Bagian 4

73.6K 3.3K 93
                                    

Terima kasih buat yang kasih komen dan vote nya yaaa:)

Happy Reading guys..
Enjoy..

***
Sudah yang kesekian kalinya aku mengerjapkan mataku menahan kantuk. Sejak tadi sore Rana meminta di temani oleh Bimo. Dan sampai sekarang Bimo belum juga keluar dari kamar Rana.

Ini sudah pukul sepuluh malam. Kalau begini caranya, sama saja Bimo tidak pulang lebih cepat. Karena aku tidak bisa menghabiskan waktuku dengan dia.

Karena permintaan sepupunya yang terus-terusan menangis sejak tadi sore tidak bisa dia tolak. Dia ingin Bimo disana menemaninya. Sedang aku memilih keluar dari kamar Rana. Daripada harus terus melihat Bimo memeluk sepupunya yang cantik itu.

Aku mendongkak saat terdengar suara handle pintu bergerak.

"Kamu belum tidur, Sayang?" ucapnya menatapku kaget.

"Aku menunggu kamu, Mas," kataku datar.

Bimo berjalan ke arah meja riasku dan menyimpan jas dan dasinya. Lalu menggulung lengan kemejanya yang sudah terlihat lecek hingga sikut. Bahkan dia belum sempat ganti baju tadi. "Bagaimana Rana?" tambahku saat Bimo kembali dari kamar mandi sudah tidak memakai bajunya lagi. Kini dia hanya menggunakan celana piyamanya saja.

"Dia belum bisa menerima keadaannya." Bimo melangkah ke arahku. Aku menggeser tubuhku ke tepi lain tempat tidur saat Bimo menaiki tempat tidur.

Aku paham, Rana pasti merasa terpukul dengan keadaannya sekarang. Apalagi dia mengandung tanpa ada dukungan dari ayah anak yang di kandungnya. Aku bisa merasakannya karena aku juga sedang mengandung sekarang.

"Brian, kekasihnya tidak mau menerima anak yang di kandung Rana sekarang. Dia bilang, dia belum siap menikah, apalagi punya anak," gumam Bimo menarik tubuhku ke dalam dekapannya.

Aku melingkarkan lenganku pada pinggang Bimo tanpa mengatakan apapun.

"Orangtuanya marah besar dengan kabar yang di terimanya. Rana adalah anak satu-satunya dari Om Rafed dan tante Nayla. Wajar saja jika mereka kecewa pada Rana. Karena mungkin Rana bisa di bilang satu-satunya harapan mereka," lanjut Bimo. Tangannya mengelus lembut rambutku yang panjang.

Aku mendongkak menatap Bimo. "Harusnya itu menjadi tanggung jawabnya Brian dong. Kalau memang belum siap kenapa harus melakukan hal yang diluar batas. Yang ada sekarang malah merepotkan suami orang," ujarku sarkatis, sedikit kesal mengingat seharian ini aku menunggui Bimo yang berada di dalam kamar Rana.

Bimo menarik daguku agar menghadap ke arahnya. Kulihat sudut bibirnya terangkat. "Kamu cemburu, Sayang?" tebaknya tepat sasaran.

Aku menggelengkan kepalaku melepaskan daguku dari pegangan tangan Bimo. "Bagaimanapun juga kamu sama Rana itu kan pria dan wanita dewasa. Wajar bukan kalau aku kesal melihat kamu memeluk wanita lain di depan mataku sendiri!" sungutku kesal.

Bimo mencium puncak kepalaku beberapa kali dan tangannya mengelus pipiku lembut. "Dia saudaraku, Sayang. Dan tidak akan menjadi lebih. Tidak mungkin. Harus kamu tahu, tidak ada wanita lain disini," ucapnya mengarahkan tanganku pada dada bidangnya yang telanjang. Membuat seluruh tubuhku berdesir saat telapak tanganku mengenai bulu-bulu halus di dadanya.

"Just you, only you, always you," ucapnya kemudian menarik daguku dan mencium bibirku.

Ada perasaan hangat saat mendengar Bimo mengucapkan kalimat itu dengan serius tanpa keraguan.

Aku melepaskan ciumanku lalu melepaskan pelukanku. "Bohong, kamu pasti gombal."

Bimo kembali menarik tubuhku dalam dekapannya. "Untuk apa aku berbohong, Sayang? Hanya kamu wanita yang membuatku bertekuk lutut. Tidak ada yang lain. Hanya kamu Anna, hanya kamu!" ujarnya mengetatkan pelukannya.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang