Bagian 8

63.6K 3K 102
                                    

"Apa ini?"

Mampus ketahuan deh gue, umpatku dalam hati. Aku tidak bisa berkutik saat Bimo merebut kartu di tanganku. Kulihat keningnya mengernyit saat membaca apa yang dipegangnya. Lalu, pandangannya beralih padaku, tidak ada gurat kemarahan di wajahnya. Tampak biasa dan datar-datar saja. Yang ada malah kelihatan bingung.

Aku tersenyum saat pandangannya beralih pada bunga di tanganku. Setelah melihat bunga itu dia berbalik dan melangkah ke arah lemari baju. Sambil mengendap-endap aku juga berbalik hendak keluar dari kamar. Mungkin saja wajah datarnya tadi adalah bentuk kemarahan dia bukan, aku tidak tahu. Jadi, lebih baik aku menghindar dulu sebelum kena semprot Bimo.

"Diam disana Anna! Kamu pikir kamu mau kemana?" Tubuhku menegang saat suara dalam dan berat milik suamiku itu terdengar tegas dan tak terbantahkan. Reflek gerakanku terhenti setelah mendengar ucapan suamiku. Aku menghembuskan napas, merilekskan tubuhku yang menegang. Lalu, kembali berbalik dan duduk di tepi tempat tidur.

Sambil menunduk aku menunggu dia menggunakan pakaiannya. Setelah selesai memakai bajunya tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya maupun mulutku. Dia hanya berdiri di depanku dengan tangannya yang di lipat di dada. Setiap kali aku mendongkak dia melebarkan matanya dan menatapku tajam membuatku kembali menundukan kepalaku. Ini sama seperti anak kecil yang sedang di marahi karena tidak mau menurut.

Aku menunggu dia bicara sampai membuatku merasa bosan karena sama sekali dia tidak mengeluarkan suaranya. Dan kediamannya membuatku merasa tidak nyaman.

"Yasudah aku mau mandi dulu, kalau tidak bicara juga." Aku bangkit dan bergegas melangkah ke arah kamar mandi. Tapi, sayangnya tidak berhasil, Bimo menarik lenganku dan mendorong tubuhku -tidak terlalu keras- kembali duduk di tepi tempat tidur.

"Dari siapa bunga itu? Kamu membohongi suamimu, Anna?" gumamnya akhirnya dengan nada dingin.

Segera aku mendongkak, "Tidak, aku tidak berbohong. Toh, memang aku makan berdua saja sama Firly. Tapi, tiba-tiba kak Divan datang bersama Firly. Saat itu di cafe rame jadi kita ajak dia makan bareng. Terus pas pulangnya aku di antar pu-" aku segera membekap mulutku sendiri, karena baru tersadar aku keceplosan.

"Bagus, terima kasih sudah mengakuinya Annastasya!" dia mengucapkannya dengan penuh penekanan. Gawat tampaknya sirine berbahaya sudah berbunyi.

"Aku memang makan dan di antar pulang sama kak Divan. Tapi, aku tidak sendiri, 'kan?" Aku mengerucutkan bibirku lalu menunduk kembali.

"Jadi kabar yang aku terima itu benar?" Aku mengangkat kepalaku sesaat lalu menunduk kembali saat melihat Bimo menatapku tajam. "Kalau jujur aku tidak akan marah Anna, memangnya siapa Divan itu?"

"Dia kakak kelasku dulu. Aku saja baru bertemu lagi sama dia, Mas. Tidak ada apa-apa, kok."

Aku berdiri saat Bimo meraih tanganku dan menariknya. Aku menatap sedih, menyesali karena tidak memberitahu yang sebenarnya. Lagi pula kenapa aku harus takut mengatakan dan takut ketahuan aku jalan bersama Divan -ralat, bukan jalan tapi hanya bertemu-. Toh, aku tidak ada hubungan apapun.

"Kalian pernah menjalin hubungan?" Pertanyaannya aku jawab dengan gelangan pasti. Kedua tangan Bimo bergerak lalu menangkup wajahku.

"Jangan pernah ada yang kamu tutupi dariku. Lebih baik tahu dari mulutmu sendiri dari pada harus tahu dari mulut orang lain. Meski sesakit apapun yang akan aku rasakan nantinya. Berjanjilah," ucap Bimo dengan lembut mengusap rambutku.

"Maaf, Mas. Aku hanya tidak mau ada kesalah pahaman. Tapi sumpah aku tidak pernah memiliki hubungan dengan dia. Iya aku janji. Maafkan aku." Aku menghambur kedalam pelukannya. Memeluknya dengan sangat erat.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang