Bagian 6

64.8K 3.4K 163
                                    

Semalaman aku tak bisa tertidur, bukan hanya karena aku yang terus-terusan menangis, tapi juga karena Bimo yang tidak mau menyerah mengedor dan manggil namaku dari luar kamar.

Barulah dini hari aku baru bisa tidur, karena cape semalaman menangis juga suara Bimo yang tidak terdengar lagi.

Pagi harinya aku terbangun dengan kepala yang terasa berat. Mataku pun terasa sakit. Aku menyibak selimutku dan turun dari tempat tidur. Aku bergegas melangkah ke kamar mandi karena lagi dan lagi morning sick ku menyerang lagi.

Setelah mengeluarkan semua isi perutku aku membasuh mukaku dan menatap bayanganku di cermin. Seorang wanita yang tampak berantakan.

Reflek tanganku bergerak menyentuh pipiku yang di tampar Bimo. Tidak lagi sakit memang, tapi sekarang hatiku yang terasa sakit. Sumpah, aku lagi mengandung anaknya dan dia sudah mempermalukan aku bahkan di depan wanita lain. Aku benar-benar merasa direndahkan olehnya.

Lagipula jika di ingat-ingat apa yang membuat dia menaparku. Apa kesalahanku sampai-sampai tangan itu melayang dan berakhir di pipiku. Bimo keterlaluan.

Selesai bersih-bersih aku bergegas keluar kamar karena butuh teh mint untuk aku minum. Aku terkejut saat membuka pintu kamar. Bimo berada disana bersandar pada dinding di pinggir pintu, tampak sedang tertidur lelap.

Aku berniat membangunkannya tapi, niatku ku urungkan. Biar saja dia seperti itu. Jika aku merasa sakit hati karena ulahnya. Aku kan membuatnya menderita terlebih dahulu sebelum akhirnya aku akan memaafkannya. Dan entahlah, dia masih pantas di maafkan atau tidak. Aku tidak tahu.

Aku terdiam di kursi pinggir kolam renang. Melamun menatap air yang tampak tenang sambil menikmati teh mint dan cemilan asinku. Tanganku mengusap perutku yang mulai membuncit. Dialah yang sekarang menjadi penguatku. Kehadirannya mungkin akan menjadi penghalang egoku. Jika saja tidak ada dia, mungkin aku akan milih meninggalkan rumah ini.

"Pagi, Kak." Aku menoleh ke arah suara. Rana berada disana dan duduk di kursi di sampingku. Usia kami berbeda 2 tahun dan Rana lebih tua dariku. Tapi, karena aku sudah menjadi istri Bimo jadi mau tak mau Rana pun harus memanggilku kakak.

Jujur saja, melihatnya membuatku kesal. Dari awal dia datang ke rumah ini, aku merasa ada keganjalan dari dirinya. Dan aku tidak tahu apa itu.

"Pagi." Aku mengalihkan kembali pandanganku ke depan.

"Maaf, Kak aku bawa pengaruh buruk pada hubungan rumah tangga kalian." Ternyata dia menyadari. Masalahku datang setelah dia datang bukan?

"Aku mendengar saat Kakak bilang menyangka aku menyukai Kak Bimo. Itu semua..." Kali ini ucapannya memancing perhatianku. Meskipun aku sama sekali tidak mengalihkan pandanganku pada Rana. Tapi, aku menajamkan indra pendengaranku. "Itu semua benar." Oke kelanjutan ucapannya kini membuatku benar-benar terkejut. Jadi dugaanku benar?

Aku langsung mengalihkan pandanganku pada wanita cantik di sampingku dengan kening berkerut.

"Maksud kamu apa, Rana?"

"Ya, aku tahu kami sepupuan. Tapi perasaan, siapa yang dapat mencegah? Kebersamaan kami selama ini menumbuhkan perasaan yang lain dan lebih padaku. Siapa yang tidak akan terbuai jika kita di manjakan dan di perhatikan oleh orang seperti kak Bimo."

"Lalu apa maksud kamu mengatakan semuanya padaku?" Aku masih mencoba tenang.

"Tidak ada, aku hanya ingin membenarkan dugaan Kakak saja. Dan memberi Kakak kode. Bersiap-siaplah." Pandanganku mengikuti dia yang bangkit dan hendak melangkah pergi.

Bersiap-siaplah? Apa maksudnya dengan bersiap-siap?

"Aku tidak akan membiarkan semuanya Rana." Aku bangkit dan menatap Rana tajam.

My Last Happiness (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang