

Kualihkan pandanganku pada sosok yang kini sedang duduk di samping tempat tidurku. Dan dia menggenggam tanganku dengan erat.

Aku mengernyit menatap pria itu. "Sayang," ucapnya lembut mencium jemari tanganku.

Dengan cepat aku menarik tanganku dari tangannya. Lalu aku menggeser tubuhku menjauh. "Kamu siapa?"

***

TBC..

See you guys, semoga puas sama bacaannya:))

Semoga baper, dan masih terhibur dengan cerita abal-abal ini:))

Vote and komennya aku tunggu lho..

Part ini aku dedikasikan buat KumariAida ❤❤

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang